Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Episode 5 : gadis bodoh


𝚂𝚞𝚊𝚝𝚞 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚔𝚊, 𝚜𝚘𝚜𝚘𝚔 𝚙𝚞𝚝𝚛𝚒 𝚌𝚊𝚗𝚝𝚒𝚔 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚕𝚞𝚐𝚞 𝚖𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊 𝚍𝚒𝚛𝚒𝚗𝚢𝚊 𝚖𝚎𝚛𝚞𝚙𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚝𝚎𝚛𝚋𝚘𝚍𝚘𝚑 𝚍𝚒 𝚊𝚗𝚝𝚊𝚛𝚊 𝚜𝚎𝚔𝚒𝚝𝚊𝚛𝚗𝚢𝚊.


▶︎ •၊၊||၊|။||||။‌‌‌‌‌၊|• 0:05



Menata rambut lalu memberikan pulasan make up pada wajah cantiknya, Jenna merasa ada sesuatu yang berbeda dari penampilan alaminya. Ia menatap cermin seksama. Perubahan terbesar pada dirinya kini ialah warna kulit. Kulitnya nampak lebih cerah dan cenderung pucat seperti orang kaukasia.

Pendingin ruangan menyebarkan udara dingin beraroma segar teh melati yang berasal dari parfum favoritnya semakin menusuk hingga permukaan tubuh gadis tersebut terasa menggigil sedikit. Apa ia mulai berhalusinasi lagi?

Tidak mungkin warna kulit bisa berubah dalam semalam bukan? Atau mungkin penyakit yang dideritanya kemarin bukanlah penyakit biasa lantas berdampak pada warna kulit.

Penyakit apakah itu?

Tengah mengamati cermin yang menyatu dengan meja, Jenna dikejutkan oleh penampakan pemuda rupawan yang kerap ia lihat sejak pertama merasakan halusinasi berat. Ia mendekat lalu merunduk hingga nyaris pipi mereka bersinggungan.

Kali ini wajahnya terlihat lebih jelas. Iris matanya berwarna hijau berkombinasi coklat terang layaknya daun-daun musim gugur, rambut coklat gelap, kulit putih pucat, hidungnya mancung, dan bibir tipis yang menambah kesan maskulin sekaligus menggoda. Sial, manusia khayalannya sangat sempurna.

"Aku bukan ciptaanmu, melainkan ciptaan Tuhan," ujar sosok itu yang berbicara lugas pada Jenna seperti manusia hidup, bahkan matanya menyala tajam.

Jenna berusaha abaikan pemuda yang kini sudah tidak bisu seperti sebelum-sebelumnya. Ia sebenarnya tidak pernah ada dan hanya muncul di dalam kepalanya.

"Dunia ini penuh misteri, maka tidak semua yang kamu mampu lihat. Namun, orang lain tidak ialah imajinasi semata."

Gadis itu tersentak. Perkataan pemuda tersebut benar. Mungkin saja kondisinya ini berhubungan dengan hal-hal supranatural yang nyata adanya. Akan tetapi, yang berhubungan dengan hal itu biasanya melihat penampakan yang mengerikan saja, sedangkan ia justru melihat penampakan yang rupawan bagai perwujudan Dewa-Dewi Yunani.

"Jangan lupa bahwa alam semesta ini begitu luas, bahkan terlampau luas untuk dapat kamu bayangkan."

Segera setelah sang pemuda berkata demikian, Jenna menoleh ke belakang. Ia memberanikan diri untuk menatap pemuda itu terus terang.

Mata itu, wajah itu yang kerap ia hindari selama setahun terakhir. Tidak sekalipun sosok di hadapannya ia anggap sebagai sesuatu yang nyata.

"Aku tahu kamu tidak bisu, jadi ungkapkan saja isi pikiranmu saat ini."

Dahi Jenna mengerut, jadi maksud pemuda yang entah nyata atau tidak ini, ia harus mengungkapkan betapa gila dirinya.

"Hati-hati dalam bersugesti, Nonaku!" ujar pemuda yang dengan kurang ajarnya kini menampilkan raut mengejek.

Lagi-lagi Jenna dibuat skakmat dan tidak mampu berkata apapun oleh pemuda yang kini mendekatkan wajahnya pada gadis itu yang terduduk kaku. Jantungnya berpacu kencang tak karuan.

Jadi dia ini apa? Mungkinkah masih satu spesies dengan setan?

Tidak mengeluarkan barang sepatah kata, Jenna mengulurkan tangannya pada bahu si pemuda yang jauh lebih tinggi darinya secara refleks. Namun, ia hanya mampu menggapai angin saja. Sontak, Jenna membulatkan mata.

"Belum saatnya." Pemuda bermata hijau itu berkata penuh misteri seraya berupaya menggapai pipi gadis cantik di hadapannya, tapi tidak bisa.

Sedangkan Jenna membeo seperti orang bodoh. "Hah?"

"Kamu terlihat bodoh. Ternyata keluarga sialanmu itu berhasil membohongimu." Pemuda tinggi tersebut tersenyum miring dan Jenna tak mampu menahan ekspresi kagetnya.

Si pemuda memandang Jenna dingin lalu melangkah mundur tatkala gadis itu meletakkan telapak tangannya pada wajah. "Gue tau lo cuma bagian dari diri gue yang lain, kan? Dan gue nggak butuh lo sebagai teman imajinasi gue!"

"Aku memang bagian dari kamu dan kita hampir satu," ucap si pemuda bernetra hijau tenang.

"Kabar buruknya, gue nggak akan pernah ninggalin lo seumur hidup."

Mendengar hal itu, Jenna menyingkirkan tangannya sendiri dari wajah lantas menatap takjub sosok laki-laki muda yang mengukir senyum mengejek, setelahnya ia tertawa merendahkan.

Jenna mengalihkan tatapan pada jendela kamarnya yang tertutup gorden nampak terang disinari matahari pagi karena muak melihat wajah yang menyuguhkan tawa menyebalkan tersebut. Beberapa detik terbuai dalam lamunan kala memandang objek tersebut, seketika tersadar bahwa ia harus berangkat saat ini juga menuju kampus sebelum terlambat.

Menyambar tas dan ponsel yang tergeletak di atas kasur, Jenna mengambil langkah seribu.


ֶָ֢𐚁๋࣭⭑ֶָ֢


"Jangan lupa sarapan nanti!"

"Iya." Jenna tak habis pikir dengan kecerewetan sang kakak yang melebihi ibunya.

"Inget kemaren habis sakit, jangan sampai tau-tau mokad aja."

"Nanti kalau lo mokad, gue takut semua warisan orang tua kita cuma buat gue."

Jenna memanyunkan bibir sebab perkataan sinting Ian.

"Gue tau lo lagi manyun, tapi kalau lo nggak makan, gue teror lo sampai alam baka," ucap Ian melalui ponsel lalu mematikan sambungan mereka sepihak.

Jenna memandang kesal ponselnya dan memandang sekelilingnya berniat membeli makan untuk sarapan sebelum kelas bersama dosen tergalak sejagad raya galaksi alam semesta, yakni Bu Sumiyati dimulai.

Beruntunglah ternyata kelas mata kuliah Hukum Acara Pidana ditunda satu jam karena sang dosen memiliki urusan mendadak yang tidak dapat ditunda dan baru dikabari dua menit sebelum mata kuliah beliau sesuai jadwal. Hebat!

Kasak-kusuk pengunjung kafetaria fakultas ramai. Beragam warna mahasiswa dan mahasiswa bersatu padu. Kafetaria ini berdesain sederhana yang didominasi warna krem dan perabot berwarna coklat kayu klasik. Bau sedap makanan, ketek, dan parfum pengunjung semerbak di penjuru tempat.

Kantin menjadi lebih ramai karena sosok-sosok yang seharusnya tak terlihat melangkah mengikuti sosok yang Jenna ketahui merupakan mahasiswa atau mahasiswa sejurusannya.

Aktivitas sebagai pengamat Jenna terganggu ketika suara seseorang mengejutkannya.

"Jenna, apa kabar?" tanya gadis yang menampilkan raut ceria entah sejak kapan tiba di sebelahnya lalu berjalan hingga mereka berhadapan diikuti makhluk tampan yang tak ingin repot-repot melihat mereka.

Tatkala si gadis menunjukkan wujudnya, Jenna langsung mengetahui siapa gadis itu. Lagipula, siapa gerangan yang tak mengenal Ara—si selebgram perempuan paling terkenal se-fakultas hukum di universitas ini?

"Lo nggak mungkin lupa kan sama gue?" Ara bertanya seraya menyunggingkan senyum miring.

"Nggak mungkin dong," ucap Jenna yang memasang senyum tipis pada gadis itu.

"Bagus."

"Eh, kok lo jadi lebih putih pucat gitu dari terakhir kita ketemu?" tanya Ara dengan tatapan curiga. Ia menyipitkan mata lalu berkata kurang ajar. "Suntik putih, ya?"

Sepersekian detik Jenna membeku. Tidak karena Ia dan gadis menyebalkan di hadapannya menjadi pusat perhatian warga kantin, melainkan perubahan warna kulitnya yang memucat bukan hanya halusinasi semata.

"Ra, gue sebentar lagi mau ulang tahun." Menarik sudut bibir ramah, lantas Jenna mengambil sesuatu dari ransel mininya tergesa, sedangkan Ara menunggu tanpa mau repot memandang Jenna sembari mengernyitkan dahi tak sadar.

Sebelum mengeluarkan benda dari ranselnya, Jenna memutar tutup benda itu agar dapat segera digunakan setelahnya lalu dalam waktu singkat, menggoreskan benda yang mengandung pewarna hitam pekat itu pada pipi kiri Ara.

Ara mematung seperti orang bodoh karena kejadian tersebut begitu cepat dan tiba-tiba. Ia tak sempat memberikan respon saat Jenna berlari meninggalkan kantin.

Hampir semua pengunjung kantin yang melihat mereka berusaha menahan tawa, kecuali sosok pemuda kaukasia yang sejak awal mengamati Jenna dan Ara menampilkan ekspresi datar kini megukir seringaian.

"Menarik seperti biasa."


▶︎ •၊၊||၊|။||||။‌‌‌‌‌၊|• 0:05







༘˚⋆𐙚。⋆𖦹.✧˚










Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro