Episode 7 Ketegangan Dimulai
Mrs. Evil turun dari mobil sedan warna kuningnya yang mencolok. Aduh Tuhan, jantungku sudah terasa mau copot. Awalnya dia melihat sekeliling, sementara aku mencoba bersembunyi di balik komputer. Kumohon, jangan lihat aku, jangan lihat aku, jangan lihat aku ....
"Kania? Kamu jaga kasir sekarang?" Suara itu benar-benar membuatku terlonjak. Tanganku berkeringat dingin. Aku menelan ludah gugup.
"Eh, iya, Ma'am."
Mrs. Evil hanya mengangguk lalu berlalu menuju ruangannya. Eh? Beneran gitu aja responnya? Benar-benar terasa lega saat beliau benar-benar masuk ke ruangannya. Aku bahkan sampai merasa lupa caranya bernapas dengan benar, karena begitu Mrs. Evil itu masuk, paru-paruku seakan melesak minta pasokan udara.
"Ssst, Kanya? Nggak kena semprot kan?" Mbak Tami tiba-tiba sudah di sebelahku. Aku mengangguk. Tapi tetap saja aku harus berganti baju ketika nanti papa datang. Bukan apa-apa, mana tahu nanti siang si Evil meledak lagi, kumat lagi marah-marahnya, aku bisa jantungan.
"Eh, Mbak, kok bos dateng hari ini? Biasanya Minggu libur. Mbak Tami juga. Liburnya hari Minggu kan?"
Mbak Tami manyun. "Iya, Kan. Rapat mendadak. Soalnya kita harus mengatasi kekurangan pegawai ini secepatnya. Gudang itu paling nggak harus tiga orang. Pagi nggak ada yang handle pengiriman. Ranty baru bisa datang jam sepuluh pagi. Sementara jam delapan itu sudah ada kurir datang. Kasihan anak AA disuruh ngerangkap handel gudang. Kasir juga. Intinya masih butuh pegawai, tapi yang ngelamar malah keluar-masuk gini."
Aku manggut-manggut. "Ya, gimana Mbak. Emang si Evil serem banget," keluhku menunduk. Herannya, Mbak Tami tergelak.
"Aslinya baik kok si Evil itu, Tahan aja kalo dia ngamuk, masuk kuping kanan, keluar telinga kiri. Lupain abis itu. Nanti satu jam lagi dia bakal lupa kalo udah pernah ngamuk." Mbak Tami membenahi ikatan rambutnya.
"Yah masih belum biasa aku, Mbak. Baru dua minggu, rasanya udah jantungan."
"Kalo jantungan ke dokter Stephen aja, entar pasti juga sembuh, ha ha ha." Mbak Tami menepuk bahuku lalu melambai. Kakinya melangkah menuju ruangannya yang jadi satu sama ruangan bos.
Aku menghela napas. Astaga, tadi itu nyaris banget.
Tak lama kemudian papa datang lalu memasuki apotek. Aku keluar dari meja kasir, menerima kantong plastik yang disodorkan papa lalu mencium tangannya. Papa menepuk kepalaku.
"Udah, baik-baik kalo kerja. Jangan suka mangkir."
"Ih, enak aja!" sergahku seraya cemberut. Papa tergelak lalu pamit.
Aku mengetik pesan Whatsapp ke Mbak Tami, meminta ijin untuk berganti pakaian. Mbak Tami kemudian keluar, bersedia menggantikan aku duduk di belakang meja kasir sementara. Buru-buru aku berlari ke kamar mandi dan segera berganti pakaian. Sayangnya aku yakin sekali yang mengemas bajuku ini mama, karena yang dibawakan adalah kemeja pink yang cantik sekali dengan renda di ujung lengannya, serta rok midi selutut berwarna merah bata dengan motif bunga. Ini adalah bajuku yang dibelikan mama untuk ulang tahunku yang ke tujuh belas tahun, yang setelah itu nggak kupakai lagi. Bukan gayaku.
Aku mengerang. Ya sudahlah. Mau balik lagi juga jauh, Men. Setelah berganti baju, Aku memulas sedikit bedak, memakai lip tint, serta menggoreskan eyeliner di mata. Selesai. Aku keluar dari kamar mandi, menghela napas sejenak kemudian kembali ke meja kasir. Mbak Tami membelalak menatapku yang canggung melangkah dengan penampilan begini.
"Cantik banget, Kan. Pangling deh. Coba tiap hari lo pake baju gini bukan baju kartunmu itu, cepet dapat pacar lo nanti." Mbak Tami masih berdecak mengagumi pilihan bajuku.
"Apaan sih, Mbak. Bukan gue banget ini!" Aku manyun. Mbak Tami tergelak lalu kembali ke ruangannya.
Beberapa jam menjadi kasir rupanya tidak buruk juga. Sama seperti menangani pengiriman, bedanya yang kuhadapi adalah pelanggan. Dan yap kudu banyak senyum di sini. Menjelang pukul satu (kalo Minggu hanya enam jam kerja), aku meregangkan tangan dan badan. Lumayan ramai juga hari ini. Atau hari-hari biasanya juga ramai? Entahlah. Mana tahu.
"Kan, itung uangnya. Mau jam tutup. Aku beres-beres dulu ya," kata Retha, anak AA yang bertugas hari ini. Hari Minggu termasuk hari yang sepi, karena hanya ada satu anak gudang, satu kasir, dan satu anak AA. Oh, yah, jangan lupakan Pak Marwan. Pegawai lain seperti sekretaris, HRD, finance, dokter dan lain-lain libur.
Aku mengklik bagian total penjualan hari ini. Baiklah, RP. 2.590.600,-. Tadi uang stok kembalian dari Mbak Tami seratus ribu, sehingga total uangnya Rp. 2.690.600,-. Aku pun mulai menghitung dengan tetap memisahkan uang seratus ribuan, lima puluh ribuan hingga receh.
Oke, uang pecahan besar totalnya Rp. 2.690.000,-. Aku menghela napas. Lalu aku terkejut saat mentapa uang receh yang belum kuhitung hanya tersisa dua koin pecahan dua ratus rupiah. Astaga. Kenapa cuma empat ratus? Kurang dua ratus? Apa aku tadi salah hitung? Salah memberi kembalian?
Aku mencari-cari setiap laci, yang jelas tidak mungkin ada uang tersisa, karena aku sudah mengeluarkan semuanya. Ya ampun. Kok bisa sih? Seingatku, aku tadi sudah memberikan kembalian sesuai dengan arahan aplikasi. Apa ada yang terlewat olehku?
Aku baru saja akan mengambil tasku untuk mengganti uang receh dua ratus rupiah itu, ketika mendadak Mrs. Evil sudah di sebelahku.
Astaga!
Ya ampun!
Kenapa orang ini suka sekali bikin jantungan pegawainya? Kukira harus mulai mencari asuransi mulai sekarang, karena aku tidak tahu suatu saat nanti bakalan jantungan beneran. Mrs. Evil menatap angka total penjualan di layar komputer, lalu meminta uang hasil penjualan hari itu. Dengan gugup, aku menyerahkan uang tersebut. Aduh, gimana nih, bisa kena semprot beneran kalo kurang uangnya.
Benar saja. Mata Mrs. Evil mendelik menyadari ada uang yang kurang.
"Segini aja? Ada yang belum dihitung?!" Intonasinya melejit beberapa oktaf. Astaga Tuhan, gendang telingaku nyaris jebol. Bisakah dia memelankan suaranya sehari saja?
"Su-su-sudah semua, Ma'am." Aku menunduk. Mengapa rasanya hari ini tidak bisa berlalu dengan tenang, hingga aku nanti sampai di rumah lalu berbaring di kasur kesayanganku?
"Pak Marwan, tutup pintunya, apotek tutup! KANIA! IKUT SAYA!" teriak Mrs. Evil.
Dengan gontai aku memasuki ruangan bos. Sepertinya Mbak Tami tadi sudah pulang karena aku tidak melihat keberadaannya di manapun.
"Retha, mana Retha?!" teriaknya lagi saat dia duduk di kursinya. Aku hanya menunduk, menatap papan kayu berukir yang bertuliskan Drs. Eviliani Prasojo, Apt. M.M. Benakku mengembara kemana-mana, mulai dari papan nama ini akan diganti karena ada aturan penulisan baru sesuai undang-undang mengenai gelar Apt., sampai ke tugas kuliah yang akan dikumpulkan Senin esok.
Retha sudah berdiri di sebelahku. Aku berjengit kaget. Kebiasaan melamun ini sungguh berguna jika dimarahi Evil. Cukup tulikan telinga dan melamun, lalu ketika sudah selesai, yah, tinggal minta maaf lalu pergi.
Tetapi sayangnya, hari ini tidak. Dosis kemarahan Evil berlipat, karena begitu melihatku melamun, dia melemparkan pulpen ke arah wajahku. Ouch. Tepat sasaran.
"Kalau saya ngomong itu didengarkan! Kamu itu udah bikin masalah, malah seeenaknya melamun! Jangan-jangan kamu kerja sukanya bengong, sampe ada uang yang ilang gini!"
Aku menunduk. Mataku hanya menatap lantai marmer putih. "Ma-ma'af, Ma'am."
"Kamu juga Retha, kenapa nggak diingatkan itu Kanianya, kalo suka bengong gini! Ini ada uang penjualan yang kurang siapa yang bertanggungjawab, hah?" Mrs. Evil masih belum selesai mengeluarkan amarahnya.
Tuhan, aku sudah mulai lelah. Bisa nggak aku dibikin pingsan aja biar marahnya Evil ini selesai?
👿Episode07👿
Assalamualaikum Bossque
Pernah ngalamin kayak gini? Terutama buat yang pernah jaga kasir pasti deg-degan ya. Ceritain dong yang pernah ngalamin.
Terus gimana ya nasib Kanya selanjutnya? Dia bakal diapain sama Evil? 👿👿
Love
DhiAZ
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro