
X. Oliver's World
𝙳𝚞𝚗𝚒𝚊 𝙾𝚕𝚒𝚟𝚎𝚛
────
Siapa sangka bila sosok yang selama ini ia kira sebagai dukun ternyata merupakan siluman manusia setengah ikan. Jenna tiada henti memandang takjub sekaligus ngeri pada perubahan pria itu. Tidakkah dalam keadaan sadar terasa begitu menyakitkan apabila sepasang kaki menyatu dengan paksa layaknya dijahit kemudian ditumbuhi sisik-sisik ikan dan ekor berwarna biru gelap kehitaman?
Bergidik, Jenna tidak mampu membayangkan apabila ia berada di posisi seperti Oliver.
Kembali gadis itu menatap lekat Oliver. Pakaian atas masih menempel—menutupi tubuh perkasanya, sedangkan bagian celana telah tanggal menjadi robekan. Satu detik, dua detik dan sejurus kemudian dengan tidak manusiawi Jenna mendorong pria itu menuju sungai.
Menghela napas lega, Jenna mengusap dahi lalu menatap permukaan sungai seolah berkata, 'berterima kasihlah padaku nanti, duyung seksi.'
Menggeleng, Jenna tidak boleh berpikir kelewat cabul seperti ini. Harusnya pria dewasa itu yang cabul padanya bukan Jenna!
Detik demi detik berlalu. Jenna berharap cemas pada permukaan air yang sedikit berguncang dihantam derai hujan. Kian lama, gadis itu memeluk diri sendiri yang menggigil kedinginan.
Yang ditunggu datang. Oliver menyembul dari permukaan aliran sungai. Ia menahan tubuh agar tak terseret arus melalui topangan kedua tangan pada tepi sungai lantas menyeret tubuhnya ke tanah berumput sedikit.
"Syukurlah kau tidak mati." Jenna membawa pria duyung itu ke dalam dekapan. Ia sudah tidak peduli bahkan pada bau amis dari tubuh Oliver.
Oliver mematung sesaat lantas membalas pelukan gadis yang terlihat mengkhawatirkannya.
"Aku tak tahu bagaimana caranya menjalani kehidupanku saat ini sendiri tanpamu."
Oliver kehilangan kata. Ia tak mengerti apa maksud Jenna berkata demikian. "Kalimatmu ambigu."
"Ambigu darimana? Memang benar bukan apa jadinya hidupku tanpamu di tempat antah berantah ini?" Jenna merutuki dirinya sendiri yang hampir kelepasan menambahkan kata 'siluman ikan' di akhir kalimatnya. Itu benar-benar tidak sopan untuk seseorang yang berencana menggantungkan hidup pada orang lain.
"Maaf."
Di bawah hujaman air dari langit, sepasang makhluk berbeda tersebut masih saling memeluk guna menyalurkan rasa aman yang sulit didapat akibat tertekan kondisi. Bahkan, tautan keduanya mengerat.
"Untuk?"
"Karena sepertinya aku akan menggantungkan hidupku padamu mulai detik ini," cicit Jenna yang harga dirinya terasa digerogoti perlahan. Ini adalah kali pertama ia akan menggantungkan kehidupan pada seorang laki-laki layaknya istri pada suami.
Kenyataan ini membuatnya malu.
Oliver mengernyitkan dahi bingung, namun tak ayal perlahan sudut bibirnya tertarik dan sayangnya Jenna tak melihat ekspresi menyenangkan pria bermata biru itu. "Baiklah."
Perkataannya begitu tenang hingga Jenna tak mampu menahan pertanyaan dalam benak. "Eh?"
Semudah itu?
Menguraikan pelukan mereka, Jenna menatap horor pria dewasa basah di hadapannya. Pipinya menghangat meski diterpa dinginnya rinai hujan, tentu rona wajahnya akan berubah. Sementara, yang ditatap sedemikian rupa hanya memasang raut lugu.
"Itu berarti kita akan sangat sering berinteraksi. Persiapkan dirimu karena kecerewetanku nanti mungkin mengganggumu." Oliver berkata dengan nada yang ringan, sedangkan gadis di hadapannya nampak ingin mengubur diri hidup-hidup. Sungguh permintaan memalukan bagi seorang gadis yang ingin menjadi independen di masa depan.
"Terima kasih banyak, Oliver."
Tanpa paksaan, Jenna tersenyum hangat. Ia sangat berterima kasih karena seseorang sudi menampungnya. Tatapan mereka bertemu. Sadar atau tidak, pancaran mata keduanya bagai menyimpan sesuatu yang disebut luka. Luka tak kasat mata yang akan segera terobati seiring waktu kian berbelas kasih pada mereka.
"Aku akan berhutang banyak hal padamu."
Walaupun jutaan air menukik hingga memburamkan mata, warna biru seterang langit dapat menemukan sepasang coklat kelam pada seraut wajah di hadapannya. Layaknya tengah mengalirkan kesejukan yang nyaman, Oliver menekuk sudut bibir tulus lalu meraih jemari Jenna melalui telapak tangan dinginnya.
"Tidak perlu, menjagamu untuk sementara waktu adalah tugasku."
"Tugasmu?" Jenna bertanya memastikan.
Oliver mengangguk. "Untuk Arael."
Jenna hampir lupa kalau pemuda ini merupakan teman Arael.
Arael, bagaimana keadaannya?
"Rotthias Palace."
Tepat setelahnya, mereka berpindah tempat.
────
Memindai seisi ruangan dengan interior sederhana, Jenna seperti burung yang baru lepas dari sangkar. Tempat yang dipijaknya kini berlantaikan kayu berdebu dan dinding didominasi warna krem kusam. Desain interior tempat ini terlihat klasik—begitu menyenangkan untuk seseorang penyuka sejarah sepertinya.
"Aku tidak menyangka kita akan berteleportasi ke tempat ini." Jenna berucap takjub. Sepanjang mata memandang, ia dapat menemukan barang-barang antik khas Eropa.
"Kau suka?" pertanyaan Oliver dibalas senyuman lebar oleh gadis itu.
"Sangat. Kau tahu, ini benar-benar keren." Sibuk menjelajah, Jenna bergerak gesit mengitari tempat dengan ukuran yang sederhana untuk gadis yang biasa hidup di dalam rumah hampir semewah istana.
Selayaknya anak kecil yang diajak berkunjung ke toko mainan, antusiasme meningkat seiring menarik dan unik benda yang dijumpai. Jenna menyentuh dengan gemas permukaan dinding, lemari kayu yang sedikit lapuk, satu tempat tidur bersprei putih, penghangat ruangan berdesain tua, dan pajangan lain seperti rak untuk peralatan makan dan minum.
Terdapat cermin yang menyatu dengan meja. Jenna mendekat lantas menangkap pantulan dirinya. Dalam hati, Jenna berdecih. Tentu saja wajah ini tidak mirip dengan wajah aslinya dulu. Jenna terlihat seperti gadis kaukasia sepenuhnya. Rona pucat kulitnya, bentuk wajahnya. Bak terlahir kembali, wajah di hadapannya sama dengan percampuran wajah Jenna yang dulu dengan seorang ras kaukasia.
"Aku menyihirmu agar memiliki rona kulit dan rambut lebih pucat agar berbaur dengan masyarakat."
Ia tak mengerti apa yang terjadi padanya. Jenna melemparkan raut bertanya pada Oliver yang tersenyum kikuk.
Kembali memindai sekeliling, kalau di zaman modern, ruangan ini bisa dikategorikan sebagai kamar kos. Jenna mengagumi apapun berbau vintage. Oh, ini layaknya mimpi! Ia belum lama berencana mengunjungi museum di beberapa negara Eropa dan keinginannya terwujud kini, meski di tengah kemelut masalah.
Ada satu hal lagi yang memantik rasa penasarannya. Akan tetapi, hal ini agak aneh. Sosok wanita cantik yang persis sekali dengan dirinya versi berwajah kaukasia putih terpatri di dalam pigura foto hitam putih.
"Kita akan tinggal di sini sementara waktu."
Menoleh, Jenna membelalakkan mata. Ia menatap tak percaya pria itu. Apakah ia sedang melucu?
Yang ditatap justru menggaruk tengkuk seraya meringis. "Aku sepertinya lupa memberitahu kalau kita sedang berada di Kraków, Polandia."
Jenna berkedip beberapa kali. ia kembali meyakinkan dirinya sendiri kalau ini bukan mimpi atau sekadar imajinasi belaka. Haruskah ia menampar pipinya sendiri kali ini? Jangan katakan bila...
"Tepatnya pada tahun 1938." Tersenyum lebar, Oliver tampak sumringah tanpa beban, sedangkan Jenna memijat pangkal hidung.
Di mata Jenna, gestur pria itu seolah memiliki maksud untuk berkata, 'selamat datang di rumah abadimu wahai Jenna Kayana.'
Seharusnya Jenna senang karena ia dapat menempuh perjalanan eksklusif ke Eropa dengan tambahan layanan pergi ke masa lalu pula. Bukankah ia sangat beruntung, Ha!
Selanjutnya, melesat cepat, Jenna bergerak menuju jendela. Di luar sana, ia mendapati kesibukan penduduk setempat yang berperawakan kaukasia, meski hujan menerjang. Tidak ada satupun yang menggenggam ponsel. Bangunan berwarna monoton menjulang tak setinggi gedung-gedung kota modern.
Tidak adakah rumah yang lebih baik?
Oliver bergerak mendekat. Lagi-lagi menampilkan raut terpolosnya seperti bayi besar. Bagaimana Jenna ingin memaki kalau begini!?
"Kita akan tinggal disini sungguh tak lama. Setelah aku mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih layak, kita akan pindah ke apartemen yang lebih baik."
Sial, seribu sial. Jenna benar-benar tidak bisa berkomentar jahat, maka ia mengatupkan mulut rapat. Tidak boleh ada satu katapun yang belum melalui proses filtrasi keluar darinya kini. Mata itu. Birunya begitu dapat dipercaya.
"Tidak apa-apa Oliver, jangan bertindak layaknya kau suamiku."
Ha! Lihat! Mulutnya kembali mengeluarkan kata-kata ajaib di luar dugaan. Rupanya masalah bertubi-tubi ini membuat otaknya mengecil.
"Uhm, terima kasih banyak Tuan Oliver—" Jenna mengusap dagu lalu menepuk jidat beberapa kali guna mengingat nama belakang pria ini.
"Se... oh, sekuter?" Jenna menatap Oliver tidak yakin lantas menggeleng.
"Sekuteng?"
"..."
Memiringkan kepala, Oliver tertawa. Ia justru tersenyum riang, Oliver memang penuh kejutan. "Oliver Schurer, Nona Jena Piotrowska."
Apa katanya?
Apalagi ini astaga?
────
Ilustrasi hunian Jenna dan Oliver.
Source: Pinterest by Lance Whitlow
Warning! Terkadang ilustrasi nggak sama persis menggambarkan lokasi cerita, tetapi cuma mirip saja suasananya.
╰┈➤XI. Once Upon a Time
╔═════*ੈ✩‧₊˚═════╗
TO BE CONTINUED.
╚═════*ੈ✩‧₊˚═════╝
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro