Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Episode 15 : nappeun sanghwang


"𝙺𝚊𝚖𝚞 𝚙𝚒𝚗𝚝𝚊𝚛 𝚍𝚊𝚕𝚊𝚖 𝚑𝚊𝚕 𝚒𝚗𝚒, 𝚝𝚊𝚙𝚒 𝚋𝚘𝚍𝚘𝚑 𝚍𝚊𝚕𝚊𝚖 𝚖𝚎𝚖𝚋𝚊𝚌𝚊 𝚜𝚒𝚝𝚞𝚊𝚜𝚒."


▶︎ •၊၊||၊|။||||။‌‌‌‌‌၊|• 0:15


Oktober, 1943

Desir angin berhembus menyejukkan. Di antara pepohonan dan tanah berumput, dua insan berada di jarak yang saling berdekatan. Nampak sang pemuda tengah berpikir keras, begitupun gadis di hadapannya.

Mendadak sang pemuda mulai melepaskan pakaiannya hingga gadis di hadapannya menatap pemuda itu tercengang. Namun, pemikiran tak pantas segera ditepisnya sebab ia menangkap noda darah di pakaian pemuda itu.

Terpampanglah tubuh bidang dan atletis si pemuda yang sempurna. Ia tentu sudah ditempa dan terlatih sedemikian rupa sehingga bentuk tubuhnya menjadi seperti ini.

Ada yang aneh. Sebelumnya baik Jenna maupun pemuda itu melihat noda darah yang berukuran besar melekat di pakaiannya. Tatapan mereka bertemu dan mereka mengetahui apa yang dipikirkan masing-masing di antara mereka.

"Jadi, itu darah siapa?" tanya Jenna retoris. Ia tahu pemuda itu tidak akan menjawab pertanyaannya dan kalaupun dijawab, ia tak akan mengerti.

Sang pemuda menatap Jenna seraya merenung.

Mengapa bisa seperti ini?

Ia seharusnya sudah mati jika lukanya tak diobati.

"Nahante mwonga munjega iss-eo." Pemuda di hadapannya berujar pelan. Ia terlihat mengerutkan dahinya beberapa kali lantas mengenakan kembali pakaiannya.

[ Ada sesuatu di diriku yang salah. ]

"Hajiman gajang jung-yohan geon nae chong-eul chajneun geoya."

[ Tapi yang paling penting adalah menemukan senjataku. ]

Demi Tuhan, Jenna tidak mengerti maksud pemuda tersebut sama sekali. Seandainya kata-kata dalam Bahasa Korea Selatan yang ia ucapkan hanya seputar annyeonghaseo, sarangheo, yeoboseo, dan gwenchana, maka Jenna akan mengerti.

Dari sekian banyaknya drama Korea yang telah gadis itu tonton, hanya kata-kata itu yang mampu diingatnya. Jenna meringis.

"Ada apa?"

Jenna membelalakkan mata. Ia memandang pemuda di hadapannya seolah pemuda tersebut merupakan alien yang datang untuk menguasai bumi.

Apa tadi pemuda itu berbicara menggunakan Bahasa Indonesia?

"Kamu bisa berbicara Bahasa Indonesia?" Jenna bertanya takjub.

"Um ... Bahasa Melayu maksudmu?" ujar pemuda berona kuning langsat tersebut tidak yakin. Ia masih meninggalkan logat Korea Selatan pada saat berbicara menggunakan Bahasa Indonesia. Jenna terdiam setelah mendengar pertanyaan lelaki muda itu lalu mengangguk saja tanpa pertentangan.

Ia lupa kalau zaman ini, Indonesia belum merdeka.

"Aku berusaha belajar lebih banyak."

Jenna menyipitkan mata kesal. Kenapa tidak sejak awal saja ia berbicara dengan Bahasa Indonesia? Gadis itu merasa gemas hingga ingin mencubit ginjal pemuda aneh itu.

"Kenapa nggak daritadi sih, kocak?!"

"Aku malas berpikir sebelum berbicara dan—" pemuda di hadapan Jenna menjeda sejenak perkataannya, sebelum kembali berbicara dengan malas, "kamu juga tidak sepenuhnya menggunakan Bahasa Melayu."

Walaupun, terdapat beberapa kata yang tidak mampu dipahami pemuda tersebut, ia sedikit mengerti maksud gadis di hadapannya.

Jenna menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Ah, maaf."

Gadis berparas cantik itu mengulurkan tangannya pada sang pemuda. "Namaku Jenna Kayana. Panggil aku, Jenna."

Sang pemuda menatap uluran tangan Jenna lalu wajah gadis itu bergantian, kemudian ia menyambutnya. "Lee Jun-ho. Kamu bisa memanggilku Junho."

"Senang bertemu denganmu, Junho." Jenna berkata canggung. Ia menyadari kalau tingkahnya semula konyol, apalagi bahasa yang dipakainya.

Pemuda bernama Junho itu menatap Jenna bingung.

Apa dia tengah dirasuki?

Hendak berbicara, namun diurungkan ketika indra pendengarannya menangkap sesuatu.

Di hutan belantara biasanya sunyi, meski siang telah tiba. Gemerisik dedaunan diterpa angin begitu semarak dan suara-suara serangga khas hutan turut menghiasi. Sehingga, jika suara asing seperti langkah kaki yang berisik karena menginjak daun gugur dan bersinggungan dengan tanaman berbatang pendek di antara suara-suara tersebut akan terdengar jelas.

Jenna menuntut jawaban melalui mata pada pemuda di hadapannya yang segera meletakkan telunjuk di bibir. Meminta sang gadis untuk tidak mengeluarkan suara sedikitpun.

Sama seperti Junho, Jenna juga mulai mendengar suara tapak kaki mendekat. Kepanikan menjalari sekujur pikirannya lantas Junho bergerak ke arahnya perlahan.

Hanya terpisah lima jengkal, wajah keduanya saling berdekatan. Mata mereka bersinggungan dan Junho memasang ekspresi yang entah bagaimana mampu meyakinkan Jenna untuk meredakan rasa paniknya.

"Hana, dul, set ..." Junho nampak menghitung lalu memberi isyarat kepada Jenna melalui lirikan mata.

"Lari!" Junho memaksakan diri untuk berlari kencang, meski masih terasa lemas diikuti Jenna di belakangnya dan benar dugaan mereka, langkah kaki tersebut mendekat ke arah keduanya.

Tak lama, suara pelatuk senapan yang dilepaskan terdengar dan peluru sepertinya sudah menghantam sesuatu. Untungnya, baik Junho maupun Jenna tidak terluka.

Setelah mengetahui orang-orang yang mengejar mereka membawa senapan, Junho segera menggenggam tangan Jenna dan menariknya untuk bersembunyi di balik pohon besar yang kebetulan ada di dekat mereka.

Suara tembakan kembali semarak.

Junho meneliti sekelilingnya seraya berpikir perihal taktik selanjutnya agar bisa lolos dari para keparat itu. Matanya berbinar kala menangkap bebatuan di permukaan tanah.

Batu-batu dengan beragam ukuran itu diambil Junho dan diberikan kepada Jenna yang langsung mengerti apa yang akan pemuda itu lakukan. Junho mengambil dua dari kumpulan batu yang digenggam Jenna lalu melemparkannya sejauh mungkin ke arah kanan mereka. Hal itu ia lakukan hingga beberapa kali dan suara yang dikeluarkan senapan-senapan millik mereka tak mengarah pada Junho dan Jenna.

Beberapa saat kemudian, mereka berlari ke arah sebaliknya hati-hati agar tak menimbulkan suara.

Saat di perjalanan, tidak sengaja Jenna tersandung sesuatu dan tersungkur. Ia mengaduh kesakitan, sementara pemuda yang semula berlari bersamanya justru mengambil senapan laras panjang dan katana yang diketahui ternyata milik Junho lalu mengusapnya penuh perhatian.

"Syukurlah, kamu tidak apa-apa." Junho mengarahkan kata-kata itu pada senjata miliknya yang baru ditemukan dan Jenna hanya bisa melongo melihatnya.

"Perhatikan cara jalanmu agar tak merusak senapanku!" ucap Junho dengan santai sembari meletakkan katana miliknya di sabuk dan memanggul senapan laras panjang di bahu layaknya ransel.

"Ayo!" Junho mengajak Jenna yang mulai emosi tanpa melihat ke arah gadis itu, bahkan dengan santainya melangkah melewati Jenna yang masih terduduk di atas tanah.

Pasti tidak akan pernah ada gadis waras dan sehat yang mau bersanding dengan makhluk itu.


ֶָ֢𐚁๋࣭⭑ֶָ֢


Pelarian Junho dan Jenna hampir dikatakan berhasil. Mereka kini telah menemukan pemukiman warga kampung di tengah hutan yang sepi.

Jenna mendekat ke arah sana, namun lengannya ditahan pemuda yang berlari di belakangnya. Gadis itu menoleh dengan tatapan tak mengerti.

"Kita bisa bersembunyi di rumah warga kampung." Jenna berkata polos seolah pemuda yang bersamanya sejak tadi hanya pribumi biasa.

Junho tersenyum miring pada Jenna yang mengerjap-ngerjapkan mata. "Aku ini tentara Nippon kalau kamu lupa."

Jenna menatap wajah pemuda itu lalu menoleh pada pemukiman warga yang ingin ditujunya.

"Tapi kamu orang Korea Selatan, bukan Nippon."

Jenna berkata dengan bodohnya di hadapan Junho yang memijat kepalanya pelan.

"Kamu melihat aku memakai seragam tentara Nippon."

"Dan maksudmu bagian Selatan Korea? Hei, kamu mampu menebak tanah kelahiranku dengan mudah. Gadis pintar." Junho berkata takjub seraya mengacak surai hitam Jenna. Ia sungguh memuji wawasan gadis di hadapannya.

Junho bertanya-tanya perihal sudah berapa banyak buku yang gadis itu baca.

Tersenyum bangga, yang pemuda itu tidak ketahui ialah semua orang tahu logat orang Korea Selatan di masa modern. Jadi, pengetahuan yang satu ini sebenarnya bukan apa-apa.

"Kamu pintar dalam hal ini, tapi bodoh dalam membaca situasi." 


▶︎ •၊၊||၊|။||||။‌‌‌‌‌၊|• 0:15







𝙽𝚊𝚙𝚙𝚎𝚞𝚗 𝚜𝚊𝚗𝚐𝚑𝚠𝚊𝚗𝚐 : situasi buruk








Hai gais! Nggak akan bosen, aku mau ingetin kalian yang udah mampir kalau cerita ini hanya fiksi ya. Seluruh karakter dan latar tempat atau sejarah disini nggak benar-benar nyata dan hanya terinspirasi aja. Aku nggak pernah bikin cerita ini berdasarkan kisah nyata atau sejarah yang seratus persen akurat. Tolong, maafkan penulis kalau misal kalian merasa latar sejarah yang ditulis cerita ini nggak sesuai sama sejarah yang ada.

── .✦Vera










Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro