Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

XXVII. Sorrowful Song

𝙻𝚊𝚐𝚞 𝚂𝚎𝚍𝚒𝚑

━━━

Seperti malam sebelumnya, Jenna menikmati makanannya seorang diri di meja makan. Menu makanan daging panggang di zaman ini ternyata enak. Akan tetapi, saat sedang asyik bersantap, sosok yang tidak diduga hadir hingga tangan Jenna yang hendak menyuap terhenti di udara.

Sosok pemuda berwajah lelah duduk di kursi meja makan tepat di hadapan Jenna. Mengintip sedikit, pemuda tersebut nampak tak peduli dengan kehadirannya. Jenna bagai anomali tak kasat mata. Menelan potongan daging susah payah, setelahnya Jenna memilih untuk menghentikan sesi makan malam lantas beranjak menuju kamar.

Pemuda bernetra sehangat musim semi itu diam-diam melirik punggung Jenna yang kian jauh dari jangkauan. Denting garpu dan pisau di atas piring berisikan daging panggang terdengar sehampa perasaannya. Ia menghela napas panjang lantas melabuhkan tatapan pada sajian yang masih tersisa seperempat.

Sementara itu, Jenna yang telah sampai di kamarnya mengepalkan tangan erat. Ia mengetahui betul bahwa tindakannya tadi dapat dikatakan impulsif. Sudah dua hari ia tidak di rumah, seharusnya yang Jenna lakukan adalah menyambut dengan kehangatan sekaligus bertanya 'bagaimana harimu selama bekerja?', apalagi menjadi tentara di era penjajahan tidaklah mudah.

Mendudukkan diri bersandar pada pintu tertutup, terbiasa membantu Oliver membuatnya merasa apa yang ia lakukan kini salah. Akan tetapi, mengingat kejadian itu, Jenna bersikeras kalau ia hanya akan bersikap profesional dan menjalankan ketika disuruh.

Seandainya saja ia mau berbicara basa basi atau meminta maaf, tentu Jenna tidak akan bertingkah selayaknya tadi.

Membuka perban, Jenna beranjak menuju cermin. Lehernya hampir pulih sempurna. Darah malaikat bangsawan yang mengalir di tubuhnya memang ampuh untuk penyembuhan lebih cepat pada setiap luka yang berasal dari serangan manusia.

Kemudian, Jenna melangkah pelan ke arah jendela yang menampilkan malam berhias rembulan penuh, bertabur bintang. Di bawahnya rumput disertai tanaman hias macam bunga bougenville, pohon palem, lidah buaya, pohon jambu air dan pisang. Memejamkan mata, udara kota bernama Jakarta pada masa depan masih terasa segar di tahun ini.

Meresapi buaian lembut angin malam, Jenna terkantuk-kantuk nyaris menjatuhkan wajah. Beberapa detik kemudian, gadis itu berniat merebahkan diri sebelum mendengar sayup-sayup suara nyanyian piano.

Meneguk ludah kasar, mendadak wajah Jenna memucat. Sejak kapan di rumah ini ada piano.

Semula hendak merebahkan diri, Jenna mengganti rencana. Ia membuka pintu kamar lalu tergesa menuruni tangga. Tatkala tengah menyusuri atas dasar rasa penasaran, Jenna menemukan sumber suara. Suara merdu piano terdengar dari balik pintu bilik tertutup.

Mungkinkah yang memainkan alat musik indah ini adalah Dylan? Ia mengira Dylan hanya bisa mengangkat senjata saja mengingat betapa mengesalkannya kejadian dimana ia nyaris terbunuh.

Gengsi untuk mengakui, Jenna senang mendengar lantunan musik yang dihasilkan. Entah didasari emosi pemuda itu atau tidak tetapi bunyi menggelegar hingga penjuru ruangan layaknya seseorang yang ingin didengar lantas tempo, melodi, dan dinamika yang dimainkan seolah sang pianis tengah bercerita perihal kesedihan sekaligus amarah berkecamuk di dalam hati.

Lama-kelamaan, ia nyaris hanyut dalam permainan piano. Dadanya sesak untuk sesuatu yang tidak diketahui. Napasnya memburu dan anggota tubuhnya hampir melakukan sesuatu hal di luar kendali otak. Namun, kembali Jenna tegaskan pada diri sendiri kalau musik menyedihkan ini hanya sebuah permainan, tidak lebih.

Tiba-tiba dari balik ruangan hanya terdapat keheningan. Anehnya, Jenna justru terkejut kemudian berlari kilat menuju kamarnya.

Lucunya, gadis itu tidak menyadari sang pianis sudah membuka pintu dan mendapati gadis yang berlari terbirit-birit bak mangsa menghindari predator. Beberapa detik berlalu dan pemuda kaukasia tersebut hanya berdiri tanpa bergeming sejak sang gadis telah lenyap dari pandangan.

Sepasang manik hijau sang lelaki muda nampak redup termakan sendu tak berujung.

━━━

Rutinitas Jenna tiada yang berubah. Ia tak ubahnya berada di masa depan dimana gadis itu ditinggalkan bersama sepi di sebuah rumah besar. Meski, bisa diajak mengobrol, para baboe dan jongos sekadar mirip Bi Ida dan Pak Maman.

Ia berkeliling ke sebagian sudut rumah lalu duduk mengamati di teras seperti pengangguran dan tidak lupa makan juga tidur. Ingin rasanya ia mengelilingi Batavia, namun Dylan tidak memberinya sepeserpun untuk menghancurkan kebosanannya. Lagipula, kalau ia tersesat atau tak sengaja membuat kehebohan, kemungkinan besar Jenna segera ditendang agar menjadi gelandangan.

Menjadi gelandangan di Batavia? Jenna bergidik membayangkannya. Sesaat wajahnya memucat kala mengingat perang dingin yang terjadi antara dirinya dan tuan rumah. Oh, Tuhan!

Membicarakan pemuda itu, mengapa gerangan ia tak pernah lagi hadir di meja makan? Padahal tiap malam, nyanyian piano menyeruak bagai kisah berakhir kesedihan. Memang lagu-lagunya berbeda, tetapi genre yang dimainkan begitu melow.

Sebenarnya, ada apa dengan Dylan? Apakah dia baik-baik saja?

Alih-alih menyantap hidangan ayam dan tempe goreng buatan Mbah Roekmini spesial untuk Jenna, gadis itu beranjak lantas mengikuti arah sumber suara galau berasal. Perlahan, ia mendekat pada ruangan yang ajaibnya tidak ditutup seperti biasa.

Kali ini dengan mata telanjang, Jenna menyaksikan permainan piano dari sang tentara. Yang terlihat hanya punggung tegapnya beserta bahu bidangnya dari belakang. Jenna menenggak ludah susah payah. Inilah salah satu dari sekian sebab ia tak mampu seratus persen membenci Arael. Pemuda ini terlalu rupawan.

Ia mengira penampilan sesempurna itu akibat dari manipulasi iblis atau anugerah malaikat, melainkan manusia juga dapat memilikinya.

Jenna yang termenung sangat ceroboh. Lengannya tidak sengaja menyenggol pintu hingga muncul bunyi decitan khas. Segera ia berlari salah tingkah menuju meja makan dan melanjutkan makan, meski harus tak sengaja tersedak. Meminum air putih pun ia kembali terbatuk saking tergesanya.

Sesaat Jenna tidak mendengar suara piano lagi, namun lambat laun alunan musik bertempo cepat yang menandakan kebahagiaan terdengar.

Kembali penasaran, Jenna memberanikan diri memandang sang pianis. Anehnya, semula hanya ada satu kursi yang telah diduduki oleh lelaki tersebut dan kini justru ada dua. Yang satunya kosong. Untuk siapa dia mengambil kursi itu?

Permainannya kembali terhenti, detik demi detik terasa menegangkan ketika Dylan menoleh pada Jenna yang membeku di tempat. Pemuda itu tersenyum tipis lantas menepuk kursi kosong. "Kemarilah."

Menurut bagai anak anjing, Jenna melangkah berat lalu menduduki kursi. Ia meluruskan tatapan dengan ekspresi kaku. Sementara, sang pemuda kembali menekan tuts piano hingga musik menggema di penjuru ruangan. Jenna yang mendengarkan lantas dengan riang menebak, "Ah, kutebak lagu ini berjudul Für Elise."

Jenna memandang jemari lincah milik Dylan tanpa mengetahui sunggingan kecil yang manis menghias wajah pemuda itu. Melihat antusiasme Jenna, ia bingung harus berbicara atau berbuat apa. Rasanya seluruh kata yang tersimpan rapi dalam otak lenyap seketika tanpa jejak. Tenggerokan tercekat.

Sampai lagu selesai, Dylan tak mengucapkan apapun. Bertepatan dengan itu, Jenna baru menoleh ke arahnya yang sudah memasang raut datar, namun khawatir. Jenna mengerutkan dahi.

"Ada yang ingin kau ceritakan?" Jenna bertanya santai pada sosok yang tampak berpikir keras.

Astaga, memang hanya berbicara terasa sesulit itu?

Hei, lagipula ini sekadar Jenna Kayana, bukan jenderal.

Berdeham sesaat, Dylan bercerita, "Aku sudah mengurus seluruh dokumen yang kita perlukan."

"Minggu depan kita akan menikah."

━━━


╰┈➤XXVIII. One Step Closer


╔═════*ੈ✩‧₊˚═════╗

TO BE CONTINUED.

╚═════*ੈ✩‧₊˚═════╝


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro