Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. Kepunahan/Pemadaman

Upacara pagi itu terbilang khidmat.

Barisan barat diisi yang tinggi-tinggi macam hantu gepeng, barisan utara dipenuhi yang normal-normal saja, baru barisan selatan dijejali kecil-kecil dan masih polos.

Sedang pada bagian timur yang teduhnya luar biasa mengundang iri, berdiri pasukan pengibar bendera juga guru-guru dan staf. Sang Merah Putih dikibarkan, sesampai puncak tampak berani lagi suci tertiup angin lembut.

Pada kerumunan tak rapi di utara, hampir pojok mendekati trotoar sekolah, ialah banjar dengan plat berkaki "VIII-G". Kelas yang menjadi saksi.

Namun, daripada itu, mereka berbisik-bisik, sesekali melirik. Yang belum menangkap diberi tahu sampai paham. Kepada seorang laki-laki pirang yang jadi pusat perhatian. Pengalih perhatian. Seorang siswa baru di sana, yang ikut upacara, tetapi rekan sekelas sama sekali tidak tahu dia siapa.

Teror yang lebih besar ada di sekeliling orang-orang. Muka menunduk, desas-desus yang kasak-kusuk, bahagia dan sedih di saat bersamaan. Suasana berkabung. Namun, cuaca cerah sekali. Langitnya, mataharinya, atmosfernya.

Pemandu upacara yang tengah berpidato, di tengah nasihat tidak terdengarnya, mengisap ingus terhadap mik, mengusap mata di balik kanta dengan tisu.

Peserta upacara membubarkan diri. Di antara lalu-lalang remaja, Y mencari sosok yang dibicarakan dalam waktu kurang dari satu jam (atau selama satu jam?), tetapi tidak ketemu. Lagi pula, wajahnya amat masam, ditambah dia sendirian. Balik ke ruangan, lagi-lagi spirit kelas laksana menguap. Tidak ada yang mau semangat menimbrung atau membuat keributan seperti biasanya.

Beberapa dari mereka, terutama kaum perempuan, masih mata merah, hidung berair. Mungkin tulisan di papan tulis terlalu mengharukan. Jam kosong, katanya. Dikasih tugas, tambahnya. Jangan ramai, tutupnya.

Y menangkup lembar kerja siswa lalu meraup muka, seakan lapisan kantuk kantung mata bisa terlepas, tetapi air wajah tiada cerah-cerahnya. Lelaki berambut hitam yang berantakan itu bangkit, berjalan menuju pintu. Ditanya pun dia tak menjawab.

Dari kelas, rute mengarah lorong kantor guru, melewati parkiran motor dan mobil mahal, gedung perpustakaan, dan berakhir pada tujuan. Sebuah lapangan basket yang merangkap lapangan bulu tangkis (sementara netnya dilepas dan digulung pada tiang). Di dekatnya, terdapat panggung setinggi dua meter dengan tangga berundak.

Baru beberapa detik sampai, saat itulah muncul kepala dengan bentuk lonjong, dagu lancip, dan dahi tidak terlalu lebar, juga rahang yang tegas. Telinga simetris dengan sepasang daun yang cukup membuka. Di mercu, rambut pendek dicat pirang—daripada kekuningan, lebih cocok disebut emas. Begitu pun warna iris matanya, hitam bercampur keemasan.

Namun, kepala itu tersembunyi di balik batang-batang pohon gelodok tiang yang menjulang lebat. Maka, pemiliknya bergerak ke muka guna menampakkan diri. Seorang remaja laki-laki seumuran, tingginya bisa dibilang mirip, berdiri dengan jarak beberapa meter. Dia mengenakan seragam sekolah yang sama, kemeja putih lengan pendek beremblem almamater, dasi, celana biru, kaus kaki, pula sepatu hitam bertali. Rambut pun pakaian berkibar.

Ada seringai misterius nan khas ditampakkan di wajahnya. Alis Y mengernyit. 'Siapa? Adik kelas?' Tidak, di lengannya ada pangkat dua. Satu angkatan, tetapi baru pertama kali terlihat.

"Mencari sesuatu?" Y terperanjat. Suara laki-laki itu begitu dalam, tetapi lebih ke berbisik.

Wah, kenapa dengan orang ini? Seperti ada yang tidak beres dengannya. Lebih baik Y jauh-jauh supaya tidak kena masalah.

"Tidak," balas Y.

Remaja pirang itu menyeringai. "Kau ingin mencari tahu tentang Pak Pete, bukan?"

"Maaf? Apa?"

"Kau diam-diam pergi meninggalkan kelas tanpa memberi tahu satu orang pun. Mungkin rekan sekelasmu sudah tahu kau gelisah tentang kejadian minggu kemarin. Tapi, daripada pergi ke kandang bebek yang digaris polisi, kau malah pergi ke lapangan basket."

Kelopak Y melebar, terkejut, alis naik. Namun, ekspresinya berubah penuh syak, alis bertaut, bibir mengatup.

Sementara itu, lawan bicara di hadapan berkial sendiri, wajah dan gelagatnya berpura-pura berpikir.

"Ah, begitu, ya? Kau termakan rumor yang mengatakan Pak Pete sering bolak-balik di toilet belakang panggung dekat lapangan basket. Itu kenapa kau diam-diam datang kemari. Apa aku salah?"

Y memicing, satu lengan berkacak pinggang. "Tidakkah kau diajari sopan santun kepada orang yang baru pertama kali dikenal?"

Lawan bicara membentuk huruf o di mulut, dan, pada saat sama, menyeringai. Itu pola bibir yang aneh. "Oh? Jika demikian saya mohon maaf sedalam samudra dan seluas langit atas kesalahan yang saya perbuat. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi di masa mendatang."

Y mendeceh, membuang muka. "Hiperbola, ya ... ?"

Terjadi keheningan yang dilapisi hawa tegang.

Laki-laki di hadapan tertawa kecil, seolah merasa aneh karena tak tahan, tetapi kemudian balik ke ekspresi awal.

"Itu disebut Pengondisian Klasik."

"Pengon ... apa?"

"Bukankah materinya sudah diberikan di kelas? Ya, meski begitu itu hanya materi tambahan karena tidak masuk ujian."

"Apa yang ingin kau katakan?"

"Pengondisian Klasik. Sebuah eksperimen yang mengabaikan kehendak bebas individu kompleks seperti manusia."

"Jadi?"

"Ada sebuah eksperimen di antara dua kelompok siswa. Anggap saja Kelompok A dan Kelompok B. Kelompok A dalam belajarnya diberikan suasana kondusif dan relaks, sementara kelompok B diberi tekanan dan paksaan tinggi. Hasilnya, Kelompok A memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi daripada Kelompok B."

"Hm. Lalu?"

"Tetapi, saat Kelompok A diberikan tekanan, nilai mereka ternyata jadi turun drastis. Sementara Kelompok B yang terbiasa dengan tekanan, mempertahankan nilai dan justru menunjukkan peningkatan."

Y masih berpikir. Lawan bicara melanjutkan.

"Apa kau pernah dengar tentang extinction?"

Y menggeleng, alis bertaut dan bibir melengkung ke bawah. Amat menanti penjelasan.

"Extinction, atau dalam bahasa Indonesia, kepunahan atau pemadaman, adalah saat ketika stimulus diberikan beberapa kali, tetapi subjek tidak menunjukkan respons. Di percobaan Pavlov, bel dibunyikan beberapa kali tanpa penyajian makanan, sehingga respons anjing, air liur, yang dihasilkan sedikit, atau malah berujung stop."

Air muka Y masih mencerna perkataan lelaki pirang itu.

"Belum menangkap juga? Kau dan rekan sekelasmu, semua, adalah subjek percobaan guru kalian sendiri. Tiruan eksperimen Pavlov, Pengondisian Klasik."

"Apa katamu ... ?" tekan Y.

"Pak Pete ingin menguji apakah remaja SMP bisa dikendalikan melalui serangkaian pengondisian. Dengan iming-iming nilai ulangan bagus, kalian diperintah memelihara bebek. Selanjutnya tanpa iming-iming apa pun kalian masih bersedia melakukannya.
Jadi, dia berhasil! Tapi, justru akibat dari perbuatannya adalah kematiannya sendiri."

"Jangan bicara omong kosong! Bercanda juga ada batasnya!"

"Percayalah. Tidak ada ruginya percaya dengan ucapanku."

Anak ini sok tahu dan lancang sekali ....

Akan tetapi, sesuatu menggidikkan punggungnya. Y entah beralih memikirkan perkataan tersebut. Jika direka ulang, laki-laki ini ada benarnya juga. Dari hal-hal sederhana: bebek, metronom, Pak Pete. Dapat ditarik kesimpulan yang mengarah ke sana.

Namun, Y tetap berang.

"Pokoknya aku masih tidak percaya. Tidak ada satu pun ucapanmu yang bisa dibuktikan."

"Oh?"

"Aku juga tidak kenal siapa kau. Pokoknya kalau kau tidak menjaga mulutmu, akan kuhajar wajahmu."

Y menunjuk tajam wajah laki-laki pirang itu, berbalik dan pergi. Lagi pula rencananya gagal total.

Namun, sebelum itu, lawan bicara  berkata, "Kita pasti akan bertemu lagi ...."

"Maaf sekali, aku tidak mau berurusan dengan orang aneh." Y menampik.

Laki-laki pirang tertawa, menyeringai saat dibiarkan sendirian di lapangan basket bersama angin.

Sesampai di kelas, Y memilih tidur pada bangku. Tangan terlipat di atas meja, kepala menunduk, mata terpejam. Lagi pula tidak ada teman yang mengajak bicara. Beberapa saat kemudian, suara guru pria yang masuk membangunkannya.

Ada seorang laki-laki familier yang ikut mendatangi kelas. Jika siswa kelas lain mungkin tak bakal kenal, tetapi siswa kelas ini sudah melihatnya pagi tadi satu kali. Y justru dua kali.

Setelah menulis rangkaian kata di papan tulis, guru pun menyilakan sesi perkenalan.

"Salam kenal semua. Namaku Andi. Meski bergabung di akhir semester saat ini, mohon bantuannya, ya."

Rahang Y menganga, tercengang bukan main. Ternyata laki-laki pirang aneh yang ditemuinya adalah siswa baru di sekolah ini, terlebih lagi rekan sekelasnya, bernama Andi.

Belum komplet keterkejutannya, raga Y seakan ditarik kuasa tak kasatmata.

Semua gelap. Di hadapan, Andi berdiri, disorot lampu panggung. Andi kemudian menodongkan senter ke arah muka. Y kemudian turut disinari lampu. Semua silau.

Namun, Y bisa melihatnya. Seringai penuh teka-teki milik laki-laki pirang. Antara senang, merendahkan, sekaligus menantang.

Bahu Y terlonjak. Suasana kelas kembali normal. Akan tetapi, dia berada di tengah-tengah kelas, tepat di bawah kipas angin.

Kulit lehernya terbuka lebar, kepala terpenggal, memisah dan terbang. Darah menyembur ke seisi ruangan, membasahi kursi dan meja, juga pakaian serta wajah para siswa yang tercengang menyaksikan.

###

Klaten, 8 April 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro