13. Kutukan dalam Sains bag. 1
❝Sains kini menjadi kutukan akibat adanya pengembangan nuklir, alat perang, dan senjata biologis yang destruktif di seluruh dunia.❞
Pupilnya menyempit kala sinar terang merangsek masuk. Laki-laki beriris kecokelatan itu terlonjak dari bangku. Ruangan kelas mendadak ribut.
"Hei! Hei! Ada yang membagikan Royal Bird di dekat lapangan!" seru seorang siswa yang dikenali.
Para remaja di kelas pun bersahut, 'Royal Bird? Aku mau!', 'Asyik! Makanan gratis!', 'Siapa cepat dia dapat!'.
Y masih mengantuk, mengacak-acak rambut. Butuh usaha lebih hanya untuk berdiri, nyawanya belum komplet mengumpul. Ditengok jam dinding, jarum pendek masih belum di angka delapan. Namun, tubuhnya refleks tergerak keluar.
Bersama rombongan rekan sekelas, Y jalan beriringan. Lorong terasa sesak. Begitu keluar gedung, dari jauh matanya menangkap kerumunan di lapangan rumput. Benaknya agak enggan mendekat, tetapi jika putar balik terancam cap botol gelas.
Maka, mau tak mau, dia ikut ke sana, sampai di depan panggung dekat lapangan. Pada panggung itu, boks-boks tertata di atas meja. Beberapa siswa berpangkat tiga berdiri di belakang. Sementara di bawah, orang-orang dari berbagai kelas menyemut, bahkan guru dan staf sekolah pun ikut-ikut. Di sana, Y berdesakan di antara puluhan, lebih-lebih ratusan, tulang-daging hidup.
Huru hara menjadi-jadi ketika seorang pemuda naik ke panggung. Megafon dia angkat di depan muka. "Ayo! Ayo! Semua pasti dapat! Royal Bird berbahan bekatul terbaik! Bergizi seimbang dan cocok untuk diet! Ada banyak manfaatnya dan dapat mengobati berbagai masalah kesehatan, dan lain-lain—"
Suaranya kencang sekali, mendengungkan. Mirip pramuniaga mal. Kurang lebih lanjutannya menjelaskan bahwa atas perihal terjual ludesnya bebek-bebek peliharaan di sekolah ke juragan di daerah, stok pakan yang masih berboks-boks jadi terbengkalai. Daripada terbuang sia-sia, pengurus memutuskan untuk membagikan cuma-cuma kepada warga sekolah.
Pengurus yang dimaksud, siswa-siswi pangkat tiga, menebarkan bungkus-bungkus kecil warna abu-abu layaknya petani saat tabur benih. Kerumunan massa mengharu biru, tangan-tangan terangkat, semua perhatian tertuju ke atas. Sepatu-sepatu saling injak sampai kotor dan kusut. Adu mulut tak dapat dihindari. 'Punyaku! Punyaku! Punyaku!'
Mereka menangkap dengan berbagai cara. Gerakan slalom layaknya pemain ski ataupun basket, memakai jaring serangga bahkan pukat harimau, dan ada yang membegal orang-orang rentan. Tak seorang pun puas hanya dapat satu sehingga ingin menambah terus. Y dibuat terheran bukan main.
"Kenapa pada berebut pakan unggas ternak bermerek itu, ya? Apa sekarang eranya beternak di rumah?" gumamnya, mengingat avikultur unggas seperti bebek memang seru apalagi saat mereka meleter.
Namun juga, dia bertanya-tanya, mengapa bungkus Royal Bird tidak diberikan secara adil saja—serupa pembagian sembako yang memakan hayat anak-anak kecil dan bayi. Y kembali memperhatikan orang-orang yang beringas.
Tak butuh waktu lama, situasi menerbitkan anarki. Terjadi pukul-memukul massal, tendang sana-sini, jadilah arena bela diri dadakan. Semua menunjukkan bakat terpendam. Beberapa saat kemudian, senjata tumpul maupun tajam masuk. Baku hantam, bacok-membacok massal, tak peduli kawan atau lawan. Membabi buta, orang-orang saling serang hanya demi sebungkus pakan.
Bunyi trompet terdengar. Seluruh boks yang sebagian besar koyak moyak isinya ludes sudah. Menganggap telah habis kesempatan, massa pun membubarkan diri. Namun, anehnya tidak ada korban jiwa. Y juga bebas luka.
Laki-laki pangkat dua itu terkoteng-koteng, bertangan kosong. Tingkat keberhasilannya barangkali di bawah titik nol. Dewi Fortuna tidak di pihak yang sama.
Atau mungkin tidak.
Matanya menangkap bungkus plastik abu-abu nan mengilat di antara pot tanaman bawah panggung—berkat perlindungan alam, mereka nihil kerusakan.
Y pun melirik kiri kanan, angguk satu kali, memastikan tak ada orang. Macam insan majenun, dia sergap target. Dalam sekali sabetan, berhasil didapat bungkus abu-abu bertulis Royal Bird tersebut.
Lalu air mukanya tercengang, mata terbelalak dan mulut menganga. Bungkusnya kempes saat diremas, udara belaka keluar.
"Sial!"
Di jalan pulang, tas berjuntai dari punggung bungkuk. Wajah Y cemberut, mulut menjorok ke kiri. Dengan malas dia perhatikan bungkus kosong di genggaman, dan terheran mengapa masih terbawa. Daripada dibuang sebarang, Y membaca etiket yang tertera di bungkus. Royal Bird, pakan ternak berkualitas. Diketahui bahwa produksi dilakukan di kota sebelah, dan produk tersebut telah mendapatkan logo sertifikat ISO, CPPOB, HACCP, FSSC, SNI, juga Halal MUI.
(Catatan: sertifikat di atas biasanya untuk produk makanan dan minuman yang diedarkan di Indonesia)
"Aneh, perasaan pakan hewan ternak, kenapa kesannya seperti pangan untuk manusia, ya?" Y bertanya-tanya.
Selain itu, jika ukuran kemasannya 90 gram, apa berarti ini untuk camilan hewan ternak pada waktu santai?
Y menggeleng. Dia lanjut cermati etiket. Komposisi tercantum meliputi 90% bekatul serta sisanya bahan pelengkap seperti vitamin, mineral, dan lain-lain.
Perhatiannya tertuju pada tulisan dicetak tebal "Bekatul, ya ... ?"
Entah perasaan apa, bayangan orang bahagia berlari melompati pagar, terjun dari atap, tertarik gravitasi tanah puluhan meter di bawah.
Keesokan harinya, sekolah begitu ramai. Wajar karena matahari sudah naik dan langit beralih biru cerah. Y buru-buru lari dari gerbang menuju deretan kelas, hampir bertabrakan dengan orang-orang yang asyik di tengah lorong memakan sesuatu.
Sesampai depan pintu kelas, bel tepat berbunyi. Jarum panjang jam dinding menunjuk angka sepuluh. Rekannya menanyakan alasan keterlambatan, Y berdalih dia bergadang menonton film Duckling Culling dan itu sangat horor.
Setelah duduk, rekan semejanya menawarkan bekatul dalam kemasan, Royal Bird. Y menolak dengan alasan lidahnya alergi bekatul. Walau aslinya hati masih teringat insiden di lapangan. Harusnya dia dapat satu, harusnya, tetapi kemasan kosong memberi harapan palsu. Maka Y hanya bisa menonton rekan sekelas menikmati bekatul. Guru pengajar pun mengudap bekatul di sela menerangkan materi.
Berakhirnya jam pelajaran, seisi kelas tidak langsung pulang, melainkan mencamil bekatul dahulu. Y yang balik sendiri terheran berpapasan orang-orang menyantap bekatul belaka, baik di lorong, halaman, sampai gerbang sekolah, bahkan di jalan menuju rumah.
Begitu masuk, di ruang keluarga, adik-adiknya asyik duduk mencamil bekatul dalam kemasan yang sama seperti di sekolah. Aneh, bahkan keluarganya pun dapat. Menu makan malam juga berubah menjadi olahan bekatul: bubur bekatul, bekatul goreng, bekatul sangrai, puding bekatul. Y tidak berselera sehingga laki-laki itu pergi ke kamar, mencuil busa kasur untuk dimakan (tulisannya organik).
Dini hari ketika menggulir lini masa sosial media, Y menemukan pos yang mengatakan ternyata Royal Bird bahannya dari padi transgenik.
'Transgenik'. Y serasa pernah mendengar, tetapi tidak tahu apa itu. Maka setelah pagi datang, dia berangkat sekolah tanpa sarapan, begitu istirahat tiba, Y menuju perpustakaan. Laki-laki tersebut mencari buku di rak "Sains&Teknologi", menemukan satu berjudul "Pangan Transgenik". Dia kemudian menuju ruang baca, duduk bergabung dengan anak-anak culun yang semua berkacamata bulat dan berwajah khas pendiam.
Pada buku itu, dijelaskan bahwa tanaman transgenik merupakan organisme hasil rekayasa genetik dengan memasukkan gen-gen baru ke DNA tanaman menggunakan bantuan mikroorganisme. Hasilnya, sifat-sifat unggul pun muncul dan produktivitasnya berkali lipat, memberi keuntungan baik di bidang pangan maupun sains.
Akan tetapi, terjadi kontra akibat adanya beberapa kasus alergi tak biasa setelah mengonsumsi olahan dari tanaman transgenik, serta munculnya isu tanaman transgenik yang mampu memicu tumbuhnya sel kanker. Para warga yang menentang melakukan demonstrasi. Unjuk rasa itu mengungkapkan bahwa tanaman transgenik tidak aman dan pemerintah harus mengeluarkan peraturan yang melarangnya.
Y menutup buku. Kepala serasa berasap dan berdenyut. Dia lihat tahun terbit, rupanya belasan tahun lalu. Jadi dia pikir sekarang tanaman transgenik diperbolehkan, mungkin karena perkembangan iptek.
Maka lingkungan di sekeliling Y berubah seiring berjalannya hari. Pangan pokok yang awalnya nasi berganti Royal Bird. Dengan alasan bekatul lebih bermanfaat daripada beras itu sendiri. Y yang telanjur tidak bisa makan bekatul pun dicarikan alternatif, beras langka karena kebanyakan dipakai untuk pakan ternak. Untung dia mendapat banyak informasi berkat klub anti-bekatul daring yang dimasukinya.
Atas dinamisnya perkembangan waktu, dunia beralih ke bekatul. Semua diubah jadi Royal Bird. Merek itu ada di mana-mana. Tersebar rumor sekte yang memuja makanan itu.
Bekatul mulai merambah ke bidang lain, bahkan perang. Bekatul untuk bahan nuklir, alat perang beramunisi bekatul, virus senjata biologis yang ditularkan melalui bekatul.
Dalam masa yang cepat, penyakit aneh menciptakan pandemi. Sekolah ditutup, kantor ditinggalkan, orang-orang berdiam di rumah dalam keputusasaan. Dunia telah ditinggalkan oleh kemanusiaan.
Lalu dunia kembali ditata ulang ketika menyadari bekatul selama ini oplosan dengan dedak.
Sesudah pulih, dalam kedipan mata tahu-tahu sekeliling berubah. Akhirnya setelah liburan panjang, Y bisa kembali bersekolah. Laki-laki berseragam putih biru itu berangkat, mencium tangan orang tuanya yang memakai daster dan celemek.
"Berangkat dulu, Pak," pamitnya.
Tunggu, bukannya bapaknya itu Bang Toyib? Mengapa sekarang jadi orang tua tunggal?
Agak ganjil rasanya, tetapi dia tak terlalu mengindahkan. Lalu dia mendoakan salim kepada empat adik perempuan dan tiga adik laki-laki.
Di sekolah, semua terasa asing, tetapi akrab di lain sisi. Ketika menyusuri halaman, tak sengaja matanya menangkap sesosok yang indah. Remaja di sekitar mendadak berkerumun di dekat Y, tetapi menjaga jarak dari sosok tersebut. Anehnya mereka semua memakai rok.
Sosok itu adalah seorang perempuan berambut keemasan berkilau nan panjang, melambai tertiup angin lembut. Wajahnya berbentuk oval dengan dagu lancip, hidung mancung, bulu mata yang lentik, dan alis tipis. Kulitnya putih tampak cocok dengan pirang dan iris biru langit. Katanya dia adalah primadona sekolah, jika melintas seketika jadi pusat perhatian.
Setelah sang primadona pergi, semua kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Namun, tiba-tiba orang di sekitar menyadari sesuatu. Semua mata tertuju ke arah Y, dan itu bukan tatapan baik, melainkan pandangan tak suka.
"Eh, kenapa ada laki-laki di sini?"
Y tentu bingung. Dia jawab dengan datar, "Saya siswa di sini."
Para siswi menatap aneh. "Mana ada! Ini 'kan sekolah khusus perempuan!"
"Eh?"
Merasa tak ada yang beres, Y sebagai satu-satunya laki-laki kabur dari kerumunan yang memandang aneh. Beberapa kakak kelas tampak mengejar. Lari mereka cepat juga, Y kewalahan memperlaju gerakan.
"Hei! Jangan kabur!" teriak mereka.
"Ih, ada laki-laki!"
Ke mana pun Y berlari, pandangan risi serta ingin membinasakan belaka dia dapat. Lagi pula, mengapa seragam atasannya sama seperti perempuan di sana.
Y berbelok dan sembunyi di suatu gudang kecil. Pintu ditutup, dan dia mengutuk karena gembok rusak. Y mencermati isi ruangan. Ada tumpukan kursi dan meja reyot yang rusaknya di luar nalar, mungkin bekas tawuran, jadi tidak akan berguna. Selain itu, gudang ini benar-benar kotor. Banyak sawang yang bisa memberi warna dan gliter pada rambut hitam miliknya.
Y mencoba tenang, mengatur respirasi dengan dada ditekan, satu tangan membungkam mulut dan hidung. Saat dia rasa telah aman, mendadak pintu terbuka. Seorang perempuan berambut keemasan tampak di ambang.
"Si-siapa kamu?" Y bergidik lalu menunjuk cepat.
Perempuan itu memberikan ekspresi penuh teka-teki. "Andini," jawabnya.
Lalu dia bergerak mendekati muka Y. Y mundur menabrak tumpukan meja. Telapak yang pucat membuka dan bibir membulat, meniupkan sesuatu ke wajahnya. Seolah embusan magis, berkilau serta berwarna mirip aurora.
Y membeku, tubuh tak bisa digerakkan. Matanya terbelalak dan pupil menyempit, mulut menganga. Dalam sekejap keduanya tenggelam dalam cairan kadru mirip teh kental yang perlahan memenuhi ruangan gudang. Y tak bisa bernapas, matanya mendelik, memutar ke atas. Tubuh lemas.
Lantas semuanya menggelap.
Y beradu di depan gerbang SMP khusus perempuan. Remaja perempuan belaka yang memenuhi pagi itu. Dia mengangguk sekali, lalu melangkah semangat. Rambut cokelat kehitamannya nan panjang melambai tertiup angin.
Perempuan beriris kecokelatan tersebut tersenyum manis. Sebelum menuju gedung kelas, dia berbelok ke kandang di belakang rumah kaca. Y mengambil sesuatu dari tas hitamnya. Kotak bekal berisi sosis dan dadar. Sepotong sosis diberikan ke bebek-bebek yang meleter. Y berbicara ke mereka seolah berteman, bersikap ramah, kemudian tahu-tahu dua perempuan muncul.
Mereka Eks dan Zet. Eks adalah perempuan jangkung berambut biru, sedang Zet yang setinggi bahunya memiliki iris batu delima yang memikat. Setelah saling sapa dan basi-basi, mereka bertiga jalan beriringan.
Akan tetapi, terdapat kerumunan yang berbisik-bisik, menatap penuh syak ke suatu tempat. Layaknya sedang terjadi kasus pembunuhan.
Saat itulah Y bertemu pandang dengan perempuan pirang bermanik mata keemasan. Sebuah gunting berlumur cairan merah berada di genggamannya. Di trotoar halaman sekolah, tersebar banyak onggokan berbulu, berkaki, berparuh, serta bersayap, tetapi dalam kondisi hancur dan terpotong-potong.
###
Sleman, 18 April 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro