Episode 3 : best brother
𝚂𝚞𝚊𝚝𝚞 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚔𝚊, 𝚜𝚊𝚗𝚐 𝚙𝚞𝚝𝚛𝚒 𝚖𝚞𝚕𝚊𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚎𝚛𝚋𝚒𝚝𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚎𝚗𝚢𝚞𝚖𝚗𝚢𝚊 𝚔𝚎𝚖𝚋𝚊𝚕𝚒.
▶︎ •၊၊||၊|။||||| 0:03
Hari demi hari telah berlalu. Sekitar seminggu lebih setelah kedatangan sang kakak, Jenna merasa harinya yang biasa-biasa saja menjadi cukup berwarna. Ditambah kehadiran pemuda bernama Jeff membuat suasana hatinya bersemangat.
Suasana ruangan dingin bercat putih itu begitu ramai bagi Jenna, namun tak terlalu ramai bagi semua orang selain dirinya. Hanya ada satu orang yang berbicara. Di dalam sana, terisi perabotan yang berkaitan musik di sisi-sisi ruangan.
"Heh, kesambet baru tau rasa, lo!" seruan lirih seorang pemuda yang duduk di sebelah kanannya memenuhi indra pendengaran Jenna. Sontak, gadis itu mendelik lalu kembali memandang bosan pada Ketua Umum Paduan Suara di universitasnya tengah memaparkan evaluasi untuk latihan malam ini yang berjalan cukup singkat.
"Kalau mau ngobrol silahkan izin keluar dari forum dulu." Sindir si ketua umum tersebut dengan nada tenang dan tanpa mau repot-repot memberikan atensi pada sosok yang dibicarakannya.
Seketika Brian diam tidak berkutik, sedangkan Jenna memutar bola mata malas pada si ketua umum yang kembali berbicara.
Jenna termenung sepanjang acara evaluasi latihan mereka. Diam-diam, ia bersyukur atas ketenangan sementara yang tak hampa ini melanda kehidupannya. Ia bengong hingga baru tersadar tatkala sudah di penghujung acara.
"Buat yang bagian suaranya sopran, tolong lebih dimaksimalin lagi ya latihannya. Tetap semangat, terima kasih dan selamat malam." Entah mengapa Jenna merasa saran ketua umum tersebut ditujukan padanya sebab ia jarang datang latihan dan kurang fokus hari ini.
Latihan paduan suara untuk acara lomba di suatu universitas telah selesai dan para hadirin dipersilahkan pulang.
Segera Brian menarik lengan Jenna keluar dari ruangan tempat mereka berlatih sebelumnya.
"Akhirnya kelar juga, mana kuman satu itu kalau ngomong panjang banget macam periode masa jabatan presiden kita dulu," ujar Brian menggebu-gebu seperti ibu-ibu komplek nyinyir ketika membicarakan tetangganya.
"Bukannya presiden kita yang sekarang juga sama?" Jenna mengikuti tempo pembicaraan Brian.
"Mau mengulang masa lalu atau malah bikin pemerintahan dinasti, ups?!" Gadis itu tertawa diikuti Brian yang berjalan beriringan di sisinya.
Tawa mereka baru mereda saat mendengar suara dehaman pemuda di belakang mereka.
Sontak, mereka menoleh dengan tatapan horor pada pemuda di belakang mereka lalu meringis salah tingkah.
"Eh Pak Ketu, kirain monyet sakti lagi lewat." Brian masih menampilkan deretan giginya yang rapi sebelum akhirnya tersadar akan siapa gerangan pemuda di hadapannya yang melotot tajam, maka secara refleks Brian duduk bersimpuh lalu menyatukan kedua tangan di depan dahi seperti tata krama abdi dalem keraton.
"Mohon ampun Yang Mulia Paduka Raja."
Jenna menghardik Brian terang-terangan melalui tatapan merendahkannya. Seandainya mata bisa berbicara, maka ia akan mengungkapkan betapa bodohnya makhluk yang sepertinya masih ciptaan Tuhan ini sepenuh hati.
Dengan raut sombong dan jumawa, si ketua tersebut berkata, "Akan Raja tampan ini maafkan apabila rakyat jelata seperti kamu dan Jenna menikah besok."
Spontan, Jenna dan Brian menatap datar pemuda yang sedang tertawa terbahak-bahak itu.
"Raja tampan idiw, raja popok kali ah lo!"
ֶָ֢𐚁๋࣭⭑ֶָ֢
"Udah lama gue nggak denger suara lo nyanyi."
Jenna menghentikan langkah sejenak, lantas menatap punggung tegap Ian yang sedang memasak untuk makan malam mereka. Selang beberapa detik, gadis itu mendaratkan bokongnya mulus pada kursi menghadap meja makan.
"Kangen lo sama suara nyanyi gue?" pertanyaan retorik Jenna ajukan seraya tertawa kecil pada sang kakak.
"Kangen banget," tukas Ian disertai tawa pelannya.
"Tumben." Jenna mencebik sebab tak biasanya Ian begitu merindukan suaranya yang bahkan bisa ia dengan mudah dengarkan melalui akun instagram, youtube, dan tiktok miliknya. Di media sosial tersebut, Jenna bersenandung merdu, menyanyikan kembali lagu yang telah populer sebelumnya.
Aroma lezat yang menggugah selera makan siapapun yang berada di ruang makan sekaligus dapur besar dan berdesain mewah tersebut semerbak. Sungguh Jenna tidak pernah meragukan kemampuan Ian dalam memasak.
Tak lama, hidangan yang dinantikan telah datang. Chicken cordon bleu spesial disiapkan perlahan oleh Ian. Netra coklat gelap Jenna berbinar mendapati makanan tersebut terhampar di piring miliknya dan Ian.
"Nyanyi seenggaknya satu lagu buat abang lo yang paling istimewa ini." Ian berbicara sebelum akhirnya mendudukan pantatnya.
Jenna melemparkan tatapan menimbang pada Ian hingga sang kakak nampak merajuk.
Tersenyumlah gadis itu sehingga berkata, "Okay, tapi sebagai gantinya lo harus bikin masakan Korea khusus buat gue besok. Gimana?"
Gadis bermata kecil tersebut mengurai senyuman riang lalu mengulurkan tangan layaknya tengah membuat kesepakatan. Tak perlu menunggu beberapa detik, uluran tangan tersebut disambut oleh pemuda yang menyunggingkan senyum manis di hadapannya.
"Deal."
Ian mulai melahap makanannya, sedangkan sang adik justru mengangkat panggilan video dari seorang pemuda yang diyakininya memiliki kesamaan minat. Secara sembunyi, Ian mencuri pandang pada adiknya yang terlihat cerah.
"Did you miss me, Sir?" Jenna bertanya asal lantas tertawa sebab pertanyaannya yang konyol.
[Apakah kamu merindukanku, Pak?]
Jeff tersenyum simpul. "Bagaimana jika saya memang merindukanmu?"
"Apakah kamu keberatan?" Jeff bertanya tenang seakan pertanyaan yang ia ajukan itu tidak berarti apa-apa.
Tentu Jenna tak mampu berkata keberatan. Namun, sebelum sempat bereaksi, suara seseorang tersedak memecah konsentrasinya. Segera ia menatap pada sumber suara, begitupun Jeff yang memasang tampang penasaran karena tidak sengaja mendengar suara tersebut.
"Buset, keselek biji durian lo?" Sontak Ian membelalak karena pertanyaan ekstrim adiknya tersebut. Sedangkan, Jeff menekan bibirnya lalu menundukkan wajah.
"Nggak apa-apa, cuma ngerasa aneh aja ngeliat bocil gue sendiri kasmaran." Ian berkata santai sembari memasang wajah terharu yang sengaja dibuat lalu mencubit pipi adiknya gemas.
Lalu suara pemuda yang lain secara tiba-tiba menggugah atensinya.
"I'm sorry Jenna, but I have something urge to do suddenly. Um, good night."
[Aku minta maaf Jenna, tapi aku memiliki sesuatu yang mendesak untuk dilakukan mendadak. Um, selamat malam]
Pemuda yang kini menjadi pusat atensinya terlihat tergesa, tapi tidak tahu hanya perasaan Jenna saja atau bagaimana, Jeff menyempatkan tersenyum pada dirinya yang membeku, hingga panggilan video berakhir.
"Gue nggak lagi kasmaran," ucap Jenna datar tanpa menatap sang kakak, lantas menguap karena ia mendadak mulai merasa kelelahan, akan tetapi tetap dipaksakan untuk memasukkan makanan ke dalam tubuhnya.
Ian tertawa singkat lalu beberapa detik setelahnya, pemuda tersebut mengajukan pertanyaan lain yang sanggup membuat gadis di seberangnya mematung hingga refleks menangkap satu sosok pemuda tampan nan pucat yang tak mungkin dilihat sang kakak.
"Lo masih sering liat sosok-sosok aneh nggak?"
Haruskah Jenna menjawab bahwa beragam pengobatan yang ia jalani belum membuahkan hasil?
Kini, memandang sang kakak yang tengah menyuapkan makanan ke dalam mulutnya tidak peduli, Jenna mengetahui betul kalau sebenarnya ia menunggu jawaban gadis itu.
"Masih, tapi lumayan mendingan sih. Seenggaknya nggak sesering kemarin-kemarin." Jenna berkata dibuat setenang mungkin.
Ian menyunggingkan senyum menenangkan. "Anggap aja mereka nggak ada karena eksistensi mereka itu nggak masuk akal dan nggak akan pernah nyata."
Suasana ruang makan itu hening selama beberapa saat.
"Papa dan mama udah nggak sayang aku lagi, ya?" Jenna tiba-tiba bertanya lirih dengan topik acak tanpa menatap sang kakak.
"Mereka setahun terakhir mulai jarang pulang buat ketemu aku, bahkan telepon atau sekadar chat aja hampir nggak pernah lagi," ujar Jenna sedih. Sedangkan, sang kakak hanya terdiam membisu sebab tak mempunyai jawaban pasti.
▶︎ •၊၊||၊|။||||| 0:03
𝄞⨾𓍢ִ໋
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro