- Side Story - [Gaku POV]
Malam ini memang belum larut, namun dipastikan, setiap detikan jarum jam berbunyi berirama memanggil namanya. Apalagi, hujan menemaniku malam ini. Memang tidak deras. Tapi cukup membuatku kewalahan. Karena disetiap rintikannya berirama memanggil namanya. Membawa sekelibat tentangnya.
[Name], seorang gadis yang perlahan datang dalam hidupku. Mungkin saat itu aku hanya sebatas menganggapnya sebagai adik dari tunanganku, namun seiring berjalannya waktu perasaanku pun ikut berubah.
Sesungguhnya aku tidak mengerti, rencana apa yang kiranya tengah dirancang oleh Tuhan ketika Tsumugi mempertemukanku dengan [Name]. Yang aku tahu, sejak mataku menangkap sosoknya, hati ini seolah ingin menjelaskan sebuah rasa. Sebuah rasa yang sementara kuartikan hanya ketertarikan semata.
Aku menyadari bahwa aku telah bersama orang lain. Namun mau dikata apa, kehadirannya mengecohkan penjagaanku. Melalui sorotan matanya yang menatapku dan terkadang mataku menangkap sorotannya tanpa sengaja.
Ada rasa tak nyaman saat itu. Seakan gerak gerikku sebagai fokus sorotan matanya dan ia rekam dalam ingatannya. Kadang aku enggan untuk bertemu atau hanya sekedar berpapasan di jalan. Karena sorotan matanya yang singkat, sebenarnya akan terbawa sampai rumah dan membuatku senyum-senyum sendiri. Walau di depannya aku terlihat tak peduli.
Sejak saat itu [Name] pernah menjadi bagian hari-hariku. Mengubah kebiasaan tidurku setiap malam. Dimulai aku terpejam hingga aku terbangun dimalam hari yang membuat tidurku terasa tak nyenyak. Apa yang aku rasa? Aku merasakan bahagia, semangat tapi juga lelah. Lelah karena kebiasaan baruku menyita pikiranku untuk mengingatnya. Aku tidak bisa mendefinisikan rasa ini. Namun sempat berfikir, apakah ini namanya jatuh cinta?
Jatuh cinta ya? Menurutku jatuh cinta itu terasa menyenangkan tapi juga menyiksa. Jatuh ke khayalan indah di pikiran, melayang-layang, menikmati rasa bahagia tanpa batas.
Semakin lama, aku tersadar semua rasa ini membuatku terbagi tiga antara raga, hati dan pikiran. Dan itu membuatku semakin lelah harus menyeimbangkannya dalam satu waktu. Ragaku memang berdiri disini menjalani aktivitas, hatiku tetap terisi oleh Tsumugi namun [Name] berlari-lari kecil dipikiranku tanpa lelah.
Sempat berfikir aku ingin mengakhirinya, tapi di sisi yang lain aku tak ingin berhenti. Aku tak ingin kehilangan sosok [Name], namun aku juga tak bisa melepaskan Tsumugi begitu saja.
Egoiskah aku? Aku sadar mereka berdua bukan adonan kue yang dapat di mix atau di combine menjadi satu. Mungkinkah aku harus memilih?
Pada akhirnya, keadaan membuatku harus memilih. Dan pilihanku jatuh pada Tsumugi, seseorang yang menemaniku selama ini.
Kami pun menikah. Dari awal, aku memang tidak bisa lari dari pernikahan ini. Mungkin aku terlalu pengecut untuk menolak sebuah perjodohan yang sudah dirancang oleh orangtua kami bahkan sejak kami masih kanak-kanak.
Ya, aku memang pengecut. Seorang pengecut yang bahkan tidak bisa memperjuangkan cintanya sendiri.
Aku tidak membenci Tsumugi, sungguh. Meskipun kami menikah karena sebuah perjodohan, aku menyayanginya. Dia sudah kuanggap seperti adikku sendiri.
Terkadang aku merasa lucu. Aku menikah dengan seseorang yang kuanggap adik, sedangkan gadis yang sebenarnya ingin aku nikahi sekarang malah menjadi adikku. Adik iparku lebih tepatnya.
Saat acara pemberkatan dimulai, aku tidak melihat sosok [Name] di antara para tamu undangan. Padahal aku berharap bisa melihatnya walau hanya sebentar saja.
Tapi kemudian kewarasan seolah menamparku.
Memangnya apa yang akan aku lakukan jika dia ada di sini? Aku bahkan tidak tau apakah dia memiliki perasaan yang sama denganku atau tidak. Jika pun [Name] memiliki perasaan yang sama denganku, aku tetap tidak bisa lari dari pernikahan ini.
Disaat kami menyapa para tamu, tiba-tiba Tsumugi pamit undur diri seraya menarik tanganku untuk berjalan mengikutinya. Dan ternyata dia membawaku ke tempat di mana [Name] berdiri saat ini.
Tsumugi menanyakan kenapa [Name] tidak ada saat upacara pemberkatan dimulai, dan [Name] menjawab bahwa dia merasa tidak enak badan.
Mendengar jawabannya, seketika kecemasan meliputi diriku. Kuamati wajahnya yang memang terlihat lebih pucat dari biasanya.
"Kalau begitu, lebih baik kau istirahat. Wajahmu juga pucat. Apakah perlu kupanggilkan dokter?"
[Name] menggeleng mendengar pertanyaanku, "Tidak perlu, Gaku-nii. Mungkin dengan tidur sebentar, pusingku akan hilang."
Gaku-nii...
Miris rasanya mendengar dia memanggilku Kakak. Tapi itu memang benar, aku adalah Kakaknya sekarang.
######
Aku tidak bisa menahan diriku untuk memastikan apakah dia sudah baikan atau malah semakin parah hingga tidak turun untuk sarapan pagi ini.
Aku cemas, sungguh. Dan didorong rasa cemas itulah kini aku berdiri di depan pintu kamarnya dengan nampan berisi sarapan di tanganku.
Kuketuk pintu kamarnya. Butuh waktu beberapa saat hingga pintu perlahan terbuka, menampilkan sosoknya yang entah kenapa terlihat sangat rapuh di mataku sekarang.
"Gaku-nii?"
Aku tersenyum kecil mendengar sapaannya. Mungkin aku harus terbiasa dengan panggilan itu mulai sekarang.
"Bagaimana keadaanmu? Aku membawakanmu makanan karena kau tidak turun untuk sarapan tadi pagi."
"Maaf, aku bangun kesiangan. Kau tidak perlu repot-repot sampai membawakan makanan kesini, Gaku-nii."
Ketika [Name] meraih nampan di tanganku, tanpa sengaja tangan kami bersentuhan. Dan perasaan itu datang lagi, seolah ribuan volt menyentak jantungku hingga aku kembali menarik tanganku dengan segera.
"Tsumugi sangat mengkhawatirkanmu. Dia tidak berhenti merisaukanmu dari semalam."
Aku tidak berkata bohong, dia sangat mengkhawatirkan [Name]. Sama seperti aku mengkhawatirkannya.
"Maaf membuat kalian khawatir. Aku sudah merasa lebih baik."
"Syukurlah."
Aku mendesah lega. Tanpa sadar, tanganku terangkat untuk mengelus puncak kepalanya. Aku selalu ingin melakukan ini, berharap [Name] bisa merasakan kasih sayangku.
Tapi mungkin aku salah, mungkin tidak seharusnya melakukan hal itu jika apa yang kulakukan membuat matanya menjatuhkan kristal bening yang kini mengalir di pipinya.
"K-kenapa kau menagis?"
Aku panik. Aku takut bahwa sentuhanku di kepalanya mungkin terlalu kuat hingga berhasil menyakitinya. Terkutuklah kau, Gaku. Kau bahkan membuatnya menangis sekarang.
"A-apa aku menyakitimu?" tanyaku khawatir.
"Tidak. Mataku memang sedikit bermasalah akhir-akhir ini." jawabnya sedikit terkekeh, "Terimakasih untuk makanannya. Dan tolong katakan pada Tsumugi-nee bahwa dia tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja."
Aku hanya mengangguk. Kami terjebak dalam keheningan beberapa saat. Dan ketika ia berbalik hendak memasuki kamarnya, aku spontan memanggil namanya.
Ketika dia berhenti dan berbalik menatapku dengan tatapan bingung, lagi-lagi aku tak mampu berkata-kata. Lidahku terasa kelu. Sebenarnya begitu banyak hal yang ingin kukatakan padanya, tentang betapa aku peduli padanya, betapa aku ingin melindunginya, betapa aku tidak suka melihatnya bersedih seperti saat ini, namun kata-kata itu tidak bisa keluar. Tenggorokanku seolah tercekik dan akhirnya hanya kalimat-....
"Semoga lekas sembuh." ... lah yang bisa kuucapkan padanya sebelum berbalik dan berjalan meninggalkannya.
Aku tidak pernah tau, mencintai seseorang bisa semenyedihkan ini.
######
Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu, apakah hanya aku atau dia juga merasakan hal yang seharusnya tidak kurasakan. Aku jatuh cinta padanya. Pada orang yang dengan sangat aku ketahui, tidak boleh untuk aku cintai. Jangan pernah berfikir aku tidak berusaha untuk menghindari dan menghilangkan perasaan ini, setengah mati aku mencoba, sampai gila aku berusaha namun tetap saja aku tidak bisa merubah kenyataan bahwa aku jatuh cinta padanya.
Ketika aku pergi ke panti asuhan yang dulu [Name] tinggali, aku bertemu dengannya. Dia yang tampak sangat terkejut begitu mengetahui bahwa aku adalah donatur tetap di panti asuhan tempat ia dibesarkan.
[Name] sangat berterimakasih karena begitu peduli pada panti asuhan. Hey, tentu saja aku peduli. Tempat itu adalah tempat yang berharga untuknya, begitu pula dengan orang-orang yang ada di dalamnya.
Aku bersyukur, apa yang aku lakukan mampu membuatnya tersenyum dengan sangat cantik seperti itu.
######
Jatuh cinta bukanlah hal yang selalu enak. Bangun cinta sepertinya lebih menyenangkan. Untaian lirik lagu tersebut sepertinya benar. Jatuh itu sakit.
Jujur saja, sebenarnya dalam hati ini tidak ada harapan lebih atau muluk-muluk. Harapanku hanyalah untuk bisa memberitahunya bahwa ada orang yang'fall in love with you'. Harapanku juga untuk bisa diberi kesempatan menunjukan bahwa ada sosok yang terdiam namun sebenarnya menyimpan rasa yang tak terdefinisikan kepadanya.
Tapi tetap saja, harapan tinggalah harapan. Hal itu tidak akan terwujud, apalagi dengan dia yang datang dengan menggandeng tangan seseorang. Seseorang yang entah kenapa membuatku diliputi kecemasan.
Benar saja, ternyata orang yang digandeng [Name] itu adalah kekasihnya. Ryunosuke, nama pria itu.
Mereka berkata bahwa mereka memutuskan untuk segera menikah.
Meski sakit, aku senang akhirnya [Name] bisa menemukan orang yang dicintai dan juga mencintainya. Setidaknya ia tidak akan berakhir seperti aku yang hanya bisa melihat orang yang aku cintai dari kejauhan.
Aku selalu membayangkan [Name] dengan gaun pengantin yang akan membuatnya terlihat sangat cantik ketika material itu membalut tubuhnya yang mungil. Dan ternyata, sesuatu yang kubayangkan itu menjadi kenyataan. Sekarang dia berdiri di sana, di atas altar dengan penampilan yang selalu kubayangkan. Bedanya, dia bersanding dengan orang lain, bukan aku seperti yang ada dalam bayanganku.
Terkadang aku ingin marah pada sang waktu yang telah mempertemukanku dengannya di waktu yang salah. Andai aku bertemu dengannya lebih dulu, mungkin situasinya tidak akan jadi seperti ini.
Tapi kemudian aku sadar, mungkin bukan sang waktu yang salah. Melainkan aku yang mencintainya, seseorang yang tidak akan pernah bisa kumiliki.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro