Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ex-7. EVERYONE OUGHT TO DIE

[A/N]

Bab ini sedikit lebih banyak daripada bab-bab sebelumnya, karena mencoba mendalami bagaimana perasaan Ex yang ditinggal mati kedua sohibnya, dan memang rasanya sangat berat menjadi Ex. Semoga kalian bisa nangkep ya, kalau bisa ikutan sedih /bungkuk badan/

\Btw ini 2rb kata lebih dikit\
/dead/
{Ga deng | kalau aku dead gimana lanjutin ceritanya | kasean digantung}

anyway, selamat membaca! ^_^

###

Sebelum berakhirnya laju angkot, Ex berbalik di ambang pintu. Alih-alih kunjung turun, si lelaki berjaket itu menentang kedua kawannya.

"Ye, Zet, janji, lo, ya! Jangan sampai mati!"

Ex mengulurkan kepalan tangan, lantas segera disambut Ye dan Zet dengan antusias. Dua kawan itu tersenyum besar hati.

Kompak, mereka membalas, "Janji!"

Angkot pun stop. Ye dan Zet duduk bersimbah darah.

***

Lantunan bel pagi seakan menjelma melodi kematian.

"Heh? Apa? Jangan guyon gitu, lah. Kakuati memang."

Ex mencoba mencerna sekali lagi penuturan yang dijelaskan salah satu dari trio siswi, tepatnya Hasni, tentang berita yang baru saja diperoleh.

Baik Hasni, Ines, maupun Kiky, tak ada satu pun yang membalas. Ex mendapat isyarat untuk mengamati sekeliling, mendapati bahwa memang saat ini hanya sedikit siswa yang hadir. Padahal sudah masuk jam pelajaran. Sementara, mereka yang ada di kelas dibuat gelisah dengan menanti kabar nan simpang siur.

"Eh, serius? Ini gak bohong, kan?"

"Enggak, Ex, ini serius," jawab Hasni, menyungguhkan.

Ex meraup muka, cukup dalam, hingga kulitnya agak memerah. Urat-urat muncul di dahi. Ketika merasa cukup tenang, laki-laki berjaket itu mendongak, tersirat ekspresi marah di wajahnya.

Gemetar membendung sentimen, dia bertanya, "K-kok bisa? Gimana ceritanya?"

Hasni menyahut, "Angkot yang mereka tumpangi menabrak pohon. Ye dan Zet ... mati, setelah itu. Sopirnya sempat kabur, tapi langsung ditangkap. Dan, dia bilang, dia habis menghindari sesuatu yang dia lihat. Karena itulah dia menabrak pohon."

Menatap menusuk, Ex bertanya, "Apa yang ... dia lihat?"

"Dia bilang ... kalau dia melihat █̷̧̜͖̹̙̖̰͇̞̪̬̫́̽́͛́͛́ͩ́̈́́ͦ́͋́̃́ͨ́͌́́́ͧ́́́́́́́́́́́́́́́͞█̶̢̤͕͙̺́͑́̔́̇́͛́͋́ͫ́́́́́̀́́́́́́͢█̴̷̳̲͚͍̳̣̘̱͉̺̳͎̼͓͎́̄́ͬ́ͤ́ͨ́̈́́́́́́́́́́́́́́́́́́́́́͠ͅ█̢̡͉͙̖́͆́̾́̉́̿́̓́̓́̈́́́́́́́█̶̧̖̠͕̪̩̳̯̱̯̖̱̗͔͙̺̦͚̖́̓́̌́ͭ́̍́̇́́̂́́́ͯ́̾́͂́̽́́́́́́́́́́́́́́́́́́́́́̚."

Ex mengernyitkan dahi dan kening. "Hah? █̷̧̜͖̹̙̖̰͇̞̪̬̫́̽́͛́͛́ͩ́̈́́ͦ́͋́̃́ͨ́͌́́́ͧ́́́́́́́́́́́́́́́͞█̶̢̤͕͙̺́͑́̔́̇́͛́͋́ͫ́́́́́̀́́́́́́͢█̴̷̳̲͚͍̳̣̘̱͉̺̳͎̼͓͎́̄́ͬ́ͤ́ͨ́̈́́́́́́́́́́́́́́́́́́́́́͠ͅ█̢̡͉͙̖́͆́̾́̉́̿́̓́̓́̈́́́́́́́█̶̧̖̠͕̪̩̳̯̱̯̖̱̗͔͙̺̦͚̖́̓́̌́ͭ́̍́̇́́̂́́́ͯ́̾́͂́̽́́́́́́́́́́́́́́́́́́́́́̚?"

"Iya, dan wujudnya sangat mengerikan sampai-sampai membuat sopir itu lari ketakutan. Meninggalkan Ye dan Zet yang mati akibat kelalaiannya."

Kedua tapak tangan Ex meremas pelipisnya. Manik mata bergetar hebat, gigi meringis, hidung berkedut.

Ini semua tidak masuk akal. Apakah memang benar Ye dan Zet mati akibat kecelakaan angkot? Lagi pula, apa-apaan yang dilihat oleh si sopir sampai-sampai kendaraannya menabrak pohon? Mengapa si sopir kabur tanpa menyelamatkan Ye dan Zet?

"Kenapa? Kenapa? Kenapa!

"Bohong! Bohong! Ini semua pasti bohong!

"Tidak! Tidak! Tidak! Kakuati!

"Ye ... Zet ... mereka semua ... mati?"

Memeras kepala, Ex meracau dan berteriak, membuat ketiga siswi ketakutan. Air merembes dari sudut kedua kelopak matanya. Ingus meleleh dari liang hidung. Merah padam muka laki-laki itu.

Kala menyadari sesuatu, si lelaki berhenti dan mengangkat muka, menarik kesimpulan.

"Aku tau, ini pasti kayak acara Super Trap yang ada di TV itu, kan? Kalian pasti merencanakan sesuatu biar aku kayak orang sedeng terus divideo, kan? Terus abis itu videonya disebarin ke internet, kan? Terus aku bakal jadi malu seumur hidup, kan! Woi! Ye! Zet! Kakuati! Di mana kalian? Cepat keluar! Kalian udah ketahuan--"

Suara tamparan tercipta. Ex tercengang, bekas kemerahan tercetak di pipinya. Si siswi beraura dingin lagi seram, Ines, menatap nyalang. Hasni cuma bisa pasrah menyaksikan keduanya.

Mengeratkan gigi, Ines memarahi Ex, "Ex! Aku sudah muak dengan sikapmu! Sadarkan dirimu! Ini bukan guyon atau apa! Ini benaran! Ini kenyataan! Buka matamu, Ex!"

Ex tersadar dan menyergah, "Bercandanya gak lucu, sumpah!"

"Kami gak bercanda, Ex! Sumpah! Ye dan Zet udah mati! Ibunya Ye yang bilang sendiri!" tambah Ines.

"Kalau begitu, kita harus lihat mayatnya Ye dan Zet! Di mana mereka? RSU Kota?"

Hasni maju untuk menjawab, "Itu ... ibunya Zet bilang, ada polisi yang jaga. Katanya, gak boleh ada siswa yang berkunjung menjenguk ...."

Ex baru saja mendengar kata yang membuatnya tak berkutik. Polisi. Sebisa mungkin dia tak ingin berurusan dengan mereka. Ampun, mengapa bisa jadi seperti ini? Mengapa para siswa tak boleh menjenguk teman sekelasnya yang sudah mati? Ini semua keterlaluan.

"Ini semua salah Andi."

Perkataan barusan membuat ketiga siswi menoleh, bertanya-tanya.

"Kamu bilang apa?" soal Hasni.

Ex membuang muka. "Gara-gara Andi dan santet online itu. Kata kalian, ada harga yang harus dibayar semua kelas VIII-E, bukan?"

Hasni menangkup mulutnya, tak percaya. "Jangan-jangan! Ex, jangan bilang kalau teman kita yang mati itu adalah harga yang harus dibayar ... ?"

Ines ikut berpikir. "Jadi harga yang dibayar itu nyawa manusia?"

"Aku tidak bisa mengatakannya dengan pasti, tapi memang ini adalah kejadian yang misterius."

Ex mengepalkan tangan, wajahnya meringis. Isi kepalanya serasa dipaksa mengingat-ingat memori lampau yang sudah lama terkubur dalam-dalam.

"Ini seperti insiden tiga tahun tahun lalu. Dulu kami dari SD yang sama, di luar kota."

"Apa? Insiden apa itu? Apa hubungannya dengan banyaknya kecelakaan sekarang?"

"Andi sebenarnya bukan orang yag benar. Dia mungkin ingin membalas dendam karena kita sudah mengirim santet ke dia."

Ketiga siswi terbelalak, sepasang pupil menyempit, terlalu tercengung dengan pernyataan Ex.

"Saat SD, aku berteman baik dengan Andi, tetapi Andi berubah menjadi aneh setelah menjadi korban dalam insiden kesurupan massal di sekolah. Andi berubah jadi aneh sejak saat itu."

"Gara-gara itu kamu enggak suka dengan Andi?" Hasni berucap secara hati-hati, tak ingin mengusik Ex lebih dari ini.

Ex diam. Tak ada balasan darinya selain napas yang kian sesak, laksana tersekat. Lelaki berjaket itu enggan untuk bercerita lebih lanjut, bila tanpa adanya paksaan.

Akan tetapi, tahu-tahu seorang guru pria memasuki kelas, bersamaan dengan para siswa yang berhamburan dari luar. Mau tak mau Ex dan ketiga siswi serta teman yang lain duduk ke bangku masing-masing, tentu masih disertai kisikan keras yang campur baur bagai dengung tawon.

Ex sedari tadi menahan geram, tetapi melihat raut muka guru nan tenang membuatnya hilang kontrol. Untung posisi duduk lelaki itu paling belakang, jadi mau meracau, meringis, menjerit pun, tak bakal kentara karena terlarut dengan suara teman-temannya.

Guru pria itu berdiri di depan kelas, tampaknya hendak memberi pengumuman. Tangannya gemetar kecil kala memegang kertas berisi daftar nama siswa. Mengambil napas, berdeham, beliau menyuruh semua murid senyap.

"Bapak tahu pasti kalian sedang kebingungan dengan apa yang terjadi pagi ini. Bapak ingin kalian tenang dan tidak menimbulkan kepanikan, apalagi menyebarkan berita yang masih tidak jelas kebenarannya.

"Jadi, Bapak dikabari oleh kerabat dari teman-teman kalian, bahwa teman kalian meninggal karena kecelakaan."

Kata terkait-kebakaan barusan membuat para siswa menahan emosi, baik itu sedih ataupun yang lain.

"Berikut nama-nama yang meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas pagi ini.

"Abdul Zaenal
Agus Tamarudin
Daffa Ryan
Dwi Kurniawati
Endar Hafid
Jeremy Irawan
Nifa Ferrawati
Novitasari
Risma Nabila
Shafira Ramadhani

"Total ada sepuluh orang yang dikonfirmasi meninggal dunia."

Air tangis tumpah, para perempuan menjerit histeris, para laki-laki diliputi amarah. Mereka tak percaya, memanggil-manggil nama kawan yang telah tiada seraya bertanya-tanya kepada takdir Sang Pencipta.

"Kegiatan belajar-mengajar akan disudahi lebih awal jam delapan nanti. Bapak harap kalian semua sabar dan tabah menerima takdir yang menimpa kesepuluh teman kalian. Bapak memohon kepada kalian untuk langsung pulang ke rumah, tetap tenang, jangan pergi ke mana-mana. Sampai ada kejelasan dari pihak sekolah dan kepolisian. Terima kasih. Maaf hanya ini yang bisa Bapak umumkan."

Usainya pariwara dari satu-satunya orang dewasa di kelas sontak membuat siswa-siswi merusuh, menuntut kepada si guru akan sejumlah hal nan kurang dimengerti para remaja seumuran mereka.

"Tunggu, Pak! Bagaimana kabar teman-teman yang belum hadir?"

"Pak, kenapa kita gak boleh menjenguk mereka?"

"Apa hubungannya polisi sama sekolah?"

"Pak, tolong beri kami kejelasan! Sebenarnya apa yang sedang terjadi?"

Ex geram menjelang teman-teman sekelasnya yang benar-benar berisik dan tak bisa diatur. Lelaki yang memakai jaket merah maroon itu menggebrak meja, seketika membuat orang-orang terdiam.

Pak Guru memasang wajah datar, hanya mendeham. "Siapa ketua kelasnya?" tanyanya.

Bangkit dari kursi, menampakkan diri, ialah orang yang menjadi pemimpin barisan ketika pemanasan olahraga silam. Laki-laki itu berambut hitam cepak, mempunyai postur tubuh proporsional, badan ramping serupa atlet.

"Ikut saya." Pak Guru meninggalkan ruangan, diekori si ketua kelas, menyisakan para siswa yang dibuat gusar bahkan mengeluarkan makian.

Mengabaikan ribut mnya huru-hara nan menguasai kelas, Ex mencangklong tas, lalu berjalan menuju pintu, keluar kelas, tanpa menghiraukan tiga orang perempuan yang membuntuti.

Hasni memanggil dari belakang, "Ex, mau ke mana?"

"Hm? Pulang."

Ines di samping Hasni memicing curiga. "Jangan bohong. Kamu pasti mau ke RSU Kota buat memastikan kondisi Ye sama Zet, kan? Sudah dibilang kalau mereka itu sudah mati, Ex."

Ex tahu itu. Dia paham betul. Lelaki kurus tersebut mengerti bahwa kedua kawannya memang meninggalkan dunia lebih dahulu. Ex telah berpikir kuat guna menerima kenyataan, telah berusaha keras untuk menenangkan dirinya. Akan tetapi, ini semua tak adil. Ex tetap akan menjenguk mereka berdua, apa pun konsekuensinya, bahkan jika harus berurusan dengan kepolisian pun.

Si lelaki berjaket merah maroon bersiteguh, terus melangkah hingga tahu-tahu sampai di tempat parkir motor. Ex berhenti, berbalik menentang ketiga siswi.

"Aku satu-satunya yang selamat di antara kami bertiga. Sudah seharusnya aku mengantarkan mereka ke tempat yang layak di sana."

Hasni memekik tertahan. "Sudah, tolong. Ex, jangan bertindak gegabah lebih dari ini, oke? Aku tidak mau lihat kamu berakhir sama seperti Ye atau Zet."

Ex tetap berkukuh. "Maaf, tinggalkan aku sendiri."

Hasni memohon, menggeleng pelan, kedua tangan mengepal di depan dada. Raut mukanya diliputi perasaan khawatir.

"Ex! Tolong pikirkan lagi!"

Ex tak merespons. Lelaki itu selesai mengambil motornya, naik, kemudian menyalakan mesin. Melaju, meninggalkan ketiga remaja perempuan nan dibuat terheran-heran.

"Ex!" panggil Hasni sekali lagi, walau lelaki yang diundang telah pergi jauh.

Ines menepuk pundak kanan perempuan itu. "Sudahlah, Hasni. Cobalah percaya dengan Ex. Perkataannya bausan dan tatapan mata yang bersungguh-sungguh. Itu menunjukkan perasaannya, yang sebenarnya dia ingin lakukan."

Hasni merengut. Hampir saja dia menangis. Setelah menguasai dirinya, perempuan beriras rupawan itu mengulas senyum kepada Ines.

"Ngomong-ngomong, Kiky, kok kamu dari tadi diam saja? Kalau tadi pagi sih mungkin karena syok, ya. Tapi, kalau sekarang kenapa?" tanya Ines.

Kiky, si perempuan berbando, menggaruk pipinya, malu-malu. "Hmmm ... kalau dipikir-pikir, Ex itu sebenarnya keren, ya?"

Mendengar itu, Hasni dan Ines memasang wajah kaku lagi heran, hening.

***

Berlatar tempat pinggir jalan raya, selonggok angkot kuning remuk tampak dibiarkan di depan deretan pohon mahoni, dengan sejumlah orang berjaga atau sekadar melihat-lihat. Noda cairan merah masih tersisa menempel di dinding kendaraan hancur tersebut.

Ex memarkirkan motor, bertinggung di dekat onggokan angkot itu, tak peduli bila beberapa pedestrian memandanginya. Memasuki area dibatasi garis kuning, si lelaki berjaket meletakkan sebuket bunga wangi di atas tanah nan bercampur sedikit cairan merah, yang barangkali menjadi tempat kejadian perkara.

Laki-laki berseragam putih biru itu meratapi. Di bayangan pemikirannya, jasad Ye lagi Zet terbaring di situ, menunjukkan wajah nan teramat damai. Secara bergantian, Ex menggenggam tapak tangan si kawan seraya mengajak mengobrol.

"Ye, namamu itu Jeremy Irawan, kenapa panggilannya jadi Ye, coba?"

Genggaman Ex beralih.

"Zet, namamu itu Abdul Zaenal. aneh sekali panggilannya, kenapa jadi Zet? Terus, absenmu itu duluan daripada Ye, kenapa kamu lebih milih dipanggil terakhir sih?"

Ex mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sekotak rokok beserta geretan ditempatkan bersama buket bunga.

"Kalian berdua adalah orang yang baik, tidak seharusnya terlibat oleh ketidakmasukakalan ini. Mengapa aku menyeret kalian ke permasalahan ini? Seharusnya kalian tidak berakhir secara mengenaskan seperti ini."

Ex menarik lengan, kini menggaruk tanah dengan kedua tangannya. Raut muka lelaki itu bergelimang amarah, bara api berkobar hebat. Kedua matanya berkilat nyalang, hidung berkedut, gigi bergemeletuk.

"Kakuati ... ! Kalau saja ... kalau saja bukan kalian yang mati ... ! Lebih baik semuanya mati saja ... ! Aku ... aku ... aku akan—"

Nyala api tertiup tanpa intensi. Sebuah suara dari ponsel menginterupsi.

Menggeram macam macan, Ex merogoh saku celana, lalu menyalakan gawai, membuka kunci layar. Sejumlah pesan diterima, ikon amplop muncul. Kotak masuk lantas dia buka.

Dari: Ditto bendahara kelas

Kepada semua murid VIII-E, sehabis pulang sekolah pukul 10.00 WIB pagi, harap kumpul di depan kelas. Ini adalah perintah dari Ketua Kelas.

Ex berjeda sejenak. "Ditto?" Teringatlah lampau saat di Lab Komputer, Ditto ialah orang yang memulai aksi pemberontakan dengan bermain gim daring.

Ex pun memencet tombol panah kiri, membuka pesan lainnya.

Dari: Ditto bendahara kelas

Ex, aku menawarkan bantuan kepadamu. Aku sempat ikut mendengar percakapan kalian di kelas. Tentang bayaran santet, tentang masa lalu Andi. Ayo kita selidiki lagi. Beri kami bantuanmu, Ex. Ayo, balaskan kematian Ye dan Zet, Ex! Semua siswa VIII-E yang tersisa tengah menyatukan kekuatan untuk menghentikan santet itu!

Ex menutup gawai, memejam mata. Ternyata selama ini banyak orang yang membantunya untuk bangkit. Hasni, Ines, dan Kiky. Sekarang, Ditto.

Ex tersenyum. Dia tak boleh menyerah. Demi menguak kebenaran di balik kematian Ye dan Zet, Ex harus menghadapi semuanya. Meski lawannya bukan manusia pun.

Dan, kemudian--

Segalanya terasa ganjil.

Elemen xenobiotik merasuk, menyusup melalui peredaran darah, masuk ke dalam titik kematian sel-sel otak. Ex bagai dihipnosis, kesadarannya melayang-layang pada awang-awang. Lelaki itu mengenali bahwa di sekitarnya amat hening, sepi, senyap. Tanpa presensi atau tanda-tanda kehidupan. Segalanya lenyap. Manusia, binatang, tumbuhan.

Ketika Ex berdiri seraya berbalik, seluruh visual tampak buram sekali. Berangsur-angsur, penglihatannya bisa jelas kembali. Tertangkap sebuah angkot yang berhenti melaju.

###

15 Desember 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro