Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 2 : Permulaan

Burung berkicau, menyambut pagi yang cerah di sebuah desa. Seorang pemuda dengan lincahnya berlari dengan sebuah handuk tersampang di bahunya. Nafasnya menderu berusaha menjaga keseimbangan disetiap langkahnya agar tidak tersungkur terjatuh.

Satu menit dia berlari. Pemuda itu berhenti di depan sebuah toilet umum yang sedang dikerumuni beberapa orang yang berbaris dengan rapi. Pemuda iu mendengus, dia menghentak-hentakkan kakinya ke tanah yang becek karena hujan lebat mengguyur desa itu semalaman. Dia bahkan tidak sadar, jika tindakannya yang konyol itu menyedot perhatian beberapa orang yang mengantri.

Seorang laki-laki seumuran mendekat. "Telat lagi kau, Yan?" tanyanya dengan tatapan sinis.

Laki-laki yang sudah berpakaian rapi itu geleng-geleng kepala di depan temannya yang hanya menyengir kuda.

"Bukan Yayan kalau gak telat ...." Seorang pemuda lagi mendekat, menepuk pelan pundak temannya yang berambut ikal itu.

Yayan sekarang hanya terdiam, dia berusaha menyembunyikan wajah malunya pada semua orang. Hampir setiap hari dia menjadi bahan obrolan karena selalu terlambat mengantri di toilet umum untuk mandi. Bagaimana tidak? Desa itu sangat kekurangan air, hanya beberapa yang bisa menghasilkan mata air jernih, salah satunya toilet ini yang sekarang dijadikan masyarakat sebagai tempat pemandian umum.

"Ijinin telat ke dosen, yak!" Yayan akhirnya buka suara dengan memohon pada kedua temannya itu.

"Alasan apa lagi yang harus kami sampaikan, Yan? Motor rusak? Pulang kampong? Sakit? Atau perbaiki keran lagi?" Keduanya tertawa membuat Yayan menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.

"Ana mohon Jo ...." Yayan lagi memohon.

"Eh, Yan. Ana tau Antum pinter, IP 4 terus. Tapi, tetep harus taat aturan dong .... Jan dibao juo sifek urang Minang nan pamaleh tu ...." Sekali lagi mereka tertawa, membuat Yayan yang tadinya tersenyum memohon berubah wajahnya menjadi masam.

"Okelah Yan. Kita Jodi, dan Tama yang baik bakal ijinin," ucap Tama membuat Yayan sedikit lega.

"Dah! Masuk, giliran kau tuh," lanjut Jodi.

Yayan bergegas memasuki toilet yang sudah kosong. Sementara itu, Jodi dan Tama kembali fokus untuk menuju kampus mereka. Di mana mereka menuntut ilmu bersama, satu jurusan membuat anak-anak ini dekat dan memilih tempat tinggal yang sama. Berbeda dengan Yayan yang lebih memilih menjadi Garim di dalah satu Masjid di Bukittinggi itu.

Namun tetap saja, menjadi seorang tidak membuat seorang Yayan rajin dan tidak bermalas-malasan. Dia memang bangun untuk Adzan dan menjadi Imam di Masjid itu, tapi dia selalu saja berlambat-lambat ke kampus. Baginya, semuanya bisa dilakukan dengan santai.

"Peluklah erat jiwaku, Mama ... yang terluka dipecundangi dunia ... ha—"

"Yayan cepat! Antrian masih panjang!"

Teriakan itu membuat nyanyian dari dalam toilet berhenti. Terdengar grasak-grusuk dan bisik orang-orang yang mengumpat pada anak muda semester tiga itu. Dia selalu saja melakukan sesuatu dengan lambat tanpa memikirkan oranglain yang tersiksa karenanya.

Pintu toilet terbuka, menampakkan sesosok pemuda tinggi dengan rambut hitam yang sedikit ikal. Dia tersenyum pada semua pengantri kemudian bersiul santai ke arah masjidnya. Tentu saja dia dibalas tatapan jengkel oleh orang-orang sekitar. Meskipun demikian, dia tetap menjadi kesayangan penduduk karena sifatnya yang suka menolong. Apalagi, dia punya suara yang bagus dan bisa mengumandangkan adzan dengan sangat bagus.

"Pak, ini kunci Masjid, saya mau ke kampus dulu, Pak."

Yayan izin seraya memberikan kunci masjid pada seorang bapak tua yang duduk di atas kursi roda. Di belakangnya ada seorang wanita yang sudah mulai keriput tersenyum padanya. Mereka pendiri masjid dan yang menjaga masjid sebelum Yayan datang dan menjadi Garim di sana.

Keberuntungan mungkin ada di pihaknya saat itu, Yayan bisa menempati masjid itu karena teman ayahnya yang kenal dengan bapak itu. Jadi, saat masjid sudah kosong dan tak ada Garim yang mengurusnya, Yayan datang dan menempati posisi itu.

Motor Yayan sudah melaju membelah jalanan pagi yang selalu ramai. Berbeda dengan tempat dia tinggal yang agak sepi. Kota Bukittinggi sangat ramai di pagi siang atau sore hari, bahkan juga malam. Wajar saja karena kota itu menjadi jalur lalu lintas dan juga kota wisata.

Yayan kuliah di sana. Salah satu Universitas di Bukittinggi. IAIN Bukittinggi. Begitu orang menyebut tempat kuliahnya, sebuah kampus Islam yang banyak jurusan agamanya. Di sanalah Yayan menuntut ilmu.

Dia sudah memarkirkan motornya dan berjalan ke arah ruangan kelasnya. Bangunan di sini lumayan banyak, dan tiap bangunan bertingkat. Walaupun bertingkat dan banyak bangunan, tidak membuat kampus itu gersang. Tetap saja di sisi kira dan kanan ada hamparan rumput luas, bahkan juga persawahan. Pepohonan hijau tumbuh di tiap celah antar gedung yang berwarna hijau.

Sebuah masjid berdiri di tengah kumpulan bangunan bertingkat lainnya. Masjid dengan kubah hijau dan sedikit polesan warna kuning emas itu benar-benar terlihat menawan di bawah terpaan cahaya matahari pagi. Sebuah kampus yang asri dan idaman semua orang.

"Cya ... gak jadi telat, Yan?" Jodi menyapa Yayan dengan cengiran khasnya.

Yayan menyipitkan matanya dan mentap Jodi tajam. "Yayan yang beruntung," ujarnya singkat.

"Uek ...." Tama dan Jodi berujar bersamaan, mereka menirukan seorang yang ingin muntah di tempat.

"Dih, biasa aja," ucap Yayan ketus.

Mereka tertawa bersama, lelucon pagi seperti biasa, dan obrolan berlanjut pada kisah lain, seperti materi Filsafat yang akan mereka pelajari hari ini ataupun tentang Pemili yang sedang menjadi hot topic semua orang.

"Eh, ada yang denger gosip kalau tentara China buat kantor kepolisian sendiri di Indonesia? Dan ... tentang perusahaan asuransi jiwa yang menggunakan mata uang China di Indonesia?"

Yayan menggeser bangku tempat duduknya. Tertarik.

.

.

.

.

.

"China can make a setting in Indonesia, that was make Indonesia be a—"

Srrrk ....

Ruangan seketika gelap, radio yang dari tadi dihidupkan mati seketika. Seorang gadis dengan hijab dan celana tentara yang dia gunakan terkesiap seketika. Matanya menerawang pemandangan sekitar yang seketika berubah. Permen yang sedari tadi ada di mulutnya segera dia ludahkan hingga pecah berceceran di lantai keramik.

"Ayah?" ucap gadis itu pelan dengan langkah pelannya menuju pintu keluar.

Tak ada sahutan, hanya ada keheningan malam dan suara angin yang berhembus pelan menyibak gorden pintu rumahnya. Seketika ia merinding, gadis itu segera mengapit kedua tangannya di dada dan mengusap kedua telapak tangannya. Suasana begitu mencengkam.

"Laila, semua listrik sudah padam." Suara berat seorang pria membuat gadis itu terperanjat kaget.

Dia menatap sekitar sekali lagi. "Bukan karena kerusakan kabel, Yah?" tanyanya.

Pria itu menggeleng seraya berucap, "Laila, ini saatnya kita pergi ke Sumatera Barat, di sini tak akan aman lagi selama mereka semua masih berkeliaran di luar."

Wajah Laila berubah pucat, dia paham apa maksud dari apa yang dikatakan ayahnya, dia sudah paham apa arti semua yang terjadi pada negaranya saat ini.

"Setidaknya kita tidak di Ibukota, dan beruntung sekali Ibukota sudah dipindahkan ke Kalimantan, kita bisa mencari jalur aman untuk ke Sumatra, berkumpul dengan yang lain."

Laila hanya bisa menutup mulutnya tak percaya. Berangkat ke luar rumah lagi, itu artinya akan ada korban dan pertarungan lagi, itu artinya akan semakin banyak darah yang tertumpah dalam keluarganya. Ibunya, adiknya, sepupunya, semua yang sudah jatuh tersungkur karena tembakan beruntun pasukan bersenjata bermata sipit. Membayangkan saja sudah membuatnya frustasi dan trauma.

Sekejab, dia merasakan sebuah tangan hangat mengelus bahunya. "Tenang saja, semua akan aman sampai kamu bertemu dengan pasukan itu."

Laila terdiam, tak mampu menjawab apa-apa lagi. Ini sama seperti rencana sebelumnya yang memakan korban. Walaupun kabut asap sekarang sudah muncul dan membuat kelompok kecil mereka menjadi lebih unggul, tetap saja dia takut akan hal yang satu itu.

"Kapan kita berangkat?" tanya Laila pada sosok ayah yang selama 21 tahun ada untuknya.

"Malam ini."

Setidaknya rencana itu hanya akan mereka jalankan berdua tanpa yang lain. Karena hanya mereka yang tersisa, kebanyakan penduduk di Cirebon lain sudah dibawa ke kamp warga sipit dan menjadi suruhan dadakan di sana. Sudah pastinya, karena Laila sendiri pernah ke sana dan berhasil kabur berkat bantuan sepupunya. Lagi, sebuah pengorbanan lagi.

.
.

To be continued  ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro