𝙺𝚎𝚙𝚎𝚛𝚌𝚊𝚢𝚊𝚊𝚗
━━━
"Kita hampir sampai, Julian," ujar sosok yang sedang melabuhkan tatapan pada jendela.
"Sampai pada kematian maksudmu, Oliver." Julian menyahut sewot. Ia tengah memakan pai susu seraya mengikuti arah pandang Oliver. Mengingatkan pada rencana mereka hanya membuat mood pemuda itu kembali buruk.
Ternyata takhta perihal pedang dan mahkota itu berbahaya. Setiap malaikat yang memimpin saat ini akan menerima kekuasaan yang sulit dihancurkan. Sekalipun sakit kala melakukan kejahatan, ia takkan mati atau terlalu tersiksa layaknya rakyat biasa.
"Kau tahu? Ayah dan ibuku selalu bercerita bahwa ratu kita yang memiliki pedang dan mahkota cahaya itu bila menyalahgunakan kekuasaan, maka akan segera binasa dengan cara yang mengerikan. Akan tetapi, anehnya dia masih hidup lantas nampaknya kekal sampai 500 tahun." Julian sibuk menggerutu.
"Sial!"
Rumah berguncang. Ini persis seperti detik-detik kematian seluruh anggota keluarga Julian Gabriel. Seketika Julian merasa salah bicara hingga guncangan kembali datang. Tanpa sadar, mereka telah tinggal di dekat istana yang menyiapkan maut bagi para penentang.
Mendadak kaca-kaca jendela pecah diiringi ratusan panah menerjang masuk. Beruntung, Oliver dan Julian gesit menghindar. Mereka berlari pada area pojok ruangan. Julian tiada henti mengumpat. Rencana mereka belum matang sempurna, tetapi sudah keburu dihajar.
"Kurasa sekarang waktu yang tepat." Oliver berkata tanpa memedulikan ekspresi Julian yang memucat.
"Waktu yang tepat untuk mati." Julian nyaris terkencing-kencing di tempatnya. Belum sempat membayangkan bagaimana melawan sang ratu yang entah bagaimana dan mengapa dapat menjadi brutal.
Pemuda itu mengeluarkan pedang dari balik telapak tangannya dan Oliver bersiap mengandalkan fokusnya sebagai penyihir. Seperti tebakan mereka sebelumnya, satu persatu malaikat bermunculan dari balik pintu yang dibuka paksa. Keduanya berusaha menyerang, namun ada keanehan yang terjadi.
Denting pedang beradu dan lemparan belati atau anak panah berlomba-lomba memburu Julian sekaligus Oliver.
Para malaikat atau makhluk terang lain yang hadir semakin banyak dan tiada habis. Kala mereka menyerang pun tidak ada yang mendadak muntah darah atau kesakitan karena mereka menyerang tanpa sebab. Maka, terjawablah rasa penasaran mereka saat pedang Julian menancap titik vital seraya terhantam bola-bola air Oliver, mereka semua berubah menjadi iblis terlebih dahulu baru setelahnya abu beterbangan.
Sedetik kemudian, Julian dan Oliver saling bersitatap. Keduanya tidak pernah berekspektasi bahwa hal semacam ini akan terjadi. Belum memiliki kesempatan berdiskusi, mereka masih berusaha berkutat melawan malaikat yang merupakan iblis.
Semuanya nampak telah musnah. Baik Julian maupun Oliver, napas keduanya tersengal. Julian yang masih merasakan ketegangan luar biasa, lututnya melemas, ia jatuh terduduk di lantai. Sedangkan, Oliver dengan raut wajahnya mengeras, iris cantik berwarna biru miliknya tergantikan hitam pekat menyebar ke seluruh bola mata.
"Apakah mereka semua telah pergi?" Julian mengawasi sekitar. Keadaan ini terasa janggal.
"Aku merasa kalau ini hanya permulaan."
Warna hitam di mata belum sirna, lama kelamaan urat-urat berwarna kehitaman kian menonjol dari balik kulit pucat. Oliver tengah berpikir, di kepalanya sudah penuh oleh beragam dugaan.
"Aku justru merasa dia berusaha membuat kita tersiksa sebelum mati."
Sejak kepergian keluarganya, ia diburu dan hanya ada kepasrahan yang merambati benak. Ia bahkan kehilangan tujuan sejatinya memberontak dari ratu. Dengan dukungan dari penasehat kerajaan beserta keluarga, ia berani memberontak demi kebenaran.
Sejak kehilangan anak, ada yang janggal dari sang ratu.
Entah bagaimana nasib sang penasehat kerajaan, ia pergi sejak empat jam lalu dan hingga kini belum kembali. Mereka sepakat bersembunyi di kediaman nyaman miliknya. Namun, tiada siapapun lagi disini, kecuali Julian serta Oliver.
Oliver berinisiatif memecah keheningan, tetapi topik yang diangkat sukses membuat Dylan berjengit kaget. "Mungkinkah ratu memiliki darah iblis atau makhluk kegelapan lain?"
Bukan tanpa alasan pemuda itu terkejut, melainkan karena setelah dipikirkan berkali-kali, alasan itu masuk akal. Baru saja Julian mengangguk, seketika getaran menyadarkan keduanya.
Tanpa kata, Oliver membentuk lingkaran air. Ia terlihat berpikir sebelum memunculkan lubang. Tidak perlu bertanya pun Julian memahami apa rencana mereka: melarikan diri untuk mengumpulkan kekuatan.
Setelah menemukan sebuah ide, segera Oliver meminta Julian masuk ke dalam pusaran. Sontak, yang disuruh kembali memasang tampang tercengang. Oliver memutar bola mata.
"Temui Jenna yang kemungkinan besar sedang bersama bajingan itu dan sepupuku."
"Setelahnya, kau pastikan ia sudah menguasai kemampuannya lalu kembali kemari."
Meneguk ludah berat, Julian merasa kalau meninggalkan Oliver adalah ide yang buruk, tetapi kalau mereka mati begitu saja, tentu akan bertambah buruk.
"Mengapa tidak kau saja?"
Penampilan Oliver tampak sedikit mengerikan, ditambah kilat tak bersahabat melalui matanya. Julian menggaruk tengkuk yang tidak gatal lantas tertawa canggung.
"Aku jauh lebih payah untuk memastikan Jenna—"
Belum selesai kalimat yang dilontarkan bibir Julian, tetapi malangnya, Oliver sudah menendang sang pemuda tanpa perasaan sehingga Julian mengucapkan sumpah serapah tatkala jatuh.
"Dasar ikan bajingan!"
Sementara netra biru langitnya memastikan Julian, Oliver menyadari bahwa ia harus mengambil langkah berani. Mencoba atau tidak sama sekali. Barangkali kesempatan itu ada. Guncangan bertubi-tubi kian kuat saat sesosok wanita memasuki rumah.
"Kuakui keberanianmu melawanku mengagumkan, Pria Muda."
Oliver memejamkan mata lantas pusaran air menghilang ditelan udara dan batas waktu. Ia meraup oksigen rakus. Terbit satu wajah di dalam memori, dia adalah gadisnya. Gadis yang telah lama meninggalkan dirinya.
Membalikkan badan, kini tampaklah penampilan sang ratu yang sama persis sepertinya. Mata hitam dan semburat urat-urat gelap dari balik kulit pucat. Ratu Caelum yang kerap berwajah cantik nan teduh, untuk kali ini sirna. Di dalam genggaman, sebilah pedang tajam sekaligus besar mengkilat bercahaya. Tersemat mahkota dengan susunan emas berlian rumit yang membuatnya terlihat agung.
Ah, jadi begitu wujudnya pedang dan mahkota kekuasaan cahaya.
Makhluk tersebut begitu tidak pantas. Syarat memiliki pedang dan mahkota itu adalah menjadi bagian dari ketiga golongan barang hanya berasal dari turunan kakek nenek saja. Tetapi, iblis tetaplah iblis. Pun Oliver yang berusaha senantiasa berbuat baik. Ia terpana mendapati gemerlap kekuasaan sebesar itu di depan mata.
Sial, memang sedikit menggiurkan. Seandainya saja pedang dan mahkota sihir dapat menjadi miliknya.
"Kau adalah penyihir terhebat sepanjang masa." Sosok tersebut menyeringai kemudian tertawa.
"Bergabunglah denganku. Kita bunuh gadis itu dan Raja Celare."
"Kau akan dapatkan pedang dan mahkota sihirmu, tentu saja."
Ratu Seraphine memberikan penawaran yang menarik hingga terbesit di benak Oliver untuk menyetujui tawaran itu. Sebagai gantinya, ia dapat membuat siasat lain. Akan tetapi, wajah sosok yang dirindukan terbayang. Kali ini ia meyakini sepertinya tengah berada di sebuah kapal.
━━━
"Jadi, sejauh ini kau lebih suka dipanggil Dylan atau Aditya?"
Perlahan tapi pasti, hari demi hari, minggu demi minggu, mereka lewati bersama seraya saling mengumpulkan kepercayaan. Keduanya telah banyak berbagi cerita tentang diri mereka masing-masing.
Mula-mulanya, Jenna memulai cerita perihal mengapa ia ada di tempat dan zaman ini, makhluk macam apa dia hingga makhluk-makhluk selain manusia berhasrat membunuhnya lantas karena terlena dan kepiawaian Dylan memancing, Jenna jadi menceritakan riwayat kehidupannya kecuali bagian Arael yang memang seratus persen mirip dengannya.
Begitupun Dylan kepada Jenna. Kini tidak ada lagi rahasia di antara keduanya setelah komitmen persahabatan yang digaungkan di Pantai Tjilintjing waktu itu. Kepercayaan di antara mereka semakin menguat. Tak sadar, momen tersebut telah lama berlalu.
"Dylan."
Sosok itu menyembul dari balik laut berwarna gelap Batavia. Aroma asin menguar kuat. Kini Dylan dan Jenna tengah terombang-ambing di perahu sederhana yang keduanya beli. Jenna masih tak percaya kalau mereka dapat senekat ini semenjak menyadari seberapa besar kemampuan penyihir.
Nama Aditya telah lama menjadi asing. Rasanya nama tersebut hanya membawanya pada kenangan menyenangkan yang tidak akan pernah terulang. Barangkali yang terlampau membahagiakan justru akan menjadi sakit tatkala melintasi benak kembali.
"Jika nanti kau bertemu sepupuku, bilang padanya kalau namaku sudah berubah."
Mengingat Oliver membuatnya merindukan sosok ayah. Sang ayah telah meninggal sejak ia kecil. Sejak sang ayah meninggal karena dibunuh oleh para duyung, ia tidak bertemu kembali dengan sosok sepupunya itu.
Berkat sihir aneh khusus yang ditanam ayahnya di kepala saat ia bahkan belum mengerti apa itu sihir, beberapa kemampuan sihir ia kuasai. Berkat itu juga, bagian dari diri sang ayah, ada padanya. Seperti saat ini dengan beraninya mengajak Jenna berlayar tanpa tujuan pasti. Mereka dapat kembali dengan cara berenang.
Jenna mendekat pada Dylan. "Kita bisa menemui Oliver bersama."
"Bukankah kita akan berpisah saat urusanmu sudah selesai?"
Ah, iya. Benar juga. Mereka akan berpisah saat itu terjadi. Seketika, Jenna mencengkeram erat rel perahu.
"Apa langkahmu selanjutnya?" Dylan bertanya seraya mengikuti perahu yang terbawa angin. Beberapa kali Jenna mendayung dan ia percaya bahwa bagaimanapun medan laut, tidak akan ada sesuatu buruk yang terjadi.
Mengerutkan kening, Jenna berpikir perihal rencana beberapa saat. Setelahnya, muncul beberapa ide acak di kepala. Dengan antusias, Jenna berkata, "Sepertinya aku akan berusaha memata-matai lebih jauh tentang Adit."
"Karena aku memiliki dugaan kalau ia berkaitan erat dengan Arael."
Entah sebagai teman atau keluarga, Jenna memendam rasa penasaran membuncah setelah berpikir lama. Sepertinya Dylan bukan Arael dan ia memiliki suatu dugaan lain yang lebih masuk akal.
Dylan mengangguk. "Aku ikut."
Jenna hendak menyahut, tetapi mendadak Dylan menatapnya terkejut lantas menyelam lebih dalam hingga tak nampak siluet pemuda itu sama sekali. Kala ia memunculkan diri lagi ke permukaan, wajahnya memucat.
━━━
Ilustrasi pemandangan yang Dylan dan Jenna lihat.
Source : Pinterest by CAFT jansen
╰┈➤XXXVII. Strange Feeling
╔═════*ੈ✩‧₊˚═════╗
TO BE CONTINUED.
╚═════*ੈ✩‧₊˚═════╝
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro