Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 12

Kedua mata Taehyung memicing menatapku. Dalam otaknya, aku tahu, dia pasti tidak menyangka bahwa aku akan menyelesaikan tugasku dengan sempurna. Sekali lagi pria tampan itu membolak-balikkan halaman script breakdown yang telah kubuat semalam.

Ya, pada akhirnya Taehyung tak punya pilihan selain memberiku kesempatan. Proses syuting dramanya tidak bisa ditunda terus-terusan hanya karena dipecatnya si asisten penghianat itu. Jennie, semua kekacauan ini adalah ulah perempuan itu yang dengan sengaja menjual naskah Taehyung ke sutradara lain. Meskipun masalah ini sudah diselesaikan secara internal, Taehyung tetap tak bisa mentoleransi seorang penghianat untuk terus berada di sampingnya. Ia butuh loyalitas.

"Bagaimana caramu mengerjakan ini?" tanya Taehyung. Beberapa lembar script itu ia lemparkan di atas meja.

Kedua sikunya bertumpu pada lutut, tangannya saling bertaut dan kedua mata elangnya itu menyorotku tajam tanpa pengampunan.

"Jadi gimana? Apa hasilnya memenuhi ekspektasimu?"

Menulis script breakdown tidaklah mudah kecuali jika kau asisten sutradara yang sudah berpengalaman. Namun, hal itu cukup memungkinkan bagi mantan mahasiswa per-film-an sepertiku. Terlebih, dulu aku sangat dibangga-banggakan oleh salah seorang profesor di kampusku. Bakatku sangat dihargainya. Sayang, aku memutuskan putus kuliah karena sudah tidak bisa lagi membiayainya. Walaupun aku ditawarkan beasiswa, aku tetap tidak bisa menerimanya karena selain ingin membantu pamanku bekerja, aku juga harus membantu menjaga adik sepupuku, Hamin.

"Mustahil. Aku tidak percaya kau yang mengerjakannya. Katakan, kau membayar siapa untuk ini?"

"Sudah kubilang, aku mengerjakan itu sendiri. Kau memberikan tugasnya kemarin sore, dalam waktu yang sesingkat itu, aku tidak mungkin sempat minta bantuan orang lain. Lagian, berapa uang yang aku punya untuk membayar mereka?"

Taehyung menyandarkan punggungnya kembali ke sofa. Ia menghela napas saking tidak bisanya membantah alasanku. Aku merasa menang.

"Seorang wanita yang tidak bisa apa-apa. Bukankah itu kau?"

Enak saja. Beraninya Taehyung mengomentari Sohyun seperti itu? Tahu apa dia mengenai kehidupan istrinya? Oh, jadi selama ini, begitukah cara Taehyung memandang istrinya sendiri? Sungguh pemikiran yang sempit.

"Punya depresi berat bukan berarti aku tidak bisa melakukan apa-apa. Kau harus tahu, selama seseorang punya niat dan tekad, mereka bisa menguasai apapun."

Taehyung kembali menatapku. Aku tersenyum dan melipat tanganku di depan dada. Aku sudah cukup meyakinkannya kan?

"Baiklah. Aku beri kau waktu seminggu, jika kerjamu bagus maka kau kuangkat jadi asistenku."

"Masih kurang," selaku. Taehyung yang baru saja akan berdiri dan pergi malah kembali duduk melayangkan atensinya padaku lagi.

"Lalu, apa maumu?"

"Masih ingat perjanjian kita soal perceraian?"

"Ah, itu. Kau sudah setuju bercerai dariku? Aku akan langsung mengambilkan dokumennya untuk kau tanda-tangani sekarang."

"Tidak perlu."

"Kenapa? Aku akan dengan senang hati–"

"Alih-alih menandatanganinya, aku ingin kau memberiku kesempatan tambahan lagi untuk menunjukkan kelayakanku. Jika aku menunjukkan kinerja yang baik selama seminggu, selain kau akan mengangkatku sebagai asistenmu, kau juga harus memperpanjang masa penundaan perceraian itu selama 6 bulan."

"Apa maksudmu?!"

Emosinya mudah sekali terpancing. Aku yakin, ia paham "maksudku" yang sebenarnya. Bahwa aku tidak mau bercerai.

Begitulah akhirnya. Pertemuan hari ini cukup menghabiskan tenaga. Menguras emosi dan kesabaran. Tidak, pria itu belum menyetujui keinginanku. Hanya saja, aku paham ia butuh waktu. Yang jelas, tugasku yang menyenangkan akan dimulai besok. Bukan sebagai istri sang sutradara, aku hadir di lokasi syuting sebagai asistennya.

***

Hari pertama yang sangat hectic. Penghentian syuting selama seminggu berdampak pada hancurnya jadwal yang sebelumnya telah disusun. Dan di sinilah aku, mengutak-atik lagi rincian kegiatan yang sudah ada lalu menyusunnya menjadi jadwal yang baru. Aku nyaris stres, tapi bukan Yooseul namanya kalau tidak bisa meng-handle situasi yang sesulit ini.

Aku paham apa yang harus kulakukan tanpa perlu si sutradara itu jelaskan. Meskipun normalnya, kami harus saling berkomunikasi. Namun, aku anggap kejadian semacam ini sebagai salah satu bentuk ujian darinya. Ya bagaimana tidak? Kelelahanku hari ini bukan tanpa alasan. Kalau saja si sutradara pemarah itu menggubris pertanyaanku, pekerjaanku pasti lancar dan cepat selesai. Anehnya dia selalu punya alasan untuk menjauhiku dan justru mengirimkan anak buahnya untuk menggantikannya bicara.

Menyebalkan sekali orang macam dia. Dia pikir cuma dia yang menginginkan kebebasan? Aku pun sama. Sayangnya, kebebasan kami bertolak-belakang. Jika aku tidak bisa mempertahankan pernikahan Sohyun dan membuatnya jatuh cinta, aku yang tidak bisa kembali ke asalku. Aku tidak mau itu. Lagi pula, aku juga sangat ingin menyiksanya. Suami yang sudah menyia-nyiakan istri malangnya itu perlu diberi pelajaran.

"Hei, anak baru! Bisa belikan kopi buat kami?"

Sedang sibuk menyusun jadwal, tiba-tiba saja ada anjing yang menggonggong. Kupingku langsung terasa panas. Wajar juga, yang tahu bahwa aku adik dari si pemeran utama wanita cuma segelintir saja. Sisanya menganggapku sebagai dayang dari Kak Jisoo. Miris sekali. Harusnya mereka menghormatiku, aku ini istri dari sutradara mereka lho!

"Maaf Senior, saya sangat sibuk sekarang ini. Mungkin saya bisa mintakan bantuan ke karyawan yang lain."

"Berani sekali kamu menolakku perintahku? Kamu mau dipecat di hari pertamamu?"

Siapa dia? Apa posisinya? Mau memecatku? Itu kan hak Taehyung.

Melihat dari cara menatapnya saja sudah membuatku tahu. Pria yang lebih muda dari Sohyun ini membenci keberadaanku. Kenapa ya? Apa ia pikir keberadaanku akan mengancam posisinya?

"Wanita yang asal-usulnya tidak jelas, bisa-bisanya jadi asisten Sutradara Ye. Kamu ngasih uang berapa?"

Oh, jadi itu masalahnya. Lagi-lagi soal uang. Hei, tidak semua orang itu punya harta karun. Aku mungkin menikah dengan jutawan atau miliarder, tapi statusku tetap gembel di mata suamiku sendiri. Mengesalkan. Hah, mau bagaimana ya aku menjawab anak ingusan ini? Apakah aku harus menunjukkan surat nikahku dengan suamiku?

Tidak. Itu terlalu kejam.

"Maaf, Senior. Bukannya membantah, tapi saya murni diterima karena kemampuan saya yang bagus. Tidak bermaksud sombong."

Pria itu—ah, maksudku anak itu—menggertakkan giginya. Tidak sendirian, ia duduk bersama tiga rekannya. Sudah jelas-jelas aku dikepung oleh mereka. Ini perundungan.

"Ada apa ini?"

Baguslah, si Tuan sudah datang. Aku ingin orang ini mengadili mereka yang seenaknya menyuruh-nyuruhku.

"Su–sutradara Ye, asisten baru ini merasa sombong di hari pertamanya. Saya hanya ingin memberinya peringatan," elak anak itu.

"Hah, apa maksudmu? Kau tadi yang menyuruhku membelikan kopi lalu meragukan kemampuanku berada di posisi ini dengan menuduhku menggunakan suap."

Ayo, kalau kau mau mati, akan kubunuh sekarang juga, anak ingusan!

Aku merasa menang. Aku sangat yakin bocah itu akan kena sembur. Tadinya sih begitu, hingga ujung-ujungnya aku yang menahan malu.

"Asistenku? Dia?" Taehyung menunjukku dengan dagunya.

"Maaf untuk mengakui ini. Tapi sebenarnya wanita itu belum resmi menjadi asistenku. Aku hanya membutuhkan sedikit tenaganya saja. Kau bebas melakukan apapun padanya."

Apa?! Dia tidak membelaku?

Kim Taehyung malah pergi begitu saja. Membiarkanku diterkam oleh bayi-bayi serigala ini. Rasanya aku ingin memaki-maki di depan mukanya langsung. Tapi kalau aku lakukan, urusannya jadi tambah besar. Sialan.

***

Aku berjalan pulang sendirian. Ya, aku bisa pulang lebih awal sementara pria itu masih harus melanjutkan beberapa hal terkait pekerjaannya yang tertunda seminggu ini. Dan aku menertawakan diriku sendiri. Akibat satu kalimat dari pria tidak punya hati itu, aku jadi seperti ini.

Kau bebas melakukan apapun padanya.

Bayi serigala? Lupakan itu, karena yang menyerbuku hari ini bukan hanya anak-anak ingusan itu melainkan para seniornya yang lain. Mentang-mentang sudah diberi wewenang, mereka seenaknya pada anak baru.

Menyedihkan sekali. Rambutku bau kopi. Pakaianku jadi berwarna kecokelatan karena bermandikan cairan hitam itu tadi saat dicegat di depan gedung lokasi syuting. Seumur hidup, aku tidak pernah merasakan ini. Cuma Kim Sohyun yang mampu menyeretku ke dalam kehidupannya yang suram. Aku tidak berani memberontak. Lebih tepatnya, dipaksa untuk tetap bungkam. Siapa lagi kalau bukan oleh Kim Taehyung yang menyebalkan itu?

Dia mengancamku. Jika aku membuka identitasku sebagai kunci penyelamat, maka setuju atau tidak setuju aku akan diceraikan sepihak olehnya. Dengan kata lain, aku tidak boleh terang-terangan mengaku sebagai istri Taehyung dan aku tidak boleh terang-terangan mengaku sebagai adik Kak Jisoo. Dua status itulah yang dapat melindungiku selama bekerja di sana. Namun, aku harus membuangnya jauh-jauh. Paling tidak, Taehyung tidak nekat menceraikanku saat ini juga. Aku masih ada waktu selama aku diam-diam saja.

"Nona Sohyun?"

Satu-satunya suara pria yang menenangkanku adalah dia, Park Jimin. Ahli terapiku, psikiaterku. Hari ini jadwalku melakukan terapi. Karena ada jadwal bekerja di pagi sampai sore hari ini, akhirnya aku meminta pertemuan kami diundur. Eh, tahunya aku malah datang dalam kondisi berantakan seperti tikus yang baru keluar dari got.

"Apa yang terjadi padamu?" tanyanya tampak khawatir.

"Hanya sedikit kecelakaan kerja," balasku lesu sambil tersenyum getir.

"Masuklah, bersihkan dulu dirimu. Ayo aku antar ke toilet."

Betapa baiknya pria ini. Kalau aku bisa memilih, aku akan menceraikan saja pria Kim itu dan menikahi Park Jimin. Meskipun secara umur, Sohyun lebih tua setahun darinya. Tapi kan ini aku—Yoon Yooseul. Umurku lebih muda darinya jadi aku nyaman-nyaman saja. Andaikan aku bisa memanggilnya Oppa secara langsung.

"Nah, kau bisa bersihkan dirimu di sana. Aku akan tunggu di ruang konseling seperti biasanya."

Park Jimin mengantarku dengan gentle ke satu-satunya kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Membayangkan aku masuk ke ruang pribadi milik orang lain saja sudah membuatku bergidik, aku malah benar-benar melakukannya.

Kehormatan macam apa ini? Apa aku bisa menyebutnya anugerah?

Memasuki ruangan yang serba putih dan rapi itu, kedua mataku terfokus pada satu benda yang ada di atas nakas. Aku mendekatinya pelan-pelan dengan penuh penasaran. Ketika tergambar dengan jelas apa yang ada di sana, tubuhku mulai melemas.

"Nona, aku membawakanmu handuk." Jimin kembali ke dalam kamar dengan sebuah handuk tertenteng di tangannya. Ia menyaksikan keterkejutanku.

"Jimin, i–ini foto siapa? Apa hubunganmu dengan laki-laki yang ada di foto ini?"

***
Tbc

💜

Cameo hari ini. Bocil tukang bully, Jay Park alias Park Jongseong😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro