Episode 13 Sparks Fly
Ya ampun, kenapa panas sekali di luar? Rasanya tabir surya yang kukenakan sudah mencair, padahal aku sudah mengoleskannya sebelum pergi dari kampus. Setelah memarkirkan motor ke ruangan parkir khusus karyawan, aku bergegas memasuki pintu samping dan buru-buru ke gudang. Sudah ada Endah, karyawan baru itu sedang memasukkan nomor faktur ke aplikasi. Rupanya Ranty mengajarinya dengan cukup baik, tidak seperti aku. Walaupun begitu, Endah memencet papan ketik dengan satu jari, membuat kinerjanya cukup lama. Aku hanya menghela napas, saat pandanganku terantuk ke arah segelas besar berisi minuman berwarna cokelat, dengan logo yang tercetak di sisi gelas. Wow, selera anak ini mahal juga, sekalipun berbeda dengan kopi mahal yang dibelikan Saga buatku. Eh, astaga, aku ngelantur lagi kan?
Aku duduk di sebelah Endah, lalu mengecek setiap pekerjaan Endah. Aku tersenyum pada Endah ketika dia sudah benar dalam memasukkan faktur. Endah seakan bernapas lega ketika melihat senyumku.
"Udah bener, kok. Hebat kamu, udah bisa nginput faktur." Aku memuji sekedarnya. Aku kurang bisa memotivasi orang, kukira aku lebih suka memberikan perintah saja. Kalo perlu, dikerasi sekalian. Eh, lho? Apa bedanya aku sama Evil? Aku mendesah begitu mengingat perlakuan Evil. Ya ampun, rasanya aku jadi merasa menyesal menggertak Endah terus-terusan. Jangan-jangan dia akan kena serangan jantung lebih cepat, karena sudah dibentak-bentak Evil, lalu punya rekan kerja judes macam aku.
"Makasih ya, Mbak Kanya." Endah memberiku senyum terbaiknya.
"Udah itu esnya diminum, keburu cair." Aku mengambil alih beberapa faktur yang dipegangnya.
"Lho, itu punya Mbak Kanya." Endah menatapku heran. Secara umur dia sebaya sama Ranty, sehingga mestinya aku yang memanggilnya Mbak. Tapi karena anak baru, dia masih suka memanggilku Mbak.
"Hah? Aku nggak bawa minum kok. Eh, maksudku, nggak pesan minum."
"Nggak tahu, Mbak. Itu tadi bareng sama kiriman kurir, ojol food. Udah dibayar kok katanya." Bel berbunyi dan Endah segera berlari menuju meja pengiriman. Kuraih gelas tersebut dan kubaca label yang menempel. Prasthikasasti. Mocha Madness. Bolehkah aku menduga bahwa ini dari Saga? Aku jadi salah tingkah.
Tapi untuk apa sih dia membelikanku minuman? Yah, walau baru dua kali ini sih. Tapi ini semua minuman mahal, yang aku aja nggak pernah mimpi buat jajan minuman di situ. Aku masih merasa bersalah sekaligus bingung dengan perlakuan Saga akhir-akhir ini. Hingga aku sampai lupa mencaci Evil dalam dosis harianku. Aduh, gila! Aku pasti sudah gila.
".... dicilakakeun." Terngiang perkataanya waktu itu. Jadi dia ini sebenarnya siapa dan cowok kayak gimana sih?
👿👿👿👿👿
Setelah aku nggak sengaja memergokinya bertelepon dengan keluarganya itu, aku malas ketemu Saga lagi. Dia sudah menggangapku bukan manusia, sengaja mendorong kursi hingga aku terjatuh, lalu menelepon dengan kata-kata seakan dia mau membunuh seseorang. Aku juga masih ingat bagaimana dia seakan nggak sengaja merobek kertas saat rebutan bersama Cindy itu. Ya ampun. Entah kenapa, aku merasa dia itu cowok misterius yang aneh. Bukan bad boy keren kayak Dilan gitu, tapi kayak psikopat berdarah dingin. Hei Kanya, kamu mulai lagi berpikiran yang bukan-bukan.
Saat aku keluar untuk mengurusi pengiriman, kulihat pak Marwan sedang menggotong kursi yang kemarin sempat membuatku terjengkang.
"Lho, Pak. Itu mau dibawa kemana?" tanyaku heran.
"Eh, iya Mbak Kanya, ini kursinya rusak, rodanya sering trouble. Ini mau dibuang, diganti kursi baru, katanya buat Mbak Kanya nanti."
Hah? Aku tercengang. Rodanya rusak? Jadi memang benar bukan Saga yang mendorong kursi kemarin? Aku membekap mulutku. Ya Tuhan, apa otakku memang jadi gesrek hingga mikirnya kejauhan? Lagipula mana ada sih orang yang sejahat itu? Reflek, rasa bersalah kembali menghantamku.
"Itu beneran rodanya bisa gerak sendiri ya, Pak? Kemarin kata mas Saga begitu," celetukku dengan nada santai. Padahal jantungku sudah bertalu-talu bagai genderang perang.
"Iya Mbak. Ini Mas Saga yang ngelaporin tadi pagi, katanya udah bikin Mbak Kanya jatuh kursinya." Pak Marwan pamit untuk membuang kursinya. Aku mengangguk lalu kembali mengecek barang. Walaupun otakku sudah kelayapan kemana-mana, karena teringat betapa aku kasar sekali pada Saga kemarin. Aduh gimana ini? Mau minta maaf, tapi aku terlalu gengsi. Lagipula gimana caranya, seumur-umur aku selalu mati gaya kalo harus minta maaf.
Menjelang jam lima sore, aku putuskan untuk menunggu di meja pengiriman sekalipun tidak ada kurir pabrik farmasi yang datang. Biasanya Saga selalu pulang jam lima tepat, disusul oleh Mbak Tami sepuluh menit sesudahnya. Mereka yang bekerja selain gudang dan etalase, jam kerjanya sama dengan kantor biasa, delapan pagi hingga lima sore, dengan istirahat siang jam dua belas hingga jam satu.
Saga akhirnya keluar. Dengan gugup aku mencegatnya. Mulutku terbuka tanpa suara, sementara Saga hanya diam menatapku. Oke, speak, Kanya, speak! Aku ini si mulut besar yang jago ngomong, tapi kenapa untuk minta maaf, aku mendadak jadi gagap?
"Mas ... Saga. Eh, Mas Saga. Aku minta maaf, atas ... atas yang kemarin." Aku mencoba merapikan rambutku yang enggak kenapa-napa. Kemudian aku beranikan diri menatap matanya. "Maaf." Lalu aku mengangguk segan dan beranjak dari sana. Ya ampun, jantungku! Berhentilah memberontak seperti itu!
"Sebentar," Saga kemudian berbicara, saat aku sudah memunggunginya. Berbalik nggak ya? Aku memejamkan mata panik. Lalu perlahan aku berbalik.
"Iya, Mas." Aku menarik napas dengan tersendat-sendat, lalu menyunggingkan senyum dengan gugup.
"Jadi kamu teh sudah nggak marah sama saya?" tanya Saga dengan logat Sunda, yang jujur saja membuat jantungku mencelos. Aku mengerjap.
"Maksudnya?"
"Ya, dari kemarin teh kamu ngomongnya galak banget sama saya." Saga menjelaskan. Aku menunggu kata-kata selanjutnya, tapi dia malah menatapku dengan mata beningnya itu.
"Eh, ya, aku kira Mas Saga yang benci aku .... Kemudian, ada insiden kursi ...." Nah, kan, suaraku makin mengecil karena setelah dipikir-pikir sekarang, semuanya jadi nggak masuk akal. Bagaimana bisa ia membenciku? Kami baru saling kenal waktu itu!
"Oh, jadi kamu teh ngira saya benci kamu?" Ekspresi Saga terlihat geli. Aku menunduk. Malu banget, sumpah!
"Oke, jadi kita klir. Oke!" cetusku segera, kemudian berbalik pergi.
"Hei, Kanya Prasthikasasti!" panggilnya lantang. Ya ampun, kenapa jadi kayak adegan drakor gini sih? Pas nonton, aku paling geregetan ada adegan begini, karena kayak kenapa nggak disudahi aja atau diterusin ngobrolnya sebelum berbalik?
"Iya Mas Saga?" Aku kembali berbalik. Mbak Tami dan beberapa orang keluar melewati meja pengiriman dan memberi salam kepada kami berdua. Aku hanya mengangguk dan tersenyum sopan.
"Kalau kamu mau saya maafin, kamu harus bikinin saya teh, besok siang."
Senyumku mendadak sirna. Teh? Aduhai, aku jadi benci sama teh setelah disiram sama Evil tempo hari. "T-teh? Oke," sahutku lesu.
Anehnya Saga malah terkekeh. Aku baru pertama kali melihat dia seperti itu. Membuat perutku seakan dihuni oleh segerombolan kupu-kupu yang ingin beterbangan keluar. Duh. Sadar diri Kanya, dia ini cowok idola.
"Becanda aja. Saya nggak suka teh. Saya suka kopi instan. Deal?"
Aku menghela napas lega. Baiklah. "Deal. Mas Saga ... suka kopi apa?"
"Capucino. Kamu?"
"Mocha," jawabku tanpa berpikir. Eh, tunggu. Kenapa dia jadi bertanya apa kopi kesukaanku? Kenapa aku menjawab? Otak, dimana kamu, otak? Mengapa kamu jadi lambat berfungsi setelah menatap mata indah milik Saga?
"Ya udah, sampai ketemu besok ya. Saya tunggu kopinya."
👿Episode13👿
Ada yang otaknya korslet gara-gara mandangin gebetan kayak Kanya? He he he Ceritain yuk di komen. Aku pasti baca dan balesin komen kalian kok, Keliners yang kusayang :)
Evilnya masih ngumpet dulu nih, biar Kanya seneng-seneng dulu lah ya sama Saga, masak dikerjain terus wkwkwkwk
Nah biar aku semangat nulisnya, kalian boleh kok jajanin aku pentol di trakteer.id/dhiaz biar aku bisa banyak nulis cerita-cerita yang insha Allah bisa kalian nikmati gratis. Caranya cukup dengan minimal lima ribu rupiah aja, bisa bayar pake OVO/Dana/LinkAja atau transfer bank biasa.
Oke, semoga episode kali ini bisa memuaskan kalian, Keliners yang kece dan caem. Makasih udah mau baca dan ngevote. Ramein komentar juga ya, pasti aku baca dan aku bales kalo sempat. Karena aku pengen tahu gimana pendapat kalian mengenai cerita ini. Apa kalian mau Kanya happy ending sama Saga? Atau enggak? Atau kalian punya ide lainnya? Kasih tahu aku ya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro