
XXV. Another New Disaster
𝙱𝚎𝚗𝚌𝚊𝚗𝚊 𝙱𝚊𝚛𝚞 𝙻𝚊𝚒𝚗𝚗𝚢𝚊
━━━
Di dalam sebuah mobil Mercedes-Benz 170V yang melaju—membelah jalan sederhana lalu besar menuju kediaman pemuda di sebelahnya. Dalam hati, Jenna bersyukur dapat kembali. Akan tetapi, ia masih memikirkan banyak hal, salah satunya adalah perihal apakah ia masih aman untuk sementara waktu? Setidaknya tidak perlu ada serangan dari para malaikat dulu.
Sedang termenung, Jenna memicingkan mata. Kala ia memusatkan atensi pada sekitarnya, tampak orang-orang yang ia perkirakan mirip orang Indonesia berlalu lalang. Gedung-gedung pertokoan berdiri kokoh dengan papan tulisan berbahasa Belanda, Hanzi, dan bahasa Indonesia ejaan lama.
Menelan ludah susah payah, kini Jenna yang masih nomaden harus bisa segera terbiasa tanpa rasa gugup melingkupi dengan keadaan ini.
Tetapi mampukah ia tenang saat harus kembali terikat menuju sosok berwajah sama seperti pemuda itu?
"Kita sedang ada dimana, Tuan Muda?" tanya Jenna tanpa sadar.
"Batavia." Jawaban singkat itu sudah cukup bagi Jenna untuk kembali merenungkan hal lain.
Tebakan gadis itu benar. Kalau ia berada di Hindia Belanda, otomatis lelaki bernama Aditya cukup banyak. Bisa lebih dari satu. Ah, semoga saja saat ia bertemu dengan salah satu Aditya, dia adalah yang tepat. Meskipun, Jenna sendiri kurang memahami arti kata tepat menurut Oliver.
Lagipula, untuk apa mencari Aditya? Kenapa tidak sekalian saja mencari pahlawan?
Dan kalau mereka sedang tinggal di Batavia, maka...
"Jadi, kau orang Netherlands?"
Pemuda itu menjawab tanpa repot-repot menoleh dan pancaran matanya menyiratkan ia tak keberatan. "Keturunan Netherlands dan Inggris."
Ah, pantas saja Dylan mahir menanggapi pembicaraan menggunakan Bahasa Inggris.
Jenna mengikuti Dylan yang berbicara tanpa melihat lawan bicara, ia menatap pemandangan Hindia Belanda yang mengingatkannya pada Polandia. "Kau pasti memiliki jabatan tinggi."
Arah sinar matahari yang terasa hangat membuat Jenna menebak bahwa waktu telah menunjukkan sore hari. Hiruk pikuk mobil, pesepeda, trem, kereta kuda, becak, maupun pejalan kaki menarik sedikit minat Jenna. Pemakai pakaian tradisional Indonesia seperti kebaya cukup banyak. Hal ini membawanya pada saat dimana ia menyukai cerita bertema kolonial.
Tempatnya berada ialah kota di daerah tropis. Hawa gerah cukup membuat Jenna mengibaskan tangan beberapa kali. "Bulan apa ini?"
"Juni."
Satu kata itu tercetus dari bibir pemuda di sebelahnya. Jenna mengangguk. Ia memiliki kesimpulan tersendiri. Seandainya saja ia terlempar di bulan Januari, tentu hujan mampu membawa kesejukan.
Perjalanan masih berlangsung. Seperti sebelumnya, pemandangan yang didapati ialah para pribumi, dan orang Eropa. Banyak dari mereka yang berkumpul dengan kelompok ras mereka masing-masing. Kala memandang, tak sengaja Jenna merasa bahwa ia bersitatap dengan sosok pribumi.
Ia menatapnya yang dibalas dengan tatapan lekat hingga Jenna memilih untuk membuang muka. Aneh sekali, ia berani terang-terangan memaku gadis asing yang bisa saja mengancam nyawanya.
Terlepas dari keberaniannya, Jenna mengakui pribumi itu cukup tampan. Di zaman Jenna hidup, ia juga masih dipertimbangkan sebagai selebriti. Walaupun, mungkin tidak layaknya bintang sinetron, tetapi sebagai senior di sekolah, ia memukau.
Menggeleng, yang tadi pasti hanya sebuah kebetulan yang tidak perlu dipikirkan.
"Bagaimana dengan orang tuamu jika melihatmu membawaku ke rumah?"
"Kau bahkan belum mengetahui namaku," celetuk Jenna yang tak habis pikir. Sedari tadi, kata-kata inilah yang ia ingin keluarkan. Membayangkan mempunyai mertua sebelum berkenalan lebih jauh terasa mengerikan.
"Mereka sudah tiada."
Eh? Rupanya dia anak yatim piatu. Jenna mau bersyukur, tetapi demi apapun sebenarnya ini gelap. ia berbeda dari perempuan kebanyakan di masa ini dan khawatir segera ditendang karena terlihat tidak berguna.
"Maaf, aku turut berduka."
Tak mendapatkan reaksi lagi, kekesalan meradang di dada. Terbiasa dihargai lawan bicara atau mengobrol bersama seseorang yang beretika membuatnya harus belajar lebih bersabar. Semenyebalkannya Arael, ia tidak pernah berakting menjadi bisu.
Ah, dia harus tahu diri sebagai parasit yang tinggal di rumahnya.
"Namaku Jenna Elizabeth Brown." Jenna berkata entah pada siapa. Matanya tidak bertemu milik siapapun, selain jalanan padat terisi beragam kalangan serta ras.
Menghela napas berat, Jenna berharap perjalanan mereka segera sampai pada tujuan. Mobil masih melaju tak menentu, seirama perasaan kedua insan yang saling diam—menutup mulut rapat, menyimpan banyak rahasia.
━━━
Dylan membuka pintu rumah, Jenna berdecak kagum dalam hati ketika mendapati interior rumah orang Belanda semegagumkan ini. Tidak perlu diragukan pasti jabatan pemuda congkak itu tinggi. Entah apa, namun Jenna merasa ia pulang ke rumah lamanya.
Bonus dari rumah ini adalah ketenangan tanpa makhluk halus. Mungkin saja pemilik rumah ini taat dan rajin beribadah.
Tidak ada lagi ruangan sempit yang lembab, perabotan tua, dan cat pudar. Lantai yang ia pijak saja bersih mengkilap serta perabotan terawat baik menyapa netra coklat mahoninya. Lampu gantung yang mengesankan kemewahan tampak ciamik. Beberapa pribumi yang tampak di mata menundukan kepala hormat, seketika Jenna tersadar sesuatu. Jenna perkirakan cat di seluruh area rumah berwarna putih bersih.
Seandainya ia bermodalkan wajah pribumi pasti nasibnya sama seperti wanita dan pria yang tak berani mendongak di negeri sendiri tersebut.
Keduanya menaiki tangga lantas memasuki kamar yang memiliki ukuran persis kamarnya dulu saat masih bersama keluarga kandung. Dikelilingi cat putih dan berdesain minimalis, Jenna cukup terkesan.
"Aku dapat mengantarmu pulang sebentar."
"Untuk apa?" Jenna bertanya gelagapan. Oh, tidak!
"Mengambil dokumen berisi data peribadimu. Aku hendak mendaftarkan pernikahan kita segera."
Akhirnya, ia mampu berbicara panjang. Jenna tersenyum kikuk. Ia menggaruk tengkuk yang tidak gatal lantas dengan berat hati menyahut, "A... aku tidak punya."
Barangkali, ia salah berbicara, raut wajah di hadapannya berubah keruh. Dingin dan tajamnya membuat sekujur tubuh gemetar. Ia mengambil sebuah belati dari kantong celana. Sesuai tebakan, lengan Jenna dipelintir ke belakang kemudian belati itu diarahkan pada lehernya.
Jenna yang belum siap meregang nyawa, menatap Dylan ketakutan. Ada yang masih harus dituntaskan sebelum mati dan hal ini kian mencekik situasi Jenna.
"Baiklah, aku jujur. Aku sebelumnya kabur tanpa bermodalkan apapun, selain tiket kapal untuk berlayar menuju Hindia Belanda dari Inggris." Sesaat Jenna memuji kemampuan akting dan aksen british-nya. Ini juga tak lepas dari status sebagai setengah malaikat.
"Soal cerita pernikahanku, itu benar. Aku tidak berbohong."
Jenna menyatukan kedua tangan di depan dada. Ia berharap pada secuil nurani yang mungkin masih dimiliki pemuda ini.
"Apa buktinya? Bisa saja kau ini mata-mata atau orang asing berniat jahat." Ucapan tegas itu sukes mengejutkan Jenna yang kini lututya terasa lemas.
"Aku tidak punya bukti, tapi aku benar-benar tidak memiliki niat jahat sedikitpun. Kumohon percayalah."
Dylan menatap Jenna tak acuh lantas tanpa sengaja bersin. Sontak, belati yang berada di dalam genggamannya menggores leher Jenna hingga teriakan gadis tersebut mampu menggema ke penjuru rumah. Darah nampak mengucur dari sisi kanan leher Jenna. Nyaris mengenai urat nadi.
Sejenak ekspresi Dylan terkejut, tetapi segera raut wajah itu kembali mengeras.
"Anggaplah lukamu itu sebagai ancaman bila kau berniat macam-macam."
Lutut kesulitan menopang tubuh yang terlampau dipengaruhi kecemasan akut. Jenna jatuh berlutut. Ia menunduk lalu menutup luka dengan telapak tangan. Beberapa detik yang menegangkan, Jenna serta sang pemuda terdiam.
Jenna mendongak kemudian bangkit berdiri. Tanpa mau repot-repot memperhatikan gambaran muka Dylan yang sulit ditebak, gadis manis tersebut melangkah keluar ruangan. Ia berlari menuju sembarang arah.
Mata kurang awas, tubuh Jenna terhuyung menuju ketidaksadaran ketika tak sengaja tertabrak oleh baboe yang hendak melakukan pekerjaan rumah.
━━━
Ilustrasi keramaian di kota Batavia tahun 1940s.
Source : sharehouse.files.wordpress.com
Ilustrasi interior rumah orang Belanda di Batavia ( harusnya lebih bagus tapi susah nemu foto yang pas sesuai deskripsi imajinatif penulis ).
Source : Pinterest by i.pinimg.com
╰┈➤XXVI. Cold and Stubborn
╔═════*ੈ✩‧₊˚═════╗
TO BE CONTINUED.
╚═════*ੈ✩‧₊˚═════╝
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro