9. Tarian sebagai Bahasa dan Orientasi Lebah
Semburat oranye muncul di ufuk barat mengusir kegelapan. Jika ini rural, para lebah pekerja akan berangkat ke hutan-hutan mencari serbuk sari bunga. Berbeda dengan suasana urban. Jalanan mulai dipenuhi kendaraan bermotor dan sepeda lalu-lalang serta aktivitas lain. Terutama ketika mendekati sekolah, banyak yang mengantar siswa sampai membuat macet, atau barisan sepeda yang dituntun, lagi pula garis-garis putih yang tebal pada aspal sudah memperingatkan. Di gerbang berplang SMP Piji, melangkah cepat masuk halaman para remaja berkaus olahraga dominan putih, kira-kira ada tiga macam warna: biru, merah, dan hijau.
Y mengenakan kaus putih-merah dengan celana panjang senada, artinya dia pangkat dua, tak lupa tas buluknya dan sepatu hitam bertali. Laki-laki itu berjalan kaki, bersalaman tangan kepada dua guru berbeda gender penjaga gerbang. Lalu perhatiannya teralihkan karena suara cempreng terdengar. Ketika dia menoleh, tampak di antara kerumunan hilir mudik, seorang perempuan rambut sebahu dan berbando jingga.
Gelagatnya cukup aneh dilihat dari dia yang menghampiri siswa-siswi lalu bertutur salam ‘Selamat pagi’, guru pun diberi ucapan ‘Selamat pagi’, adik-adik kelasnya disapa ‘Selamat pagi’, kakak kelas tak luput juga dihaturkan ‘Selamat pagi’, bahkan rekan sekelas Y juga dikasih ‘Selamat pagi’.
Mau tak mau langkah Y terhenti di tempat, dekat kantor guru, heran bertanya-tanya saat mengamati tingkah si perempuan. Lantas dia mencegat laki-laki yang dikenal, bersoal sambil mengedik ke arah subjek.
“Orang itu kenapa?” tanya Y.
“Ah, itu si perempuan tidak jelas dari kelas sebelah, kayaknya. Tadi aku lihat dia mau blurut, tapi ketahuan, jadi dihukum disuruh mengucapkan selamat pagi ke orang-orang.”
Y terbengong-bengong tak bisa berkata.
Saat itulah sepatu imut mendekat, pemiliknya malu-malu bersuara.
“Se-selamat pagi ….”
“Pa--” Refleks Y menoleh.
“Selamat pagi, Y!”
Namun, atensinya berada pada tiga rekan sekelas yang senyum-senyum mencurigakan di lorong, mereka tak membawa tas artinya sudah masuk kelas.
Saat ditanya apa urusan, jawab mereka adalah Y diminta ikut membantu beli barang-barang untuk kegiatan bersih-bersih.
“Eks di mana?” tanya Y.
“Eh? Masa tidak tau? Eks ‘kan jadi perwakilan kelas buat ikut rapat.”
“Kalau Zet?”
“Tadi aku lihat dia diseret guru disuruh bantu bersih-bersih panggung.”
Y tercengang menyadari dua kawannya tidak bersama.
Di sinilah dia dan tiga rekan sekelas dalam waktu temporer berada di genggaman Sang Nenek Lampir--wakil ketua yang judesnya minta ampun, Mademoiselle Beta. Bisa dilihat sesampai di kelas, Nenek Lampir itu memicing tajam ke arah mereka. Y sudah dibawa, ditambah tiga orang, lengkap sudah utusan. Mereka dijadikan budak untuk memberi pakan bebek sekolah.
Y berbisik, apa tidak apa tidak mengajak si murid baru, kepada laki-laki pirang yang sibuk mengamati pemandangan di luar kaca, tetapi teman di sebelah menjawab tidak usah soalnya dia tidak ikut menyumbang anak bebek jadi tak ada kewajiban memberi pakan tiap pagi dan sore. Lagi pula, apa-apaan rambut pirang itu? Keturunan? Dan wajahnya terlalu cantik! Putih pucat mulus, bulu mata lentik, bibir ranum. Akan tetapi, bahunya lebar macam laki-laki, bentuk rahang tegas memberi kesan tampan. Si murid baru benar-benar merindingkan mereka.
Setelah itu, wakil ketua menyerahkan selembar kertas berisi daftar belanja mengapung, perempuan rambut pendek berkacamata bulat memberikan dompet, mereka bertujuh diberangkatkan dengan sapuan tangan lentik.
Beruntung pasar dekat sehingga cukup jalan melalui trotoar sampai. Remaja berkaus olahraga berkeliling mencari barang-barang yang harus dibeli, ke lapak nenek-nenek yang pikun, lapak bapak-bapak yang kurang belaian, lapak ibu-ibu yang hobi menawarkan dagangan tak penting. Tujuh remaja itu menghela napas kelelahan menghabiskan tenaga dan waktu. Yang penting barang-barang tujuan sudah diperoleh. Pacul untuk menggemburkan tanah, sekop guna memindah pupuk, garpu rumput yang berfungsi mengumpulkan serasah, sabit dipakai memotong gulma, golok untuk membabat semak belukar, tong sampah dari aluminium mengilat, dan lain-lain. Tidak, mereka tidak berniat tawuran.
Sebelum kembali, masih ada satu yang belum. Dedak, entah untuk apa, karena setahu Y bebek-bebek di sekolah makanannya mewah sekelas merek Royal Bird. Di kios yang menjual pakan burung dan sejenis, ada banyak kandang, berisi unggas-unggas dengan bulu dipenuhi bakteri dan kontaminan. Bagian pakan berada di dekat konter. Mereka bertujuh menuju ke sana. Seorang laki-laki muda berbaju cina dan kumis tipis tempelan muncul dari balik, menyambut ramah-tamah. Matanya sipit dan lebih aneh lagi kepalanya dipasangkan ember. Para pembeli menatap heran sekaligus merasa aneh.
Kumisnya memaksa sekali.
Si penjual kekeh dia bukan rekan sekelas, melainkan anak juragan di situ. Jadi dilayanilah mereka dedak satu kilo. Lagi pula aneh juga Andi kan awalnya di kelas membantu bersih-bersih, buat apa mengikuti sampai pasar sini.
Dalam perjalanan pulang, tujuh remaja agak kecil hati beriringan membawa alat-alat tajam, mereka beruntung dibungkus koran atau plastik. Lalu seseorang mengusulkan untuk lewat sawah, lebih tepatnya perkebunan tebu yang sudah masuk fase generatif, batangnya besar-besar tampak segar serta daun sejajar mengering. Lima lainnya setuju, Y agak malas karena harus menembus daun-daun kasar dan ada bulu sengat, tetapi mau tak mau mengikut suara terbanyak.
Akhirnya tujuh remaja itu berbelok ke gang kompleks perumahan, lalu sampai di perbatasan kebun tebu. Satu per satu memasuki lahan, sepatu menginjak hampir merusak pucuk-pucuk muda untuk persiapan bibit pertanaman selanjutnya. Y berada di posisi tengah dari satu barisan itu.
Y gatal-gatal, tetapi dia tahan sedikit. Rekan sekelas ajaib tidak ada yang merasa terganggu. Pemimpin barisan adalah yang mengusulkan tadi, laki-laki bertubuh besar mirip pegulat, dia memakai ikat kepala elastis.
Menyusuri kebun tebu cukup susah, harus membelah dedaunan sejajar, hati-hati menyibak jangan sampai kena kulit sensitif, dan mencari arah pulang mengandalkan arah mata angin, karena batang-batang tebu tingginya dua meter lebih.
Perempuan pernik memekik saat menjumpa orang setinggi dua meter, tetapi itu ternyata orang-orangan sawah, dengan caping, kepala batok kelapa, dan kaus compang-camping. Temannya tertawa lalu lanjut jalan. Lantas terlintas di benak Y, untuk apa ada orang sawah di kebun tebu?
Saat semuanya sudah terbiasa, Y pun tak masalah kulit memerah, mereka diam setelah tadi berbincang lama dan mengaduh banyak kali, menikmati penjelajahan ini.
Perempuan pernik paling belakang menjerit, tubuhnya terangkat dan terbang menembus dedaunan sejajar. Rekan sekelas Y menoleh berbalik cepat, gelisah menyaksikannya. Mereka ketakutan, memekik berseru memanggil orang tadi, "Clair! Clair! Kau di mana!" Y mencoba menenangkan dirinya, tak mungkin manusia bisa terbang dalam sekejap lalu menghilang. Orang paling tinggi coba melompat, tetapi berputar empat arah dia tak melihat apa pun selain hamparan kebun tebu. Namun, ada jalan setapak sempit di depan.
Lalu tubuh bersimbah darah terjatuh di tengah-tengah, penuh luka, batang dan duri menusuk-nusuk kulit, memancarkan cairan merah, tulang-tulang patah, lengan kaki berputar ke arah ganjil, kulit terpelintir. Ekspresi wajah kesakitan luar biasa, tangisan, lidah menjulur, mata memelotot berputar ke atas. Tubuh yang bergetar-getar kejang kaku.
"Clair!"
Semua orang menjerit ngeri, langsung berlari menjauh berpisah satu sama lain. Tak terkecuali Y yang memekik keras, mengumpat, tak paham atas apa yang terjadi dan yang dia saksikan. Rekan sekelasnya mati dalam sekejap.
###
Klaten, 13 April 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro