
XXXII. Being Together
𝙱𝚎𝚛𝚜𝚊𝚖𝚊
━━━
"Mohon maaf, tetapi meneer minta uang yang sudah diberikan kepada juffrouw untuk dikembalikan."
Mbah Roekmini menunduk. Melihat ekspresi nonanya kini, ia sungguh tidak tega untuk meminta hal tersebut dari sang nona.
"Kenapa, Mbah?"
Mbah Roekmini mendongak. Jenna tidak menyangka kalau Dylan mendadak berubah menjadi manusia pelit.
"Katanya supaya juffrouw tidak berkeliaran dan membahayakan nyawa juffrouw sendiri sebelum hari pernikahan."
Astaga! Orang ini terdengar menggelikan. Untuk apa sebegitu protektif padanya? Ia tidak akan mati atau meninggalkan pemuda itu dengan mudah.
Yah, apapun alasannya, mengingat iblis tempo hari tiba-tiba mengejarnya membuat Jenna berpikir ingin melindungi diri terlebih dahulu. Entah mengapa dan bagaimana rumah Dylan sangat aman dari serangan makhluk tak kasat mata. Di dalam tempat ini juga hanya ada manusia.
Begitu tenang dan aman.
Apakah rumah ini memang sejak awal dibangun aman atau justru dilakukan ritual tertentu?
Jenna memindai penjuru ruang tamu. Ia duduk di sofa dengan santainya. Menyilangkan kaki lantas terkadang diselonjorkan sesuka hati hingga menuai atensi para pekerja di rumah. Jenna kagum dengan interior rumah yang klasik, namun mewah seperti rumahnya dulu. Sayangnya disini tidak ada air conditioner, maka hawa gerah pun masih menusuk sekujur badan.
Namanya juga negara tropis. Hanya sejuk ketika pagi dan malam atau musim hujan jika siang.
Intinya, mau tidak mau, suka atau tidak, uang Dylan harus dikembalikan. Jenna mengedikkan bahu. Semoga lelaki tersebut bukan karena sifatnya pelit.
Tunggu, apakah sebelumnya Dylan telah mengetahui perihal ia yang pergi menggunakan uangnya. Jenna meneguk ludah gugup. Jangan sampai hal tersebut diketahui dan ia berakhir dicurigai sebagai mata-mata dan lain yang berkaitan.
"Anu Mbah, apakah meneer mengetahui kalau aku sempat keluar rumah?"
Semoga tidak, semoga tidak, Tuhan.
"Iya sepertinya, Juffrouw."
Eh? Tetapi kalau dipikir-pikir, mengapa ia belum ditendang dari rumah ini. Apakah saking ia susah menemukan perempuan yang mau diajak sandiwara menikah sepertinya?
Bak orang gila, Jenna tiada sadar menarik sudut bibir. Ia tertawa hingga Mbah Roekmini kebingungan. Dahinya yang sudah dipenuhi guratan tua makin berkeriput. Jenna yang menyadari tingkah gilanya segera mengatupkan bibir rapat.
"Aku ambil uangnya dulu, Mbah." Jenna segera berlari menuju kamar.
━━━
Di sebuah meja dengan satu botol rose wine, sesosok lelaki berambut kecoklatan tampak berantakan. Ia bersandar pada kursi. Mata hijaunya menatap lurus pada keramaian di meja lain yang tak mampu mengisi kehampaan hatinya. Ruangan remang-remang berhiaskan lampu minyak supaya kental nuansa klasik.
Musik ceria, canda, obrolan, dan keramaian permainan kartu hanya membawanya kembali pada wajah manis dan penuh pesona seorang Jenna Elizabeth Brown. Sosok itu berdecih. Ia bahkan meragukan jikalau tiga kata tersebut merupakan nama aslinya.
Sejak pertama kali bertemu, gadis bernama Jenna itu tampak penuh pesona. Tak seperti yang lain, di matanya, pesona tersebut tidak mampu ditutup dari penglihatannya. Ia memancarkan aura berbeda yang membuat mereka layaknya senasib atau sama-sama aneh.
Rasanya familier, tetapi pemuda itu tak mengerti bagaimana mendefinisikan atau bersikap, selain memantau diam-diam. Para pekerja di rumahnya telah bersekongkol untuk menceritakan aktivitas sehari-hari sang nona.
Sepertinya Jenna paham bahwa ia memiliki keanehan yang harus dirahasiakan dan hal ini entah mengapa terasa mengganggu.
Ia terus mengamati sampai menemukan hal yang begitu mencolok, yakni tingkah laku. Jenna kerap melakukan sesuatu yang dianggap kurang sopan untuk perempuan di abad ini terang-terangan. Ia terlihat santai seolah kedua orang tuanya membiarkan anak ini tumbuh berbeda dari gadis-gadis lain.
Katanya orang Inggris, tetapi mahir berbicara Bahasa Indonesia.
Manis, penuh pesona, beraroma teh melati yang menenangkan meski belum mandi, penuh misteri, dan apa adanya. Ia nyaris gila. Udara di ruangan ini kian terasa gerah nan sesak. Namun, mulut tak mau berhenti menenggak minuman layaknya yang ia lakukan kini.
Ia nampak jauh berbeda dengan dua gadis yang sempat mengisi kekosongan hatinya bahkan, sejak pertama kali bersitatap. Hal inilah yang menjadi satu dari sekian alasan yang menyangkut Anne untuk menawarkan pernikahan kontrak.
Seorang Jenna Elizabeth Brown adalah gadis pertama yang mampu meyakinkan dirinya untuk berubah karena kekonyolan dan sikap sok tegas serta blak-blakan yang ia tampilkan padanya.
Walaupun semikian, gadis itu bisa saja berbahaya di kemudian hari dan tanpa disadari, tetapi ia belum mau peduli.
Menatap lamat-lamat botol yang bersisakan setengah cairan di dalamnya, beberapa detik kemudian tawa keras keluar dari mulutnya.
"Tuhan, rasanya Engkau membuatku kian jauh tersesat."
Beruntung suara tawanya yang tidak terkontrol diredam kehebohan. Sebab kini baginya, apa yang dipikirkan terasa begitu lucu.
Salah satu rekan sesama tentara menduduki kursi kosong di depan meja. Mereka berhadapan lalu sang rekan menatap pemuda ini bingung. Ia duduk sendiri lantas apa yang ditertawakan?
Merebut botol rose wine, rekannya itu menenggak sedikit lalu menatap sang pemuda ceria.
"Hei, apa yang kau tertawakan?"
"Kau tidak akan mengerti." Setelahnya, pemuda bernetra hijau itu berlalu dari hadapan rekannya yang memasang tampang bodoh.
"Oh, apakah ada yang kulewatkan, Letnan?"
━━━
Hari demi hari berlalu. Jenna menuruti Dylan untuk tinggal di rumah. Ia tidak mau berbohong lagi sementara waktu agar tidak diusir. Jenna memutuskan menunda menuntaskan misteri di balik seseorang bernama Aditya. Tidak mungkin sekadar bertemu saja.
Tidak ada yang aneh dari gelagat Dylan, selain kerap kali terpaku terhadap Jenna. Entah apa maksudnya dengan membuat detak jantung Jenna berdebar tak biasa seperti itu. Yang penting ia berusaha mencairkan suasana di antara keduanya dan membuat Dylan lebih banyak bicara.
Pancingan demi pancingan pertanyaan nyatanya berhasil. Pertama-tama, Jenna akan menyambut tiap kali Dylan pulang dengan sapaan yang kadang terdengar konyol bahkan berisik lantas Jenna membantu pemuda bernetra sehijau pepohonan kala musim semi itu membawakan barang-barangnya ke kamar, hingga pada akhirnya mulai membuka pembicaraan. Pemuda itu mulai mampu berbicara dua atau lebih kalimat. Mereka kian mengobrol tentang hari ini, keluh kesah mereka saat ini, atau hal-hal acak yang mendadak mengisi kepala.
Tetapi, tetap saja ada batasan di antara mereka. Seolah dinding kuat tak kasat mata berdiri menghalangi, keduanya saling menyimpan rahasia. Keduanya juga terlalu meremehkan benang merah yang akan mengikat mereka.
Dylan menjadi lebih ekspresif. Ia sering tersenyum, tertawa, atau menampilkan raut tidak suka saat berbicara tentang beberapa topik. Rumah pun terasa hangat dan sedikit ramai. Semenjak Jenna hadir, para pekerja juga kian ceria. Jenna menuntun Dylan untuk semakin menghargai golongan masyarakat yang acap kali dianggap rendah atau tidak setara.
Semua manusia sama di mata Tuhan. Dia yang menciptakan bumi dan seluruh makhluk, termasuk manusia. Perbedaan fisik dan situasi bukanlah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai ajang menjadi lebih tinggi atau rendah dari siapapun.
Beberapa malam mereka juga diisi dengan Dylan yang piawai memainkan alat musik, seperti, piano dan biola.
Hari demi hari berlalu, pernikahan Dylan dan Jenna terlaksana. Upacara pernikahan di rumah ibadah dan tempat lain semacam aula pernikahan megah yang melibatkan pemuka agama, pegawai sipil, para tamu, bahkan fotografer dan pelukis terjadi jua dengan penuh sandiwara.
━━━
╰┈➤XXXIII. Secrets Between Us
╔═════*ੈ✩‧₊˚═════╗
TO BE CONTINUED.
╚═════*ੈ✩‧₊˚═════╝
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro