Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Pengondisian Klasik (sebelum)

SMP Piji, 16 April 20xx.

Sebuah surat untuk X, Y, dan Z.

Remaja itu memandang nanar tumpukan bangkai di jalanan pagi sekolah. Bebek-bebek terserak dalam kondisi tak wajar. Leher mereka terpelintir ke arah ganjil. Kaki juga kepak berputar pada posisi tidak sesuai. Paruh para unggas disumpal dengan gulungan perekat yang membelit, memutari kepala. Bulu-bulu kelabu menjadi kotor akan lumpur jelaga, rontok di sejumlah bagian dan mengucurkan darah.

***

Ivan Pavlov menyatakan, perilaku individu dapat diubah melalui proses belajar yang disebut sebagai pengondisian klasik.

Respons anjing terhadap penyajian makanan adalah hal alami.

Pada percobaannya, cahaya atau bel sebagai stimulus diberikan bersama penyajian makanan.

Berikutnya, diberikan cahaya atau bel tanpa penyajian makanan.

Anjing yang menunjukkan respons air liur terhadap cahaya atau bel saja menandakan adanya pengondisian.

Suasana kelas yang khidmat. Siswa-siswi berseragam putih biru memperhatikan uraian materi dengan saksama. Sebagian remaja mencatat hal-hal penting di buku, lainnya cukup memahami dan mengingat dalam benak. Memang hanya sebagian kursi yang diisi, tetapi kegiatan belajar-mengajar di kelas dengan pelat VIII-G itu terbilang kondusif.

Di depan, Pak Pete yang mengajar. Bertubuh sintal dan tidak kotak-kotak seperti namanya. Beliau hanya seorang bujang tua yang hampir beruban. Meski demikian, pemaparan bahan darinya amat mudah ditangkap. Bisa-bisa ada yang salah paham beliau adalah sang filantropis.

Sementara di pojok kiri barisan bangku pertama, seorang siswa asyik menggambar pada sampul belakang buku bergaris. Oretan-oretan hitam terlukis seiring pena terus memutar. Satu siluet gelap dengan perut bulat serta leher panjang, berekor dan bermoncong, dihasilkan samar-samar.

Bel dari pelantang sudut plafon pun berdering. Dia berhasil merampungkan sketsa, tetapi tidak tahu cara merapikannya.

"Uh, jeleknya nilai ulangan MTK-ku."

Beberapa siswa tetap di kelas walau tahu saatnya istirahat. Merubung pada salah satu kursi, mereka membahas tentang lembar kertas buram di tangan.

"Kau dapat remedi?"

"Mengerjakan pengayaan lima halaman, lengkap dengan cara."

Y mengangguk seraya membuang napas. Raut tak percayanya amat kentara. Walau siswa kurus berambut hitam itu memang tak tampak pintar, nilai telur mata sapi sudah keterlaluan.

"Lagi pula, aku memang tidak paham materinya," keluh Y.

Siswa jangkung berambut biru dengan perawakan proporsional mendekat. "Bagaimana kalau aku minta Pak Jarno mengajar ulang materi yang tidak kau pahami?"

Y tampak berseri-seri. "Benarkah? Khusus aku? Kebaikanmu melebihi batas, Eks!"

Laki-laki besar dengan rangkaian kata Eks mengiakan, tersenyum lebar. Memang emblem pita merah di lengan kirinya tidak hanya pajangan.

Namun, seseorang berkata untuk menunggu. Keduanya pun menoleh.

"Bagaimana kalau sekalian saja sekelas yang diajar ulang? Yang ingin nilainya diperbaiki 'kan bukan cuma satu orang." Itu siswa ketiga, Zet. Auranya tak kalah mencerahkan. Terlebih iris semerah batu delima miliknya, senada warna rambut.

Y yang dituju mendadak tak terima. Ingin dia memprotes, tetapi respons Eks membuatnya bungkam.

"Benar juga ...." Eks kemudian menatap seisi kelas. "Teman-teman!"

Semua rekan tahu-tahu sudah mengumpul.

"Bagaimana menurut kalian? Mau, tidak?"

"Mau ... !"

"Setuju ... !"

"Asyik ... !" jawab mereka serempak.

Rahang Y jatuh. Zet yang senang usulannya diterima pun menepuk bahu Eks. Tanpa keraguan, semua teman sekelas yang berjumlah belasan menyetujui, tak paham akan mala yang ditampilkan di masa depan.

Alhasil sepulang sekolah, Y yang telah jadi indarus menunggu di lorong bersama Zet. Keduanya harap-harap cemas akan nasib Eks di kantor guru, yang tengah membujuk dengan segala kata-kata manis kepada pria membosankan setengah botak.

"Bagaimana?" Zet langsung bertanya sekeluarnya si laki-laki jangkung. Y tentu ingin tahu juga.

Eks memasang muka masam, menjadi penanda yang membuat Zet dan Y ikut murung. Namun, dia mengacungkan kedua jempol serta tersenyum lebar. Zet pun tertawa lalu menjitak rambut biru si jangkung.

Sementara itu, Y membuang napas. Dia merasa ini akan jadi merepotkan.

Pagi hari sebelum jam masuk, Pak Pete yang tidak diharapkan masuk kelas VIII-G. Beberapa siswa memandang heran, bertanya-tanya, karena harusnya bukan beliau yang tiba. Di tangan guru IPA tersebut ada semacam limas dengan jarum di bagian depannya.

"Anak-anak, mulai hari ini kalian semua akan memelihara bebek di sekolah."

Apa?

Semua siswa terdiam, menoleh tercengang dan bingung. Mereka makin penasaran, apa hubungan pentingnya dengan permintaan hari silam.

"Saya yang akan menggantikan Pak Jarno untuk memperbaiki nilai ulangan harian Matematika kalian. Jadi, pertama-tama kalian harus membawa seekor anak bebek, per orang satu. Kita akan membuat kandang di belakang rumah kaca sekolah. Itu dekat dengan kelas ini.

"Sepulang sekolah mulai besok, saya akan membunyikan bel dari metronom ini. Seperti ini bunyinya. Nah, setelah itu kalian semua pergi ke kandang untuk saya ajarkan cara memelihara bebek. Paham semua?"

Penjelasan Pak Pete tak ayal menumbuhkan kontra di antara para siswa.

"Memelihara bebek? Kita 'kan bukan anak SD lagi ...."

"Ini bukan sekolah peternakan, Pak ...."

"Aku lebih suka memelihara anak harimau albino yang imut dan menggemaskan."

Lalu Eks angkat suara meredam perpecahan. "Tunggu, teman-teman. Dengarkan sampai selesai penjelasan Bapak dulu."

Pak Pete berterima kasih lalu melanjutkan, "Benar. Tidak ada alasan, semua harus ikut. Saya akan memberi surat resmi kepada orang tua karena ini program wajib untuk SDGs*."

(SDGs= Sustainable Development Goals)

Para siswa merasa keberatan dan mengeluh. Namun, itu tidak ditanggapi karena si guru keluar kelas seiring masuknya guru lain ketika bel berbunyi.

Hari besok yang ditandai pergantian seragam ke batik cokelat, langit di atas gedung beralih jingga. Para siswa kelas lain mencangklong tas berhamburan keluar, berjalan kaki ataupun mengambil sepeda terlebih dahulu di parkiran.

Tidak dengan kelas VIII-G. Pak Pete sesuai janjinya masuk, membunyikan benda mirip piramida di tangan dengan mengaktifkan jarum yang berayun-ayun, 'tik tok, tik tok'.

Mereka masih malas-malasan, berjalan gontai yang dibuat-buat seraya mengesah akan keadaan. Pak Pete tak mau dengar dan memaksa pergi.

"Hei, ayo!" Dua laki-laki dengan beda tinggi nyata, Eks si jangkung serta Zet si iris batu delima, mengepung meja Y di barisan depan yang berlawanan pintu.

Y masih memasukkan barang-barang ke tas, LKS, buku gambar, kotak stasioneri, maka dia berjeda.

"Eh? Oh, aku tidak ikut." Beres berberes-beres, lelaki itu bangkit dari kursi.

Eks dan Zet berdua syok akan sikapnya.

"Memelihara bebek? Itu terlalu kekanak-kanakan," tampiknya.

Hampir mencapai ambang pintu, Y stop lalu berbalik menghadap si duo kawan.

"Lagi pula yang tidak ikut bukan cuma aku saja—" Pandangan lelaki itu menyapu seisi kelas, tetapi mengejutkannya kosong, rapi, lagi bersih. "Lo, tidak ada orang?"

"Yang lain semua sudah ke kandang," kata Eks.

"Iya, ayo, cepat!" desak Zet.

"Apa? Apa kabar dengan yang oposisi tadi? Bukannya tadi ada yang bilang 'ini bukan sekolah peternakan' atau 'lebih mending pelihara anak harimau'?"

"Itu cuma perasaanmu saja."

"Iya. Ayo, cepat!"

Dua lelaki itu mendahului Y meninggalkan kelas. Si penentang masih ragu, lebih tepatnya kesal karena kejadian tidak sesuai ekspektasi. Alisnya tertaut dan dahi berkerut, tatapan masam.

Ketika melewati lorong sekolah yang bercabang, Y mematung ke arah tertentu. Bangunan beratap dan dinding kaca yang diisi banyak pot tanaman. Sore hari memberi kesan gelap lagi kejingga-jinggaan yang menyilaukan.

"Pengkhianat," cibir Y. Di jalan luar sekolah, terus-terusan menggumam tidak jelas.

Hari pun berganti. Di kelas, Y yang asyik menggambar tiba-tiba berhenti. Dia penasaran, menoleh ke belakang pada rekan sekelas. Tak ada yang membahas soal kemarin, tetapi anehnya raut mereka berseri-seri.

Bel pulang berdering, benda limas di atas meja guru ikut berdetak. Bunyinya tidak terlalu keras, tetapi ajaibnya bisa masuk ke liang pendengaran tiap-tiap siswa.

Y kali ini ikut. Kandang yang dimaksud ada di belakang rumah kaca, berupa tanah lapang yang dibatasi pagar kayu pendek dengan bangunan besar tertutup di seberang.

Dia benar-benar tercengang menyaksikan rekan sekelas amat antusias menyiapkan segala perlengkapan untuk kandang bebek. Katanya, budi daya dimulai Senin minggu depan. Saat itu semua orang harus membawa seekor anak bebek.

"Hah?! Memangnya apa yang Pak Pete berikan ke kita sampai-sampai kalian mau-maunya disuruh-suruh? Memelihara bebek tidak akan membuat kita pintar! Nilai ulangan kita tidak akan diperbaiki! Ini hanya akal-akalan guru dan kepala sekolah! Selama ini kita telah ditipu!"

Y menyemprot ke muka Eks dan Zet. Mereka hanya bungkam, senyum-senyum saja mungkin karena kasihan.

Merasa capai, Y melirik ketika ada yang berkerumun, duduk-duduk istirahat. Kerumunan itu tampak saling pamer, dan percakapan yang terdengar tak ayal membuat Y melongo tidak berkedip.

"Aku diberi modul matematika untuk ulangan minggu depan. Itu sangat membantu."

"Kalau aku dapat nilai tambahan untuk memperbaiki ulangan kemarin."

"Aku dikasih sontekan buat UKK nanti!"

"Eh? Aku juga mau! Ayo, bertukar saja."

"Nanti, sabar ya, semua dapat giliran kok."

Darah Y mendidih seketika. Usai dikompori teman-temannya, lelaki berseragam pramuka itu pulang sambil bersungut-sungut.

'Aku juga mau ....'

***

Hari pertama di minggu selanjutnya. Hari membawa anak bebek.

"Jreng! Aku membeli anak bebek!"

Y tanpa rasa malu menunjukkan meri kuning di dalam kurungan mini. Mukanya semringah dan menyeringai. Eks dan Zet yang juga membawa anak bebek, sama seperti lainnya, tak bisa berkata-kata selain terpukau.

"Bagaimana? Tampan, bukan? Aku beli di lapak bapak-bapak baru di pasar dan katanya ini ras langka. Ngomong-ngomong namanya Rodrigo!"

"Keren amat?" Zet dan Eks terheran.

"Ibuku bilang kalau beli hewan peliharaan itu harus diberi nama ala-ala bule. Adik-adikku juga ikut membisiki yang aneh-aneh. Tapi, aku selalu berpegang teguh pada pendirianku!"

Dan di sinilah Y dengan pemikirannya sendiri yang tak kalah absurd.

Sebelum bel masuk, Eks sebagai ketua kelas membagikan pin yang dipasang ke kaki mungil anak bebek. Kerangkeng berisi meri ditata di halaman samping kelas selama jam pelajaran.

"Sayang, sayang, Rodrigo sayang." Y mengelus mercu kepala merinya, diperlakukan sebagaimana anak sendiri.

Dia dan rekan sekelas berjalan ramai-ramai bukan untuk pulang rumah, melainkan untuk ke kandang bebek di belakang rumah kaca.

Semua hal sudah siap, jadi Y tinggal main terima. Meski dia terlambat, rekan sekelas memberi ucapan selamat datang. Dia tidak tertinggal, selalu ada tempat baginya.

Semua anak bebek dilepas ke kandang, mereka meleter dan masih malu-malu untuk saling kenalan. Ada Pak Pete di antara kerumunan siswa, tetapi Y menjaga jarak.

Y sempat melihat brankar di dinding bangunan. Brankar yang disandarkan itu entah mengapa memberikan semangat tertentu saat dia dan rekan sekelas piket.

Piket artinya dibagi ke dalam kelompok. Regu pembersih kandang, tim stok pakan blok, pengecek suplemen dan obat-obatan, keamanan, trivial, dekorasi. Saat Minggu libur, tetapi masih ada tim cadangan yang mengurusi.

"Hei, kenapa awalnya kau tidak mau ikut bantu?"

"Itu karena merepotkan. Kau tau, waktu main kita bertiga akan jadi berkurang," balas Y.

Namun, sekarang Y merasa memikul beban tanggung jawab. Merawat meri tidak semudah yang dibayangkan. Harus menahan bau, menakar dosis pelet yang tepat, meluangkan waktu dedikasi.

Berhari-hari, para siswa memantau kesehatan dan pertumbuhan bebek. Yang sakit diobati telaten hingga semua bernapas lega. Yang tumbuh gemuk berlebih diberi program diet.

Tiap kali jarum metronom berdetak, semangat para siswa membara.

Satu kali, Pak Pete masuk, metronom dibunyikan, siswa berhamburan keluar lekas menuju kandang.

Dua kali, Pak Pete, metronom, kandang.

Tiga kali empat dua belas.

Berminggu-minggu, menjaga dan mempertahankan kesehatan baik fisik maupun mental. Ada yang bilang musik klasik bisa menenangkan jiwa hewan peliharaan. Y mengelus Rodrigo yang meleter bereaksi terhadap kotak pengeras suara.

Berbulan-bulan, sudah siap masa fertil, dibuat penjadwalan perkawinan. Isolasi pasangan yang hendak disilangkan. Walau baru awal-awal, itu semua sukses. Y memperhatikan brankar di dinding bangunan yang sejak awal tak berubah.

Hingga seminggu sebelum ujian kenaikan kelas, hari yang cerah, tetapi berawan, amat silau pantulan matahari. Semua siswa VIII-G siap untuk acara yang dicanangkan sang ketua kelas. Sesampai di kandang, mereka menemukan Pak Pete dirantai pada brankar, tertempel di bagian atas dinding bangunan. Napasnya habis seakan memohon penyelamatan.

Ada megafon di atas kotak pengeras suara dan itu membunyikan suara beliau.

"Di lambung salah satu bebek ada kuncinya. Bisakah kalian menemukannya?"

###

Klaten, 4 April 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro