Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Episode 9 : menerima diri


𝚂𝚞𝚊𝚝𝚞 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚔𝚊, 𝚜𝚊𝚗𝚐 𝚙𝚞𝚝𝚛𝚒 𝚔𝚎𝚖𝚋𝚊𝚕𝚒 𝚖𝚎𝚖𝚞𝚕𝚊𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚎𝚛𝚒𝚖𝚊 𝚑𝚊𝚕-𝚑𝚊𝚕 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚝𝚎𝚕𝚊𝚑 𝚕𝚊𝚖𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚊𝚗𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗.


▶︎ •၊၊||၊|။||||။‌‌‌‌‌၊|• 0:09


Menerjang hujan yang mulai lebat, kilat petir turut mewarnai langit kelabu. Pandangan dalam berkendara menjadi terbatas sedikit demi sedikit. Temperatur udara turun. Meskipun demikian, Jenna tidak merasa kedinginan karena pikirannya tidak berada di tepat seharusnya. Beruntungnya gadis itu berada di dalam mobil kini.

"Tidakkah kamu sebaiknya berusaha menerima diri sendiri apa adanya?"

"Setidaknya kamu tidak menunjukkannya di depan banyak orang."

Cengkeraman erat di kemudi melemah. Ia tidak menoleh sedikitpun, namun tak dapat dipungkiri, dirinya merasa tersentak.

Pemuda di sebelahnya yang mengetahui gerak-gerik Jenna menarik sudut bibir. Ia menatap lekat Jenna lantas berkata. "Kamu memiliki keunikan yang dapat dimanfaatkan menjadi sesuatu yang positif."

Jenna mendengarkan ocehan pemuda di sebelahnya seksama kali ini.

"Setidaknya sesuatu yang kamu anggap sebagai bentuk ketidakwarasan itu tidak merugikan orang di sekitarmu."

"Berapa kali kamu pergi ke dokter spesialis kejiwaan?"

"Lantas bagaimana hasilnya?"

"Tidak ada selain menerima diri sendiri, bukan?"

"Nikmati saja apa yang ada di sekitarmu dengan bahagia saat ini dan jangan berusaha mengejar sesuatu yang disebut sebagai bahagia tapi sulit kamu raih."

Tanpa memindahkan arah pandangan atau berkata apapun, Jenna menginjak pedal mobil kuat. Ia mempercepat laju kendaraan yang ditumpanginya hingga menyalip banyak kendaraan di hadapannya dalam keadaan jalan licin dan kaca yang sedikit terhalang embun air.

Untungnya jalanan lenggang, jadi ia bisa mengebut dengan gilanya menyalip mobil, padahal dari arah berlawanan, mobil pick up datang hampir menyambar mobil gadis itu kalau saja ia terlambat dan gegabah dalam mengambil tindakan. Jenna berhasil menyalip mobil di hadapannya tapi harus berbuah suara klakson dari beragam kendaraan di sekitarnya.

Memelankan laju kendaraan, Jenna tertawa terpingkal-pingkal. Sempat gadis itu memukul stir mobil lalu menyandarkan punggung rileks pada jok mobil. Ia tersenyum puas.

"Jadi kebahagiaan menurutmu saat ini adalah mempercepat kematian diri sendiri?" tanya Pangeran seraya menyelaraskan ekspresinya dengan Jenna.

Tidak menjawab pemuda bernetra hijau yang menjadi satu-satunya teman ia berbicara, Jenna justru tertawa lagi. Ia tertawa lepas tanpa beban. "Gue bener-bener udah gila sekarang."

Pangeran benar. Entah sudah berapa banyak spesialis kejiwaan yang telah Jenna datangi. Ia sudah konsultasi hingga puluhan kali bahkan meminum obat tak terhitung jumlahnya. Namun, selalu berakhir sama. Ia tetap melihat sosok-sosok rupawan yang tidak dapat orang lain lihat. Mungkin, ia terlanjur tidak waras, tapi siapa yang tahu? Selagi pintar bersembunyi, kenapa tidak?

Lagipula, siapa yang menjamin kalau orang-orang normal di hadapan Jenna sama normalnya ketika tidak berhadapan dengan publik? Tatkala ia pertanyaan tersebut melintas di benak, Jenna menoleh dan mendapati Pangeran tersenyum begitu lebar dan lepas.

"Siapa yang tahu? Dunia ini lebih banyak bertebaran kebohongan daripada kejujuran."

Kalau dipikir-pikir, hal itu memang benar.

"Jangan meragukanku. Aku seperti bagian dari dirimu yang lain."

Jenna menyeringai pada Pangeran. Sejak kecil sampai saat ini, ia sempat memiliki keinginan bertindak gila yang justru merugikan orang lain, seperti salah satu contohnya: mengendarai kendaraan ugal-ugalan. Sayangnya, kepalanya ramai teka-teki yang harus dipecahkan. Keluarga hangatnya menjadi semakin aneh sejak membatasi pertemuan dengannya dan seolah menyembunyikan sesuatu darinya sejak lama, perubahan penampilan alaminya, dan penglihatannya yang melihat manusia tidak jelas.

Ia masih belum memalingkan muka dari pemuda di sebelahnya, tatkala hendak berpaling, Pangeran mengusap kepala Jenna pelan.

"Manusia tidak akan pernah hidup sendiri."

Terpaku, netra coklat gelap jernih Jenna nampak bercahaya.

Walaupun, pemuda ini tidak nyata, sepertinya memang tidak buruk. Setidaknya, ketika sang kakak tiada suatu saat nanti, ia tidak perlu merasa sendiri dan kehidupannya runtuh seketika. Ia bisa mengandalkan diri sendiri dan imajinasinya untuk memaknai hidup agar menjadi lebih tenang dan nyaman.

Hujan masih lebat disertai angin kencang menghujam area Jenna berada. Dedaunan yang bertumpu pada batang pohon bergoyang mengikuti arah angin berhembus. Beberapa tanaman dan pepohonan berbatang ramping bergerak seakan hendak tersapu dan roboh. Petir menghantam bumi melalui kekuatan suara dan sekelebat kilat mengerikan. Air yang mengalir deras, mengarungi atap rumah, meluncur bebas bagai air terjun.

Jenna yang masih mengemudi mobil meninggikan kecepatan, sontak menghentikan laju kendaraan di teras minimarket terbaiknya dengan cara berbahaya seperti mobil polisi yang tengah menghadang kendaraan buronan di film.

Segera, gadis itu keluar dari mobil lantas tubuhnya basah kuyup tertimpa rinai hujan yang kian menggila. Ia memutar tubuh layaknya berdansa. Tak peduli masih terlihat beberapa orang berteduh di sekitarnya yang bisa saja menjadikan ia sebagai pusat perhatian.

Aroma kuat segala benda basah menyapa indra penciuman. Air mengalir rendah di aspal hingga menciptakan genangan di lubang-lubang jalan yang tidak ditambal.

Ia berdansa asal-asalan lalu mengamit lengan kering Pangeran yang kebetulan berdiri di hadapannya. Secara tidak langsung, Jenna mengajak teman imajinasinya berdansa di bawah hujan. Jenna menggenggam dua tangan Pangeran erat lalu berputar.

Pemuda bernetra hijau tersebut nampaknya ikut menikmati. Ia mengambil inisiatif untuk meletakkan lengan Jenna pada bahu pemuda itu lantas tangannya merengkuh pinggang gadis itu defensif seakan lengah sedikit, gadis di hadapannya terluka dan dimulailah atraksi dansa gila mereka.

"Mari bersenang-senang!"


ֶָ֢𐚁๋࣭⭑ֶָ֢


Ia tidak jadi ke psikiater. Jenna memilih memesan kamar hotel bintang lima untuk dihuni. Dengan fasilitas yang begitu lengkap, Jenna menyamankan diri. Ia merebahkan tubuh setelah mandi.

Sebelum pergi ke hotel ini, beruntungnya Jenna selalu menyediakan baju bersih di bagasi mobil untuk berjaga-jaga seperti sekarang ini. Menghela napas lega, gadis itu mengambil ponsel lalu memandang layarnya dengan kernyitan dahi.

Sekitar lima panggilan tak terjawab dari sang kakak. Ah, sepertinya memang Jenna terlampau lama mandi. Ia menelpon Ian.

"Halo, Kak."

"Lo nggak pulang?" Ian bertanya ramah.

Jenna tersenyum sebelum membalas. "Lusa, gue balik."

"Nggak kuliah besok?" Ian kembali bertanya memastikan pada sang adik.

"Mau bolos dulu sehari," tukas Jenna santai.

"Woy pulang, geblek! Bapak emak lo di sini."

"Nggak dibagi warisan loh kalau durhaka." Ian berkata konyol hingga Jenna tertawa kecil.

"Sesekali gue mau jadi durhaka layaknya papa mama memperlakukan gue akhir-akhir ini." Ucapan Jenna cukup menohok dan Ian terdiam beberapa detik.

"Share location! Gue mau ke tempat lo sekarang." Ian bertanya lembut. Seharusnya tidak ada yang salah dari perkataannya. Namun, Jenna tak sengaja bertemu pandang dengan Pangeran, sontak Pangeran meletakkan telunjuk di bibir. Mengisyaratkan untuk merahasiakan lokasinya kini.

"Nggak dulu buat sekarang, Kak," ujar Jenna kurang ajar seraya menjulurkan lidah mengejek lantas mengakhiri panggilan telepon mereka.

"Kenapa?" Tatapan Jenna mengisyaratkan kalau ia heran mengapa pemuda yang saat ini berdiri di hadapannya meminta ia tidak memberitahu Ian.

"Jangan terlalu percaya pada kakakmu, Jenna," tegas Pangeran penuh keyakinan.

"Kenapa?" tanya Jenna tajam dan Pangeran tidak menampilkan ekspresi apapun karena sudah menduga reaksi Jenna akan seperti ini.

"Cuma Ian yang paling selalu ada buat gue di saat terpuruk sementara orang tua gue nggak peduli sama sekali."

"Cuma Ian yang gue punya dari dulu sampai seumur hidup."

"Seandainya lo bilang orang tua gue pembohong akut atau malah jahat, mungkin gue akan percaya karena tingkah mereka mencurigakan dan semakin aneh akhir-akhir ini."

"Padahal, mereka dulu sehangat orang tua pada umumnya..." Jenna berbisik lirih pada akhirnya. Namun, Pangeran tentu mampu mendengar. Ekspresi wajahnya memancarkan kesenduan, walaupun sudah ditutupi sedemikian rupa oleh gadis itu sendiri.

Tanpa Jenna ketahui, Pangeran memalingkan wajah. Rahangnya mengeras seiring netra hijaunya menggelap seakan ditelan pupil hitam matanya.


▶︎ •၊၊||၊|။||||။‌‌‌‌‌၊|• 0:09







𓇼 ⋆.˚ 𓆝⋆.˚ 𓇼










Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro