Episode 17 : museoun gos
"𝚃𝚘𝚕𝚘𝚗𝚐 𝚔𝚊𝚖𝚒!"
▶︎ •၊၊||၊|။||||။၊|• 0:17
Semula dari suara tawa anak kecil dan para orang tua yang memarahi anak mereka, disusul suara anak muda berbincang hangat lantas beradu dengan suara hewan ternak. Pedesaan ini terdengar damai, namun janggalnya, tidak ada seorang pun di tempat ini.
Suara mereka kian terdengar semakin dekat seakan orang-orang itu berada di luar rumah, akan tetapi tiada siapapun selain Junho dan Jenna. Bahkan, kandang hewan ternak nampak kosong, meski suara mereka semarak.
Junho menatap Jenna lalu mengangguk. Mereka memutuskan untuk mengambil jalan sebaliknya yang tidak harus melewati rumah-rumah ini lebih lanjut. Namun, suara-suara setelahnya yang muncul terdengar begitu mengejutkan sekaligus memekakkan telinga. Niat keduanya pergi tertunda lantas Junho memeluk Jenna erat.
Mereka berjengit kaget kala suara itu, suara barang pecah, tangisan dan teriakan pilu anak-anak serta para orang tua menghiasi pemukiman kosong tersebut. Bunyi senapan yang pelatuknya ditarik mengudara beberapa kali hingga keributan merajalela.
Orang-orang memohon disertai isakan lalu suara dalam Bahasa Jepang menyahut dengan nada yang kasar. Anjing di beberapa rumah menggonggok dan melolong, seolah mengerti bahwa kekacauan telah terjadi.
Yang paling menakutkan adalah ketika suara seseorang pria berkata memelas dengan Bahasa Melayu berlogat Jawa, "Jangan bawa putri kami, Pak, kami mohon."
Diikuti suara wanita dengan Bahasa Jawa yang sepertinya menggunakan varian lebih halus dan sopan. Kurang lebih memiliki arti yang sama dengan ucapan pria tadi.
"Pak, nyuwun pangapunten atas kesalahan kulo dan keluarga kulo."
"Mergane, tolong jangan membawa anak wedhok kulo." Setelah mengucapkan kata demikian, wanita tersebut terdengar menangis terisak. Saat berbicara saja tenggerokannya seolah tercekat.
"Watashi wa kinishinai," tukas seorang pria tanpa berperasaan sama sekali. Nada suaranya terdengar mengejek.
[ Aku tidak peduli ]
Selanjutnya, suara dramatis mulai berputar bagai requiem sendu nan penuh luka. Teriakan dan tangisan penolakan gadis-gadis dan para orang tua bersatu lalu bunyi pelatuk senapan yang ditarik kembali terdengar hingga hening sesaat dan suara lain yang lebih muda meraung.
Jenna tidak mengetahui pasti apa yang terjadi. Kepalanya bersandar pada dada bidang pemuda Korea Selatan ini. Matanya hanya menghadap tubuh Junho. Yang gadis itu ketahui adalah terjadinya kericuhan secara mendadak. Namun, anehnya, Junho yang sepertinya menyaksikan bencana itu tidak mengajaknya berlari atau menjauh, tetapi hanya memeluk Jenna kian erat.
"Apa yang tengah terjadi?" Jenna bertanya lirih.
Sebetulnya, tanpa bertanya, Jenna mengetahui kejadian tragis ini. Ia pernah menonton film fiksi berlatar penjajahan Jepang dan hal ini berarti mengerikan. Para gadis dipaksa menuruti birahi penjajah itu.
Ia ketakutan. Jenna tidak mau berakhir layaknya para korban di masa ini sehingga ia mengeratkan tangannya pada tubuh Junho.
"Aku tidak tahu karena hanya ada suara keributan disini, tapi aku tak melihat apapun."
Jantung Jenna berdegup semakin kencang. Beragam dugaan terburuk bersarang di kepalanya. Sebagian tubuhnya basah karena keringat dingin. Ia memberanikan diri untuk mendongak lalu mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Tidak ada apapun.
"Kita harus lari." Junho berkata tak terbantahkan dan Jenna mengangguk pelan.
Baik Junho, maupun Jenna tidak mengerti mengapa mereka sedari tadi hanya mampu terpaku, padahal bisa saja langsung berlari. Namun, tidak bisa. Ada yang menahan mereka.
Segera mereka berlari ke depan sembari beberapa kali berjengit kaget karena pintu rumah para warga desa mendadak terbuka satu persatu. Pintu yang terbuka menampilkan sosok-sosok orang tua jatuh bersimbah darah lalu tentara Jepang berona pucat dan tatapan kosong menyeret gadis muda yang menggila.
Keseluruhan adegan nampak sama, yang membedakan hanya wajah-wajahnya saja. Tentu, ada yang tidak beres disini dan hal ini tak bisa dijelaskan secara logis.
Junho dan Jenna terus berlari, namun mereka seolah kesulitan untuk keluar dari tempat menyeramkan ini. Kemanapun langkah mereka kini, hanya menemukan mayat berlumuran darah dan manusia rusuh bergerak dengan raut kosong.
Langkah mereka terhenti ketika Jenna menyadari Junho tertinggal jauh di belakangnya. Ia menoleh dan tercengang saat sesosok pemuda lokal yang nyaris putus kepalanya disertai darah mengucur, menggenang di jalan meraih kaki Junho sehingga pemuda Asia Timur itu kesulitan berlari.
Jenna melirik sekelilingnya yang terlihat masih bergerak. Mereka terdiam membisu—menjadikan ia dan Junho sebagai pusat perhatian. Kaki gadis itu tremor, ia berusaha menjaga keseimbangan emosi serta tubuhnya.
"Tolong kami!" ucap pemuda dengan kepala hampir putus yang seharusnya sudah tak bernyawa di hadapan Junho. Ia menunduk hingga lengkungan lehernya membentuk sudut dan dagingnya terlihat.
Junho meneguk ludah, ia menatap Jenna yang mematung di tempat. Gadis itu tidak mengeluarkan reaksi apapun hingga pria tua yang tergeletak di depan pintu rumahnya bangkit lantas menghampiri Jenna.
Orang tua itu berwajah pucat serta cairan pekat darah disertai belatung dan cacing tak berhenti keluar dari dada kirinya sampai kemeja putih lusuh yang dikenakannya basah penuh noda merah pekat berbau amis nan busuk. Jenna hampir berteriak ketika pria baya tersebut menawarkan sesuatu.
"Apakah kalian memerlukan sesuatu?" Jenna refleks menggeleng kaku.
"Jangan sungkan." Pria itu berbicara ramah menggunakan logat bahasa daerah setempat dan ia terlihat mengejang sesaat lalu melanjutkan, "Kami pasti akan berusaha menyediakan apapun..."
"Tidak!" Jenna membelalakkan mata saat merasa takut salah menjawab.
"Um, tidak maksudku, terima kasih, Pak." Gadis itu bergetar saat mengucapkan kata demi kata tersebut.
"Aku dan temanku hanya ingin keluar dari tempat ini," ujar Junho tegas. Tatapannya yang tajam seolah hendak menghunus siapapun yang ada di hadapannya.
Seketika, Junho menjadi pusat perhatian hingga keberadaan Jenna diabaikan oleh sosok-sosok mengerikan di sekitar mereka. Diam-diam, tanpa ada yang menyadari, ia berkomat-kamit—menggumamkan rentetan kalimat doa memohon ampun dan pengusir roh jahat yang diajarkan pemuka agama di suatu rumah ibadah dulu.
Gadis itu tak begitu mengingat persis dan lengkapnya doa tersebut, tapi ia tetap mencoba.
Perlahan, suara-suara lolongan kesakitan mengudara lalu senapan yang pelatuknya ditarik membabi buta. Jenna yang menyadari situasinya kian terpojok, mengepalkan tangan seraya mencoba berkomunikasi dengan Junho melewati tatapan. Gadis itu tidak mau mengeluarkan sepatah kata agar konsentrasi berdoanya tidak terganggu.
Junho tertegun kala makhluk sekelilingnya tampak kacau. Mereka berlari seperti tengah berusaha menyelamatkan diri dari badai. Mereka berteriak dan yang tidak kalah mengerikan adalah kulit mereka yang masih tersisa melepuh sampai meleleh—mengeluarkan asap berbau busuk.
Telinga pemuda berwajah oriental itu kian berdengung. Kepalanya terasa pusing hingga tak sadar kalau Jenna membopong tubuh jangkungnya kemudian mengajaknya berjalan dengan langkah pelan.
Keduanya menyusuri jalan setapak yang tidak tahu akan membawa kemana tujuan perjalanan mereka.
Junho dan Jenna memusatkan atensi hanya pada jalan yang mereka lalui, meski diganggu makhluk-makhluk horor yang nampak terbakar.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Junho dan Jenna menghela napas lega saat keduanya tiba di hutan. Mereka berhasil keluar dari tempat terkutuk tersebut.
Jenna tampak lelah lantas ia mendudukkan pantatnya pada tanah lembab seraya terengah. Sungguh tidak pernah sedikitpun ia menduga kejadian sepersekian menit yang lalu benar-benar nyata.
Gadis itu mencuri pandang ke arah Junho yang terlihat linglung. Pemuda tersebut semula lemas dan kini begitu cepatnya, ia tampak sehat sehingga mampu berdiri tegak.
Junho hendak membalikkan badan, namun Jenna menginterupsi keinginannya.
"Jangan menoleh ke belakang."
Seolah kesadarannya telah kembali, Junho menaikkan sebelah alisnya. "Mengapa?"
"Pokoknya jangan!"
"Aku hanya pernah mendengar perkataan seseorang yang mengaku berkerabat dengan paranormal, kalau kita tidak boleh menoleh lagi ke belakang barang satu kali ketika tengah melarikan diri dari makhluk supranatural." Jenna bercerita tak acuh. Mulanya, ia tidak percaya pada mistis sama sekali hingga menyaksikannya sendiri. Ternyata wejangan aneh sahabat lelakinya itu bisa berguna juga.
"Oh, baiklah." Junho mengagguk sok paham lalu duduk bersandar pada pohon bertangkai besar di belakang tubuhnya.
Jenna tertawa kecil tatkala sepasang matanya bertemu milik Junho. "Aku tahu kamu tak terlalu memahami perkataanku barusan."
"Tidak masuk akal memang, tapi untuk seseorang yang awam tentang mistis, alangkah lebih baiknya kita menuruti perkataan mereka yang lebih mengerti."
▶︎ •၊၊||၊|။||||။၊|• 0:17
𝚖𝚞𝚜𝚎𝚘𝚞𝚗 𝚐𝚘𝚜 : tempat menakutkan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro