Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17. Regresi Z ke X

"Hei, Z, kau melihat Andi?"

Z menoleh, alis mengernyit untuk mengenali siapa yang memanggil di lorong saat istirahat. Ah, itu Eks. Dia tahu siapa itu, anak laki-laki lancang kaki dan suka tongong, alasan opininya selalu diletakkan di akhir saat jajak pendapat. Sepertinya orang itu kurang makan akhir-akhir ini, ditandai badan yang kurus, suara tidak sekecil biasanya, pun wajah susah tidur.

Pertanyaannya mengenai Andi barusan memaksa Z harus memberi aksi turunan.

"Aku tidak tau. Kenapa? Dia jadi korban mutilasi dan tubuhnya terpotong-potong disebarkan di penjuru kota?"

"Hentikan candaan berlebihanmu itu," ujar Eks, bernada rendah.

"Maaf, maaf. Jadi, ada apa?"

"Kau sudah dengar kabarnya? Berhari-hari dia tidak masuk sekolah ...."

"Eh? Iyakah? Aku baru tahu karena tidak sekelas."

"Jangan main-main! Dia itu klienmu, bukan!"

"Hahaha, santai, Kawan. Hari ini teman-teman akan menjenguknya, kan? Aku ikut, aku ikut!"

Eks seperti lega. Namun, muka masamnya itu, mata mencerling ke kiri. Z tentu sadar.

Rombongan sepulang sekolah akhirnya terbentuk. Hadiah bendera semafor dan peluit dibawa, tetapi mereka tidak memakai helm anak TK, karena sudah SD. Dipimpin laki-laki bongsor, Z tahu namanya Doni. Yang penting jelas bertujuan menjenguk. Sebelum keluar gerbang, mereka melambai kepada wali kelas yang mengupas jeruk.

Doni, Tono, Anas, Relvo, Cheap, dan Lempa. Tiga di awal laki-laki, sedang tiga di akhir perempuan. Ditambah Z dan Eks, terjadi dominansi.

Di tengah perjalanan, di pinggir trotoar, mereka bersenda gurau ala anak-anak, candaan bebek goreng, udang, ikan, gajah, atau apa pun itu yang dicuri dari buku 1001 Lelucon.

Eks terlihat normal dari siapa pun saat itu. Z tahu. Alasan dia melawak di hadapan teman-teman. Dan, pada momen yang tepat, Z membuatnya bertekuk lutut, karena Z mengetahui segala rahasianya, dan berjanji akan pura-pura tidak tahu selagi Eks tunduk. Eks pernah memakan tali pusar Andi.

Sesampai di rumah sederhana, yang tidak seperti kawan-kawan baru saja pergunjingkan, hunian tersebut benar-benar terbuat dari adonan pasir dan semen, bukan donat apalagi cokelat. Tumbal manusia juga tidak ada. Lagi pula, tak sopan membicarakan kejelekan orang selagi tuan subjeknya di hadapan. Doni meminta maaf, karena dia yang terdepan, kepada pria paruh baya yang tingginya mengalahkan pohon cabai. Sulit mengindentifikasi wajah pria itu karena dibungkus topeng, maupun perawakannya karena memakai kostum maskot bebek yang temperamental.

Katanya, mereka yang terakhir. Rombongan berjumlah delapan anak dominansi adam pun memasuki pintu geser, mereka dipersilakan duduk melingkar di karpet ruang tamu seluas bilik penjara. Selagi menikmati kaleng biskuit berisi alat jahit serta ikan-ikan mengapung di akuarium, anak-anak yang siap saling bercumbu—berkelakar tentang soda melon berisi obat tidur ataupun permen-permen narkotika.

"Kami sudah membawanya ke mana-mana. Awalnya Andi mengaku dia hanya merasa gatal. Tapi, di situ kami merasa ganjil karena gatalnya di seluruh kulit, dan bukannya merah, ruam-ruam yang dihasilkan berwarna pelangi.

"Aku curiga dia habis makan hamburger yang kedaluwarsa, jadi aku pergi ke restoran cepat saji, membelikan Andi piza. Tapi, itu tidak membuatnya sembuh. Ke dokter pun, katanya kami berkhayal tidak punya anak—itu sedikit benar karena kami memungutnya di jalan saat Agustusan dua belas tahun lalu—tetapi itu tidak bisa dijadikan alasan! Dokter berkata Andi hanya sakit kanker. Kami tentu tidak percaya. Kami pun membawanya ke dukun dan kata Mbah Ti Amo, Andi mengidap penyakit yang menyeramkan, sama-sama kanker sih.

"Maka kami melakukan segala cara. Akupuntur, kacamata anti-UV, permen ajaib, ekstrak ganoderma, wisata masa lalu, radio, bahkan sampai kemo! 1001 tips dan trik! Tapi, tidak ada satu pun yang berhasil! Kami benar-benar frustrasi, sudah mencapai batas. Sampai sel-sel kanker berkembang pesat dan menggerogoti hampir seluruh tubuhnya. Ini fotonya yang terbaru."

Pria itu menunjukkan selembar potret, lebih mirip monster daripada anak SD. Tonjolan-tonjolan di wajah dan sendi, warna merah muda seperti daging segar, cairan-cairan yang tampak mengalir. Badannya menggelembung dan organ dalam hampir terburai. Anehnya sepasang mata masih bercahaya, mulut membuka bak bisa diajak bicara, dan dada serta perut bernapas. Dia masih hidup setidaknya.

"Aku sudah sampai di cara nomor 69. Sekarang pegang ini satu-satu, kalian ikut saya ke kamarnya."

Z memakan kue basi terakhir, menerima pisau yang pentilnya berlumur racun. Eks palu martil. Doni blok pestisida, Tono gergaji kayu, Anas pacul, Relvo golok, Cheap linggis, Lempa garpu.

Tanpa rasa curiga maupun ingin tahu, delapan anak pun mengekori sang pria berkostum maskot bebek temperamental. Lorong di rumah itu amat gelap, bahkan hanya bisa mengandalkan derap kaki untuk tetap maju. Sesekali kaki berkaus mereka menginjak sesuatu lembek, tetapi selain berseru jijik hanya bisa lanjut jalan.

Sesampai kamar temaram yang mengandalkan lampu watt minimal, ada ranjang, seprai yang basah, dinding berjamur, plafon berlubang-lubang. Sesuatu mirip onggokan besar berada di atas kasur. Di sana sudah ada satu anak laki-laki yang ternyata Ye, duduk bersila di sisi seorang wanita keriput rambut kusut—ibu Andi.

Semua baru sadar Andi ternyata kidal dan pusarnya menonjol saat makan ganti-baju mandiri. Anak dengan keadaan mengerikan itu tak ayal menerbitkan rasa kasihan sekaligus menjijikkan.

Maka daripada terus-terusan jijik, Pak Walle yang merupakan ayahnya menyuruh untuk membunuh Andi. Ini termaauk salah satu rencana menyembuhkan.

Namun, ternyata, sosok itu bukanlah Andi, melainkan kucingnya. Sekarang sebesar beruang karena obesitas. Lantas siapa yang mereka lihat tadi? Ternyata hanya rekaman dari hologram kilas balik.

Andi yang asli ada di dalam akuarium air kosong, bermulut zig-zag. Sebuah batu kerikil abu-abu.

"Batu?"

"Benar, batu."

"Kau pasti bercanda."

Ye yang terpojokkan atas tatapan-tatapan kebencian dan ketidakpercayaan menjadi amat histeris. Mata memelotot, pupil menyempit, dan rahang menganga membalas wajah kawan-kawannya. Dia berteriak seolah melihat mereka sebagai sosok penuh teror.

"Itu benar! Aku tidak bohong! Aku melihatnya sendiri saat tangannya terpuntir, kaki menyusut, kepala mengecil dan kempes, badannya hilang. Dan saat aku dan ibunya mencari di balik baju, kami menemukan sebuah kerikil! Andi telah berubah menjadi kerikil!"

Pak Walle tidak mau dengar alasan lagi. Anaknya bukan lagi anaknya dan itu fakta yang mengerikan. Maka dia menyuruh anak-anak SD mengangkat senjata masing-masing, mengumpulkan mana dan menembakkan sinar aura mengarah target, batu kerikil di akuarium.

Dalam sekejap, akuarium pecah berkeping-keping, dinding hancur berantakan, plafon menjadi serpihan-serpihan, kasur serta furnitur lain beterbangan. Ibu Andi tertusuk tongkat-tongkat kayu di sekujur tubuh. Pak Walle meledak menghancurkan ceceran daging serta darah. Anak-anak SD hanya bisa menyaksikan penuh kengerian lagi ketidakpercayaan. Sementara batu kerikil itu masih di situ, di atas tegel yang pecah-pecah.

"Maafkan aku, Andi ...."

Lutut yang diseret terhadap lantai tajam, cairan merah membentuk jejak eretan.

"Maaf, harusnya aku memilih bebek di santet itu ...."

Eks menelan batu kerikil dan dia pingsan seketika.

###

Sleman, 22 April 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro