Episode 6 : sesuatu terasa janggal
𝚂𝚞𝚊𝚝𝚞 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚔𝚊, 𝚓𝚒𝚠𝚊 𝚜𝚊𝚗𝚐 𝚙𝚞𝚝𝚛𝚒 𝚖𝚞𝚕𝚊𝚒 𝚖𝚎𝚖𝚙𝚎𝚛𝚝𝚊𝚗𝚢𝚊𝚊𝚗 𝚜𝚎𝚐𝚊𝚕𝚊 𝚑𝚊𝚕 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚝𝚎𝚕𝚊𝚑 𝚝𝚎𝚛𝚓𝚊𝚍𝚒.
▶︎ •၊၊||၊|။||||။၊|• 0:06
Suasana gedung bernuansa tenang dengan dominasi warna krem itu cukup ramai oleh mahasiswa mahasiswa berlalu lalang. Keluar dan masuk ruangan yang berjajar di sisi kanan dan kiri dinding, beralaskan lantai keramik yang dipijak. Sejuknya pendingin ruangan mampu membuat rileks siapapun yang tengah memiliki urusan di koridor ini, kecuali bagi mereka yang tergesa karena hampir terlambat memasuki kelas mata kuliah.
Jenna dan Brian sudah selesai mengikuti mata kuliah Hukum Tata Negara, maka mereka berjalan bersama melalui koridor gedung fakultas. Selama dalam perjalanan, keduanya mengobrol santai seputar mata kuliah hingga Jenna menyadari ada sesuatu yang baru pada Brian hari ini.
"Cie, kalung baru," ucap Jenna disertai senyuman lebar.
"Oh, kalung ini hadiah ulang tahun dari nenek gue." Brian santai menimpali.
Tunggu, tanggal berapa sekarang? Jenna membeku selama beberapa detik saat ia menyadari bahwa ulang tahun sang sahabat terlupa olehnya sebab terlampau banyak yang dipikirkan.
Gadis bermanik coklat tua tersebut kini tak memiliki cukup keberanian untuk menatap Brian bahkan pada sosok cantik yang biasa mengikuti pemuda tersebut.
"Lo lagi sakit?" tanya seorang pemuda yang kerap dipanggil Brian pada sahabat yang berjalan beriringan di sisinya seraya menyentuh dahi Jenna khawatir.
Jenna menggeleng. Ia bahkan tidak mengetahui apa yang terjadi pada tubuhnya kini.
Brian berhenti berjalan diikuti Jenna lantas meneliti gadis itu dari ujung rambut hingga kakinya yang tertutup sneakers putih. Ia memandang aneh Jenna lantas nampak berpikir keras.
Setelah terpikirkan sesuatu, Brian berbisik lirih pada gadis di sebelahnya. "Lo nggak habis suntik putih, kan?"
Jenna membulatkan mata lalu menjitak kepala pemuda di sebelahnya hingga mengaduh kesakitan. "Nggak mungkin, lah!"
Sejenak, Jenna larut dalam kekalutan. Ia meremas jemarinya gelisah lalu telapak tangan pemuda yang memposisikan diri di hadapannya menyapa dua bahu gadis itu.
"Lo kenapa?" Jenna menatap mata Brian. Ia benar-benar tidak tahu apa jawabannya, bahkan sedang mencari.
Segera Jenna mengalihkan tatapan, sedangkan Brian masih menatapnya lurus lalu memandang arah lain di belakang Jenna setelah mendengar suara keributan.
"Nggak berguna banget sih lo, manusia terkutuk!"
Suara tersebut berhasil membuat Brian menurunkan tangannya dari bahu Jenna. Sontak, pemuda tersebut berlalu begitu saja dari hadapan Jenna dan menghampiri sumber keributan.
Tanpa menunggu, Jenna mengikuti sang sahabat yang kini sedang berusaha meredam keributan.
"Oy, Salsa bener-bener ya, nggak ada kapok-kapoknya ngebuli anak orang!" Gadis dengan rambut berwarna merah mencolok yang disapa Salsa menatap tajam Brian yang sok menjadi pahlawan kesiangan.
Jenna ingin menarik pemuda tersebut menjauh dari keramaian dan memberi ceramah panjang nan lebar agar tidak perlu menarik perhatian beberapa mahasiswa Lagipula, ia tidak yakin kalau manusia satu ini akan mengatasi masalahnya seperti sekarang hanya seorang diri tanpa bantuan Jenna.
"Jangan ikut campur kalau nggak tau apa-apa sama sekali!" seru Salsa tajam. Emosinya meluap lantas tangannya menjambak gadis ringkih di hadapannya.
"Yaudah sih seenggaknya jangan ribut disini!" tegas Brian yang tak mau kalah berargumen.
Gadis berambut merah menyala tersebut memandang sekelilingnya yang ramai lalu melepaskan cengkeramannya pada rambut kusut si gadis yang nampak menyedihkan.
"Mulai sekarang lo berurusan sama gue!" Salsa menunjuk Brian dengan tatapan bengisnya.
Jenna bersedekap lalu menggeleng-gelengkan kepala pada Brian yang memucat. Seharusnya, pemuda itu mengetahui betul bahwa tidak ada satupun mahasiswa yang mau berurusan dengan Salsa—si pencari masalah yang sempat dirumorkan pernah melakukan pembunuhan.
"Salsa, lo inget nggak sih pernah ada kasus mahasiswa yang ditemukan meninggal secara misterius di danau?" Jenna kembali menjadi pusat atensi, tapi gadis itu tidak peduli lagi.
"Rumornya dia dibunuh sama orang yang punya kekuasaan besar." Jenna tersenyum miring. Ia melirik Salsa yang menatapnya tajam.
Jenna memandang beberapa kerumunan mahasiswa dengan senyuman lebar yang memandangnya takut. "Nggak takut hal yang sama terjadi ke kamu dalam waktu dekat ini?"
Gadis berambut merah yang melemparkan tatapan murka pada Jenna tentu tidak lupa siapa ayah Jenna. Ayah gadis itu merupakan pengusaha produk kecantikan dan rumah makan tersukses di pulau ini. Beliau dikenal melalui sosial media dan menjadi tamu di sejumlah aktivitas seminar hingga seminar internasional. Gadis Bernama Jenna memiliki kehidupan selayaknya putri raja.
Salsa memutar bola mata malas lalu melangkah perlahan menuju Jenna lantas mendekatkan bibir pada telinga gadis itu. "Berhati-hatilah, Yang Mulia."
Setelah mengatakan kalimat yang tidak Jenna mengerti, Salsa melengos pergi meninggalkan kerumunan dan gadis yang semula ia siksa tanpa sepatah kata apapun lagi.
Brian mendekat pada Jenna lalu bergidik menatap kepergian Salsa.
"Jen, lo ngerasa ada yang aneh nggak sih sama nenek sihir itu?"
Dahi gadis bernetra coklat gelap tersebut mengerut.
"Kenapa ya setiap dia bikin keributan atau masalah, kebanyakan orang nggak ada yang berani negur atau mendekat tapi seakan cuma bisa liatin doang tanpa berbuat apapun lagi?"
"Lagian baru hari ini gue bisa menentang apa yang dia lakuin." Brian menambahkan dengan gumaman lirih.
"Lo nanya gue?" tanya Jenna sarkas. Ia pun sama bodohnya dengan Brian.
"Ternyata bokap lo hampir mirip presiden kita atau malah raja ala-ala film kolosal, ya," ujar Brian cengengesan seperti bocah idiot. Pintar sekali pemuda ini mengalihkan pembicaraan
Jenna memutar bola mata kemudian tak sengaja menangkap sosok pemuda yang tengah santainya bersandar di dinding tak jauh darinya bersama gadis asing yang Jenna duga tidak terlihat orang di sekitar gadis itu. Ia memasang ekspresi meremehkan pada sang gadis yang menatap wajah rupawan itu jengkel.
Belum beberapa detik berlalu, Jenna mengalihkan pandangan saat mendengar teman dekatnya kembali berbicara. "Jen, lo bukan indihome kan?"
Lambat menemukan sesuatu di kepalanya selama beberapa detik, Jenna menyadari kalau terselip kata pelesetan dari indigo.
Ketimbang indigo, Jenna lebih suka menyebutnya sebagai mampu melihat 'makhluk imajinasi ciptaannya sendiri'. Perlahan, ia mencuri kesempatan untuk melirik pemuda rupawan yang masih bersandari pada dinding, tapi kini bersedekap diiringi tatapannya yang kian tajam.
"Gue kok ngerasa ada hawa-hawa nggak enak gitu, ya. Merinding."
Tanpa disadari dirinya sendiri, Jenna menatap Brian dengan sudut bibir tertarik lantas berkata, "Gue nggak pakai wifi indihome." Seraya mengibaskan tangan sok anggun, Jenna melanjutkan. "Nggak ada apa-apa woy, jangan lebay gitu, ah!"
"Terima kasih."
Brian dan Jenna memusatkan atensi pada gadis yang tiba-tiba saja bersuara. Gadis kusut itu menundukkan kepala lalu mendongak dengan cepat.
Seutas senyum melukis wajahnya, tapi entah mengapa Jenna dapat menangkap sedikit kepalsuan di sana. Gadis yang aneh!
ֶָ֢𐚁๋࣭⭑ֶָ֢
Langit berwarna biru cerah. Kabel terjalin rumit. Debu dan polusi kendaraan yang beterbangan tak mampu menghalangi Terik matahari menyinari bumi. Mobil, motor, dan beragam varian kendaraan lain nampak tergesa di sana,di sebuah jalan besar Jakarta.
Semua pemandangan sekilas tersebut mampu Jenna saksikan melalui kaca bening kafe yang berdesain ala era lampau bersama Brian. Gadis itu memalingkan pandangan pada pemuda di hadapannya yang tengah mengumbar senyum.
Di antara mereka yang dipisahkan oleh meja kayu, kopi, teh, dan bento cake bergambar quby atau orang Indonesia kerap menyebutnya pentol dengan ucapan happy birthday di sisi pinggirnya.
"Sorry, kadonya nyusul," ucap Jenna seraya tersenyum lembut.
Brian menyengir kuda. "Santai."
Tatkala Brian memotret hidangan yang tersaji di permukaan meja kayu, Jenna mengangkat panggilan video call dari Jeff.
"Hai, seperti biasa, Pak Guru." Jenna menyapa ringan. Namun, yang dihadapannya hanya mengukir senyum tipis tak bermakna.
Jenna menangkap keanehan yang baru ditunjukkan oleh pemuda itu. Ekspresinya terlihat dingin.
Apa yang telah terjadi?
"Thanks for everything," tukas si pemuda dengan raut tidak ramah seolah-olah Jenna berkhianat perihal sesuatu yang besar.
Setelahnya panggilan video mereka diputuskan sepihak oleh Jeff. Sontak, gadis bernetra gelap tersebut menghela napas Lelah.
"Dari OmeTV?" Brian bertanya tak acuh.
"Kan udah gue ingetin kalau kenalan dari aplikasi begituan mah nggak usah dianggap serius. Just for fun because they'll leave you soon and you get a new one like a cycle."
[Hanya untuk kesenangan karena mereka akan meninggalkanmu segera dan kamu akan mendapat seseorang yang baru seperti sebuah siklus]
Jenna terpaku menatap Brian. Pemuda itu menjangkau jemari Jenna di atas meja lalu ia genggam jemari sang gadis erat guna menyalurkan kenyamanan.
▶︎ •၊၊||၊|။||||။၊|• 0:06
⊹ ࣪ ﹏𓊝﹏𓂁﹏⊹ ࣪ ˖
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro