Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

II. Between Imagination and Reality

𝙰𝚗𝚝𝚊𝚛𝚊 𝙸𝚖𝚊𝚓𝚒𝚗𝚊𝚜𝚒 𝚍𝚊𝚗 𝙺𝚎𝚗𝚢𝚊𝚝𝚊𝚊𝚗

────

Cahaya menyengat mata gadis yang kini masih terpejam. Perlahan kelopak yang menutupi netra coklat gelap Jenna bergerak hingga terbuka.

Awalnya pandangannya buram lantas berangsur-angsur kian jernih. Spontan, gadis berparas manis tersebut mencengkeram dada. Sedikit sensasi terbakar masih bersisa. Menghela napas berat, ia bersyukur masih hidup.

Benar-benar semalam merupakan mimpi terburuk dari sekian mimpi buruk lainnya. Akan tetapi, rasa ngeri yang dirasakannya seakan bukan hal baru.

Pagi ini cerah. Gorden yang tak menutup jendela membiarkan cahaya matahari masuk. Menghantarkan kehangatan sekaligus semangat yang hampir mustahil mengisi benak Jenna, apabila hari ini bukan Sabtu atau Minggu.

Membalikkan badan, Jenna terperanjat tatkala seorang pemuda tertidur dengan nyaman di hadapannya. Kedua telapak tangan menutup mulut agar tak refleks mengeluarkan suara teriakan.

Wajah damai lelaki itu terlampau rupawan untuk berada di sekitar Jenna. Jenna mengamati seksama figur di hadapannya. Ia menyadari kalau pemuda ini yang memunculkan diri malam kemarin di dalam mimpinya.

Apakah lelaki ini menyukainya?

Seulas senyum terbit di wajah manis sang gadis lalu secepat kilat berubah takut. Kali ini, ia ingin memekik. Meskipun tampan, tetapi kalau berotak miring layaknya penguntit juga sama saja.

Ah tapi, ini berarti pada akhirnya gadis itu disukai laki-laki tampan setelah sekian lama hanya dikejar siluman kera.

Tangan Jenna terulur untuk membangunkan pemuda ini atau mungkin memukul kalau ternyata ia berniat macam-macam. Ia bahkan telah mengambil gunting kini.

Alih-alih melakukan hal yang diinstruksikan otak, Jenna justru berakhir mengelus rambut tebal sang pemuda, Jenna kegirangan sendiri hingga pergelangan tangannya tahu-tahu dicekal jemari besar nan kasar milik lelaki di hadapannya.

Ada perasaan familiar nan aneh yang hinggap tatkala menangkap perawakannya. Rasanya pemuda ini tidak berbahaya.

Kapan ia bangun?

Astaga, bahkan wajah baru bangun tidurnya saja sudah sangat tampan! Berbeda dengan dirinya yang seberantakan manusia hutan. Menarik napas dalam, meskipun demikian, sekujur tubuh Jenna yang berkeringat dingin mengindikasikan ketegangan.

Netra hijau itu sehangat musim semi, meskipun sang pemilik menampilkan mimik datar dan dingin. Matanya tajam menatap Jenna.

"Apa yang kau lakukan?" tanya pemuda rupawan di hadapan Jenna dalam Bahasa Inggris dengan suara berat yang menggoda.

Sial, pipi Jenna seketika memanas. Ia merasa seperti gadis cabul yang hendak memperkosa pria kelewat tampan.

Jenna berusaha melepaskan cekalan tangan si pemuda yang terlampau erat, namun ternyata sulit. Kian lama, bulu kuduk gadis itu meremang saat matanya lama bersinggungan dengan tatapan tajam pemuda di hadapannya. Jenna juga merasa kesulitan untuk mengalihkan tatapan, seolah sesuatu benar-benar menahannya.

Hei, harusnya Jenna yang semena-mena disini karena ini rumahnya dan pemuda itu merupakan penyusup.

Jenna mendelik lalu menyahut dalam Bahasa Inggris. "Kau berada di rumahku, bersikaplah sopan."

Memutar bola mata, pemuda itu bangkit dari posisinya lantas mengedikkan bahu. "Aku sudah tinggal di rumahmu sejak lama dan kau baru sadar."

"Hah? Apa?" Jenna membeo sekaligus mengejek.

Rupanya kepercayaan pemuda ini begitu tinggi, setinggi tubuh jangkungnya yang menjulang.

"Lepaskan tanganku, Brengsek!" Jenna membelalak saat kalap memaki pemuda tampan itu.

Berdeham, Jenna menjelaskan dengan gugup. "Aku salah bicara."

Menyeringai, sang pemuda melepaskan cekalannya lalu berkata dengan percaya diri, "Salam kenal, Jenna Kayana."

Jenna memalingkan muka. Pemuda itu mengetahui dirinya, sedangkan Jenna sama sekali tidak pernah mengenal sang lelaki. Harusnya ia takut pada pemuda itu. sebelum pemuda ini bangun jua Jenna merasakan ketakutan memenuhi benak. Namun, dilihat dari wajahnya, justru ia lebih takut kalau dikejar pemuda sejelek lutung.

"Tidakkah kau mengingat siapa aku?" Jenna menatap sang penanya bingung hingga berkedip beberapa kali.

Apakah sebelumnya mereka pernah bertemu lalu kepala Jenna terbentur sesuatu hingga kehilangan memori?

Alih-alih menjauh, sang pemuda menangkup wajah gadis di hadapannya. Ekspresi serius terpahat di wajah. Jenna yang terpukau oleh ketampanan sang pemuda tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, maka ditataplah iris hijau bagai padang rumput subur miliknya.

Aneh sekali. Mendadak, pikiran Jenna melayang. Melayang pada kejadian yang tak pernah ada. Kejadian dimana saat itu, ia menduga dirinya menjadi anak kecil berusia sekitar tujuh tahun yang lugu dan polos tengah berceloteh ria pada anak lelaki seumuran dengannya di taman bermain yang ramai.

Mereka nampak kontras karena perbedaan ras yang mencolok. Namun, seperti anak-anak pada umumnya, kedua bocah tersebut akrab.

Selain, dari penampilan fisik, pemikiran mereka pun tampak bersebrangan.

"Al, malaikat itu apa?" tanya sang gadis kecil pada lelaki kecil di belakangnya yang mendorong ayunan tanpa minat.

"Kuat dan baik," jawab si bocah laki-laki yang sebelumnya berpikir keras sejenak seraya masih sabar mengayunkan sang gadis.

Gadis kecil yang terayun itu hanya mengangguk—berpura-pura paham. Sesekali berbagi pandang antara kerumunan bocah lain dan kedua sepatunya.

"Iblis itu apa?" pertanyaan sang gadis kecil kali ini membuat dahi laki-laki kecil di belakangnya berkerut.

"Jahat dan berani."

Kilasan bayangan dua anak kecil itu hilang dan netranya memusatkan perhatian kembali pada netra hijau di hadapannya.

Apa yang terjadi padanya?

Tersenyum manis, pemuda ini memang aneh. Tampan tapi berotak miring.

"Sebaiknya aku berlalu dari hadapanmu untuk sementara ini," ucapnya penuh makna.

Tak habis pikir, Jenna sedikit naik pitam pada dirinya sendiri. Mentang-mentang hobi berimajinasi, akan tetapi saat ini bukanlah waktu yang tepat.

Sebelah tangan mengelus kepalanya sendiri, Jenna merasa layaknya telah dihipnotis. Apakah mungkin imajinasinya muncul karena ia dihipnotis oleh pemuda ini yang bisa saja berniat jahat padanya?

Aneh, tetapi ia benar-benar merasa percaya pada pemuda itu sejak pandangan pertama.

Lelaki muda itu menjauh. "Aku pergi dulu."

Jenna tak mungkin membiarkan pemuda misterius itu pergi begitu saja setelah apa yang dilakukannya kini. Jenna mengejar pemuda tersebut hingga ia mencapai pintu rumah dan membukanya. Tidak ada siapapun, kecuali pembantunya dan satpam yang sedang mengobrol di teras.

"Pagi, Neng."

Jenna membalas sapaan mereka seadanya kemudian bertanya, "Bi, Pak, liat cowok lari keluar rumah nggak?"

Satpam dan pembantu di rumahnya saling menatap sebelum menggeleng lalu berkata bingung, "Perasaan nggak ada cowok yang lewat deh, Neng."

"Jangan bercanda begitu, Non," ucap sang pembantu meringis—menahan rasa merinding yang mulai menyeruak.

Satpam rumahnya berkata enteng tanpa dosa dengan wajah cerianya lantas menuai ketegangan pada Jenna dan rekannya, "Eta mah jurig kali, Neng."

"Ih, Pak, Bi, aku nggak bercanda." Jenna tersenyum kaku.

Memindai sekeliling, teras, taman penuh tanaman hias baik yang berbunga dan tidak, Jenna tidak menemukan jejak laki-laki freak itu.

Cepat sekali larinya. Jenna mengedikkan bahu tak peduli. Sebaiknya, ia bergegas menuju kampus.

────

Lelaki itu benar-benar mampu menyita pikiran Jenna. Ia merasa seperti dipermainkan tatkala perasaan senang dan khawatir menyerang benaknya sekaligus.

Jenna seolah gadis dungu yang berani merendahkan harga dirinya bahkan bisa saja sampai mempertaruhkan nyawanya hanya demi sosok tampan. Aish, tetapi ia terlalu mengagumkan untuk dihindari. Menghela napas panjang, ia menendang serpihan batu kecil hingga terlempar jauh.

Refleks, Jenna mengikuti arah batu yang ternyata menuju taman bermain yang dikelilingi bunga dan tanaman berbatang kecil. Ah, taman bermain yang kerap Jenna kunjungi saat ia masih kecil. Kenangan yang disimpan tidak banyak. Ia tidak terlalu dapat mengingatnya.

Mengernyit, Jenna teringat sesuatu. Tempat ini mirip seperti tempat yang belum lama diimajinasikan oleh gadis itu beberapa saat lalu.

Kembali berjalan, Jenna tidak peduli. Mengingat masa kecil yang telah lama berlalu hanya akan membuat dirinya terikat kerinduan yang ironisnya tak akan pernah terulang lagi.

Beruntungnya, jarak rumah menuju universitas tidak jauh, sehingga dapat ditempuh dengan melangkahkan kaki.

"Jen!" sapa pemuda kemayu yang berada di radius tidak terlalu jauh.

Ah, Jenna yang terlalu jauh benaknya mengawang terenyum tipis.

"Buset, bengong mulu. Kenapa muka lo asem banget macam sempak bapak gue?"

Jenna menghela napas panjang. Haruskah ia menceritakan kekonyolan yang ia hadapi pada pemuda yang kini melangkah beriringan dengan gadis itu.

"Mau mulai dari mana ya ceritanya, Bri?" tanya Jenna retorik. Mimik wajahnya begitu tertekan.

"Dikejar monyet varian apa lagi lo?" Brian memutar bola mata malas seolah mampu menebak apa yang akan diceritakan teman dekatnya kemungkinan tidak jauh-jauh dikejar lelaki buruk rupa melebihi kera.

Mendadak pipi Jenna menghangat ketika mengingat peristiwa pagi dini hari. Semoga saja rona wajahnya tidak semerah selayaknya setelah makan cabai.

Menggeleng, kali ini ia tidak sedang berkutat dengan dunia permonyetan. "Justru yang satu ini ganteng."

Brian melotot, ia menatap Jenna hiperbolis. "Demi apa?"

Terlalu berlebihan ekspresi pemuda ini, padahal dirinya yang berbicara terlihat santai. "Demi Pak Marjan nungging."

Pak Marjan merupakan dosen salah satu mata kuliah di jurusan hukum. Pak Marjan dengan kepala licin tanpa rambut dan kumisnya seperti Adolf Hitler kerap dinistakan mahasiswa. Saking malasnya mengajar, ia bahkan pernah berkata dengan rendah hati dan santainya kepada mahasiswa, "Nanti langsung UTS dan UAS aja ya, Nak. Nggak usah ada pertemuan apa-apa lagi lah ya. Bapak malas"

Jenna dan Brian berjalan hingga ke dalam gedung kampus dan mengarungi koridor demi menemukan kelas mereka.

Suasana gedung bernuansa tenang dengan dominasi warna krem itu cukup ramai oleh mahasiswa mahasiswa berlalu lalang. Keluar dan masuk ruangan yang berjajar di sisi kanan dan kiri dinding, beralaskan lantai keramik yang dipijak. Sejuknya pendingin ruangan mampu membuat rileks siapapun yang tengah memiliki urusan di koridor ini, kecuali bagi mereka yang tergesa karena hampir terlambat memasuki kelas mata kuliah.

Jenna bercerita kepada Brian secara detail perkara pemuda kaukasia rupawan bermata hijau yang hangat, mimpi buruknya, dan imajinasi nyelenehnya. Brian menatap gadis di sebelahnya tak percaya. Jenna bak pendongeng ulung. Kejadian kemarin malam dan pagi harinya bagai karangan fantasi.

Ingin tidak percaya, namun ekspresi sahabatnya serius. Ia mengenal Jenna cukup dekat. Gadis itu akan memasang raut berbeda jika ia sedang mengarang dan jujur.

"Lo tau kan, tiba-tiba imajinasi gue jadi nyata. Adegan romantis klise drama Korea yang sering gue tonton jadi nyata, tapi—"

Brian mengejek Jenna melalui mimik wajahnya. Ia melebarkan lubang hidungnya yang ironisnya sudah lebar lalu menyipitkan mata. "Tapi bisa aja beberapa jam kemudian nama lo dipajang di batu nisan."

"Jangan-jangan lo kena pelet lagi!"

"Misal itu cowok lebih burik daripada monyet, kalau pake jampi-jampi jadi keliatan ganteng."

Pemuda ini memang sekejam mulut ibu-ibu komplek yang tengah bergosip. Jenna memanyunkan bibir. Ia gusar bagai remaja baru merasakan cinta monyet.

"Ah, Briaan! Dia cowok paling ganteng yang keliatan seobsesif itu sama gue!"

Pada umumnya manusia normal yang masih waras akan menghindar dari lelaki obsesif, manipulatif, dan aneh. Namun, untuk kasus seperti Jenna, perempuan itu memang sudah gila karena kurang dilirik pemuda tampan.

"Lo kan tau sebelumnya cowok-cowok di deket gue nggak ada bedanya sama binatang purba!"

Jenna merengek. Ia tidak peduli pada tanggapan manusia-manusia di sekitarnya yang berlalu lalang dan memberinya perhatian sedikit akibat sikapnya bagai bocah balita.

"Woy, Sempak Batman dengerin gue ya. Kalau otak lo belum resign mah lapor polisi."

"Itu cowok memang ganteng, tapi kalau di luar nalar modelan begitu ya serem, Geblek!"

Brian menghardik Jenna telak. Demi kepala gundul Pak Marjan! Gadis ini bisa saja sedang berada di dalam bahaya.

"Jujur Bri, gue pernah berkhayal kalau bangun tidur tau-tau ada cowok gantengnya kebangetan melebihi Taehyung di kasur dan suaranya berat melebihi suara Lucinta Luna."

"Dia harus sedikit nyebelin dan nggak boleh keliatan banget sukanya gitu ke gue dan imajinasi somplak gue itu jadi nyata."

Mata Jenna dipenuhi kilat berbinar. Brian terpana sesaat. Di satu sisi, ia turut bahagia melihat kawannya ini bersemangat dan tidak merasa bosan memandang kehidupannya seperti kemarin-kemarin. Namun, di sisi lain, ia tetap khawatir entah kenapa.

────


╰┈➤III. Denial


╔═════*✩‧₊˚═════╗

TO BE CONTINUED.

╚═════*✩‧₊˚═════╝



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro