Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sixth Harmony-Hear, our Friendship

"Um... jadi, kau serius?"

Fuyumi yang sedang sibuk menekan not-not piano secara acak pun menoleh, menatapku dengan alis terangkat sebelah. "Tentang apa?"

Rasanya ingin sekali kuberteriak dan memakinya, tapi mengingat jam kegiatan klub sedang berlangsung, akupun membatalkan niatku. Pada akhirnya, aku hanya mendengus kasar. Jelas sekali, mood-ku sangat buruk siang ini. Bagaimana tidak? Gadis ini―Otosaka Fuyumi―langsung menghampiri mejaku setelah kegiatan belajar mengajar berakhir. Dia menyeretku―dalam arti sebenarnya―memasuki ruang musik dan memaksaku untuk bergabung dengan klub musik yang nyaris dibubarkan. Aku tidak masalah bergabung, tapi mengingat bagaimama caranya mengajakku bergabung itu benar-benar tidak sopan, jadi hal ini merusak mood-ku.

Yah, mungkin tidak juga.

Jika aku mengingat caranya membelaku saat anak-anak di kelas mulai mencerca diriku, aku benar-benar tersentuh.

Tapi, aku tetap saja merasa kesal. Diluar penampilannya yang terlihat cuek dan misterius, gadis ini justru memiliki pribadi yang menyebalkan.

"Aku bercanda," perkataan gadis itu membuatku sontak menghentakkan kepalaku. Ingin rasanya aku menghantamkan kepalaku ke dinding ruangan, tapi aku tidak ingin amnesia. "Hum... bagaimana ya?" Fuyumi melirikku sekilas, sebelum akhirnya kembali fokus kepada pianonya. "Kalau menurutmu bagaimana?"

Aku berdecak kesal. Aku tahu dia sedang mempermainkanku, jika dilihat dari warna yang terlihat dari suaranya.

Kuning, dia sedang senang. Itu bisa menjadi kemungkinan jika dia bahagia membuatku penasaran setengah mati.

"Mana kutahu!" seruku kesal. "Aku tidak bisa membaca pikiran, tahu!"

Fuyumi mengacuhkan omelanku, matanya terkunci pada deretan not putih piano yang membisu di hadapannya. Jemari-jemari lentik gadis itu menekan satu not, kemudian disusul dengan not-not lainnya hingga menghasilkan melodi dan warna yang indah.

Aku sempat terkesima. Warna-warna yang keluar dari alunan musik piano tersebut sangat beragam dan tidak berpusat kepada satu warna. Ada merah yang menandakan emosi. Ada juga biru yang begitu tenang. Ada juga kuning yang melambangkan semangat dan penuh gairah. Dan juga merah muda yang mewakili cinta.

Aku tercekat. Otosaka Fuyumi pasti sangat mencintai musik. Aku dapat melihat dari ekspresi dan tatapannya, juga dari para warna.

Dentingan terakhir dari alunan musik telah ditekan oleh jari Fuyumi, mengakhiri musik indah tersebut. Matanya terpejam sesaat, sebelum akhirnya kembali terbuka dan menatapku. "Ini kiss in the rain."

"Eh?"

Gadis itu tersenyum, "judul lagu yang kumainkan tadi adalah kiss in the rain. Bagus bukan?"

Senyum yang merekah di wajah Fuyumi terlihat menawan. Sekilas, dia tampak bahagia memainkan lagi tersebut. Fuyumi memang pribadi yang periang, jika dilihat dari warna yang selalu muncul di suaranya, yaitu kuning. Tapi, warna tidak pernah berbohong. Ada kesedihan disela kebahagiaan palsu yang dia ciptakan.

Entah mengapa, hatiku sedikit memar. Aku seperti sedang menatap cerminan diriku sendiri di dalam diri Fuyumi.

"Tentang omonganku kemarin," Fuyumi beranjak berdiri, merenggangkan otot-otot tangannya. "Aku serius, kok!"

Aku memiringkan kecil wajahku. "Itu mengapa kau bertindak nekat tadi pagi?"

"Nekat? Tidak juga," gadis itu meraih tasnya yang tergeletak di sudut ruangan, "bukankah itu tugas sebagai seorang sahabat?"

"Tapi," aku menggigit bibir bawahku, "bagaimana jika mereka membicarakanmu dan menggosipi hal yang tidak benar kepadamu? Bagaimana jika kau dikucilkan?"

Fuyumi mengendikkan kedua bahunya, cuek. "Aku tidak peduli." Dia menggeser pintu ruang musik dan mengeluarkan kunci dari dalam saku blazer-nya. "Memiliki satu orang sahabat lebih berarti dari seribu orang teman bukan? Lebih baik menangisi suka duka bersama sahabat dibanding tertawa bersama seribu teman palsu."

Aku meraih tas dan menyelempangkannya ke tubuhku. Aku melangkah keluar ruangan musik, disusul Fuyumi yang tengah sibuk mengunci pintu dan memastikan jika sudah benar-benar terkunci. "Kurasa kau benar."

Kami berdua berjalan beriringan keluar dari bangunan sekolah menuju halte bus. "Seharusnya kita bersyukur," celetuk Fuyumi yang sukses membuat dahiku berlipat tujuh.

"Untuk?"

"Kau masih bertanya?" Gadis itu duduk di salah satu kursi panjanh halte, menunggu sebuah bus datang. "Kita patut bersyukur, di saat mereka semua memikirkan semua kekurangan kita dan kita sedang fokus memperbaiki kekurangan kita. Berarti mereka yang suka membicarakan kita itu peduli dengan kita bukan? Mereka sangat detail melihat kekurangan-kekurangan kita, sedangkan kita sama sekali tidak peduli dengan kekurangan mereka."

Di luar dugaan, aku tertawa lepas. "Kau lucu."

"Aku tahu," ujarnya dengan nada sedikit sombong. "Banyak yang bilang begitu."

"Eh? Tapi anak-anak di kelas bilang bahwa kau itu psikopat yang suka menyakiti hewan."

"Dan kau percaya?" Gadis itu menghampiri seekor anak kucing yang sedang bergelung dan mengkur lembut di kolong kursi halte. Tangannya mengelus lembut tengkuk kucing tersebut. "Yang sebenarnya psikopat dan hobi menyakiti hewan itu mereka tahu! Orang waras mana yang tega merusak sarang burung dengan ketapel hingga membuat sayap seekor burung patah?" Dia menggeram kesal, namun beberapa detik setelahnya, gadis itu hanya menghela napas pelan. "Ah sudahlah, manusia semacam itu memang tidak ada yang benar otaknya. Mereka menilai orang tanpa bercermin terlebih dahulu. Sepertinya kapan-kapan aku harus membelikan mereka cermin agar bica mengaca."

Lagi-lagi aku tertawa. Fuyumi sangat menyenangkan. Terlepas dari sifatnya yang menyebalkan dan cuek, dia sangat penyayang dan menyenangkan. Hal tersebut yang membuatku nyaman bersama Fuyumi.

Terdengar deruman bus dari kejauhan. Aku memicingkan mataku hingga bus tersebut terparkir di depan halte. Itu bukan bus yang kugunakan.

"Ups, bus tujuanku sudah sampai." Fuyumi melambaikan tangannya padaku. "Aku duluan ya, Yuki!"

Aku mengangguk dan balas melambaikan tangan. "Hati-hati, Fuyumi."

Setelah gadis itu naik ke dalam bus dan bus tersebut kembali berlalu, aku masih tetap tersenyum lebar.

Senang? Sangat.

Ini kali pertamanya aku memiliki teman yang sangat tulus terhadapku, dan aku sangat menikmati waktu-waktuku bersama Fuyumi.

Fuyumi, teman pertamaku.

Eh, tunggu. Apakah Shiro termasuk temanku? Jika iya, dia adalah teman laki-laki pertamaku.

Tapi, Shiro belum mengonfirmasi hal tersebut, bukan?

Aku terlalu sibuk berpikir hingga tak menyadari ada seorang lelaki yang menepuk pelan bahuku.

"Um, permisi?"

Aku menoleh, dan mendapati seorang lelaki yang sepertinya seumuran denganku dengan seragam yang cukup aneh di sana. Maksudku, manusia mana di abad 21 yang memakai jersey hitam dengan kacamata transparan berwarna biru? Tapi, mungkin saja itu tren baru pakaian kekinian jaman sekarang. "Eh, iya?"

Dia mengelus tengkuknya. "Err... apa kau tahu dimana letak kantor pusat?"

"Kantor... apa?" Keningku berlipat, menatapnya dengan penuh tanda tanya.

Dia terlihat ragu, "kantor pusat, apa kau tahu? Itu, yang seperti tempat penjagaan."

"Apakah maksudmu kantor polisi?"

Aku menoleh, itu jelas bukan suaraku, apalagi suara lelaki di hadapanku. Seorang gadis berambut hitam sepinggul berdiri di sana dengan tatapan hangat.

"Ah, mungkin itu," sahut lelaki tersebut.

"Ah," sesuatu baru saja terlintas di benakku. "Kau hanya perlu lurus dan mengikuti jalan besar ini. Saat sampai pertigaan, kau berbelok kanan. Di sana ada kantor polisi tepat di sebelah stasiun."

Lelaki itu tersenyum menatapku dan gadis asing itu secara bergantian. "Terima kasih. Ah, pertama-tama, maaf telat tapi perkenalkan, namaku Hikaru." Lelaki bernama Hikaru itu menunduk pelan kepada kami.

"Salam kenal, aku Sakura," balas gadis itu disusul dengan tundukan kepalanya.

"A-Ah, namaku Yuki." Entah mengapa, kami justru saling berkenalan dengan nama depan kami tanpa menyebut sama keluarga. "Salam kenal."

Hikaru tersenyum, "baiklah, terima kasih ya. Aku duluan."

Setelah Hikaru berpamitan, dia pergi berlalu menuju kantor polisi entah untuk tujuan apa.

Sakura menatapku hangat, "kau sedang menunggu bus?"

Aku mengangguk pelan. "Iya."

Kami duduk bersama di bawah halte bus. Matahari begitu terik padahal waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Dulu ibu selalu bilang tidak boleh berkenalan dengan orang asing, tapi aku justru berkenalan dengan Sakura dan Hikaru. Entahlah, mungkin karena dari warna suara mereka, mereka sama sekali tidak mencurigakan.

Tapi mungkin saja, perkataanku itu hanya berlaku untuk beberapa menit. Mataku tertumbuk pada Sakura yang sedang berjongkok di atas lantai semen halte. Tangannya mengelus tengkuk kucing tersebut. Sekilas, dia terlihat biasa saja. Tapi, aku memicingkan mataku. Ada warna suara samar yang keluar dari mulutnya―yang mengartikan jika dia sedang berbicara.

Aku mencoba mengabaikannya. Maksudku, orang waras mana yang berbicara kepada kucing?

Sungguh, Hikaru dengan pakaian anehnya dan Sakura yang berbicara dengan kucing. Ada apa dengan hari ini?

Terdengar deruman bus dari kejauhan dan aku menghela napas lega karena itu adalah bus tujuanku. Dengan ragu, aku menoleh kepada Sakura yang kini sedang asyik berbincang dengan err... tanaman?

"Um Sakura," panggilku pelan. "Aku duluan ya?"

Gadis itu tampak panik sesaat, sebelum akhirnya mengangguk dan tersenyum canggung. "Eh, iya. Hati-hati ya!"

Aku mengangguk dan menaiki bus dengan ribuan pertanyaan bertumbuk di otakku.

Ada apa dengan hari ini?

***TBC***

A/N

Eh, konfliknya belom mulai hehe.

Apa ada yang ngira kalau Sakura bakal jadi pelakornya Yuki dan Hikaru jadi saingannya Shiro?

Maaf, kalian salah besar.

Enggak, Sakura dan Hikaru memang jadi temen Yuki, tapi dia nggak ada sangkut pautnya sama cerita.

KARENA SAKURA DAN HIKARU ADALAH TOKOH UTAMA DI SERI WORLD MIRACLE BERIKUTNYA HEHE.

Jadi tenang aja manteman, mereka punya kisah tersendiri kok

Jadi, stay tune yak!

Adios~

Big Luv, Vara
🐣🐤🐥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro