Episode 11 Segelas Dark Cherry Mocha
"Kanya, saya tadi order ojol food, nanti kalo pesanan saya datang, kamu terima dulu. Makasih."
Aku menggangguk segan. Ya ampun, mengapa sekarang aku jadi merasa malu kalo ketemu Saga? Aku berpura-pura masih menatap faktur yang tergeletak di atas papan ketik, padahal sama sekali tidak membacanya. Saga menyerahkan sejumlah uang, yang kuterima tanpa repot-repot menatap matanya.
"I-iya." Aku bersuara lirih. Entah apa yang dipikirkan Saga, yang pasti kini aku melihat salah satu sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum separo ala Edward Cullen itu. Duh. Kanya, sempet-sempetnya sih kamu membandingkan cowok itu kayak idolamu di Twilight?
Saga berbalik memunggungiku. Aku menghembuskan napas lega seraya mengibaskan tanganku. Tiba-tiba Saga kembali menghadapku.
"Oiya, Kanya?"
"Eh, iya, Mas? Eh, Kang?" Mengapa pula kini aku jadi salah tingkah?
Saga kembali memberiku senyum khasnya. "Panggil Mas aja gak papa. Saya suka dipanggil Mas, apalagi sama kamu," kata Saga menatapku dengan tatapan yang tak bisa kupahami.
"Oke, Mas Saga. He ...." Aku nyengir dengan terpaksa, mencoba menetralisir kecanggungan ini.
"Nanti kembaliannya kasihkan bapaknya, buat tip. Oh ya, kalo misalnya aku manggil kamu Sasti saja, boleh? Prasthikasasti lebih enak di telinga saya, daripada Kanya." Saga menatapku geli. Nah, ini justru mencurigakan. Ngapain sih?
"Eh, tapi apa nggak aneh?"
"Enggak. Itu lebih sesuai sama kepribadian kamu." Setelahnya, Saga ngeloyor pergi. Hah? Maksudnya? Apa sih?
Lima belas menit kemudian, terdengar bel berbunyi. Aku berlari menghampiri meja pengiriman, tapi tak ada kurir di sana. Hanya seorang pengemudi ojol, yang kuketahui dari jaket yang ia kenakan.
"Misi, Mbak. Saya mengantarkan pesanan atas nama Saga Melviano."
"Iya, Pak." Aku mengambil uang Saga dari kantongku, lalu menyerahkan ke pak pengemudi itu. Eh, siapa tadi namanya? Saga Melviano?
"Satu Capucino Venti dan satu Dark Cherry Mocha, ya Mbak." Bapak itu menyerahkan sekantong plastik berisi dua cup berukuran besar. Wow, keren banget ini, minuman mahal. "Totalnya delapan puluh ribu, plus ongkirnya jadi total seratus lima ribu."
Aku mendelik. Delapan puluh ribu untuk dua cup es kopi? Aku biasa beli es kopi dengan extra chocochip dan keju di daerah Candi Lempung sana hanya dengan lima ribu rupiah!
"Kembaliannya lima belas ribu ya, Mbak." Pak Pengemudi mengambil uang dari dompetnya.
"Eh, nggak usah, Pak. Buat Bapak saja," sahutku segera. Baik banget si Saga, ngasih tip lima belas ribu. Pengemudi itu tampak sumringah, setelah beberapa kali mengucapkan terima kasih. Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
Setelahnya aku bergegas ke kantor Evil, mengetuk pintu lalu masuk. Evil sudah pulang dari tadi, hanya ada Mbak Tami dan Saga.
"Mas Saga ini pesenannya." Aku mengangsurkan kantong plastik itu ke arahnya. Saga kembali tersenyum separo ala Edward Cullen. Lalu kenapa jantungku menjadi tak terkendali, ya ampun?
Saga mengambil salah satu cup yang bertuliskan Capucino dari kantong lalu kembali duduk. Aku baru saja akan membuka mulut untuk mengingatkan minuman satunya saat Saga berkata, "Yang itu buat kamu, Prasthikasasti."
Mbak Tami sedang bertelepon sehingga tidak mengetahui apa yang terjadi. Aku kebingungan tapi tampaknya Saga sudah berkutat kembali dengan pekerjaannya. Jadi ini kuapakan? Ini beneran buat aku?
Saga kembali menoleh, "Minum aja, nggak beracun kok."
Aku mengangguk bingung seraya menggumamkan terima kasih, lalu dengan ekspresi bingung aku keluar dari ruangan Evil. Aku mengangkat dan memegang cup yang bertuliskan Dark Cherry Mocca itu. Mengapa wajahku mendadak terasa panas?
👿👿👿👿👿
Sejak kapan perhatian Saga bermula? Entahlah. Dan anehnya, aku kini lebih memikirkan tingkah aneh Saga ketimbang mengeluhkan si Evil. Eh? Eh? Apa ini namanya office romance? Astaga , Kanya! Sadar diri dong! Mana ada sih cowok cakep yang disukai banyak orang itu naksir kamu? Gila namanya. Lagipula sebelum ini dia cuek, bahkan sering mengabaikan aku dari jarak pandangnya. Kok bisa jadi berubah drastis sih? Apa dia berkepribadian ganda? Sebelumnya, dia ramah ke semua orang, tapi dingin padaku. Lalu, kenapa sekarang dia menjadi mendadak baik?
Aku menyedot minuman bernama Dark Cherry Mocca itu. Rasanya manis, agak sedikit pahit dari cokelat. Inikah rasanya minuman mahal itu? Memang lebih enak daripada es kopi ala-ala yang biasa kubeli sih. Tapi aku jelas nggak akan menghabiskan uangku hanya demi es kopi mahal ini. Meskipun aku menyukai rasanya. Aku tersenyum mencecap rasa manis cherry yang tertinggal di lidahku. Aku suka ini. Aduh, mengapa aku tak bisa berhenti tersenyum saat menikmati rasanya?
Dengan pipi bersemu, aku menaruh es kopi itu di dekat layar monitor, lalu menutup mukaku dengan kedua tangan. Lalu kudengar langkah Ranty yang hendak masuk gudang. Aku buru-buru menaruh tanganku di papan ketik.
Ranty segera terbelalak melihat logo yang tertera pada es kopiku. Seharusnya tadi aku tidak membuang kantongnya. Biarkan saja membungkus gelasnya, agar tidak ketahuan.
"Wow, tumben banget kamu beli es mahal!" Ranty terkesiap. Baiklah, aku jujur tidak ya?
"Iya, he. Sesekali." Aku gugup menjawab. Ranty menatapku sekilas lalu ia duduk di sebelahku, membantuku mendikte nomer faktur.
Jam dinding gudang masih bertengger di angka tiga, ketika Ranty bersiap-siap pulang. Kini dia masuk lebih pagi yakni mulai pukul tujuh pagi, agar pengiriman tidak menumpuk di siang hari. Selama ini gudang baru dibuka pukul sepuluh, menunggu Ranty datang, sehingga kurir diminta mengirim pukul sebelas. Sayangnya kadang di pagi hari penjualan agak ramai, sehingga ketika ada stok obat habis, tidak bisa segera diisi karena pengiriman belum datang. Karena itulah, shift Ranty diubah. Untung saja dia sekarang bisa masuk pagi.
Sedikit-sedikit aku mulai belajar mengenai manajemen, karena ya itu jurusan kuliah yang aku pilih. Aku mulai bersekolah di usia tiga tahun, karena waktu itu aku sering menangis jika kakakku tiap pagi berangkat sekolah. Usia lima tahun aku masuk kelas satu SD. Awalnya hanya sekedar pupuk bawang alias ya, masuk aja, nggak ditarget naik kelas juga. Sayangnya walau aku nggak jadi juara kelas, nilaiku masih mencukupi untuk lulus.
Orang sering membandingkan aku dengan kakakku, Rengga Nataprawira, yang sering jadi juara kelas, murid teladan, ketua OSIS, hingga ketua BEM. Ketika lulus kuliah, dia mendaftar CPNS, langsung lolos dan membuatnya kini bekerja di kantor kelurahan Made, Surabaya Barat. Sementara aku, sebenarnya nilaiku nggak buruk-buruk amat. Tapi karena ada perbandingan itu, dan bodohnya aku bersekolah yang sama dengan almamater kakakku, semua gurunya menjadi nyebelin. Padahal orang tuaku tidak pernah menyuruhku jadi persis kakakku.
Aku sangat ahli dalam menghafal, sehingga aku baik di pelajaran seperti sejarah, ekonomi dan akuntasi. Sayangnya saat pilihan jurusan SMA, guru-guru memasukkan aku di IPA, karena kakakku lulusan terbaik di IPA pada zamannya. Aku sudah protes, bahkan orang tuaku juga sempat datang ke sekolah karena khawatir aku tidak bisa beradaptasi dengan jurusan IPA, tetap saja aku diharapkan mengikuti jejak Rengga Nataprawira. Sigh.
Dan impian itu terpaksa terkubur dalam-dalam karena nyatanya sejak masuk IPA, aku selalu mendapat rangking kedua dari bawah. Baru setelah lulus SMA kemarin, yang bertepatan dengan ulang tahunku yang ke tujuh belas tahun, aku memutuskan masuk kuliah jurusan Manajemen, di kampus yang berbeda dengan kakakku, agar kasus salah jurusan tidak terulang lagi. Lalu mencari pengalaman kerja dengan bekerja pada apotek ini.
Sayangnya, menjalani kuliah dan kerja secara bersamaan membuat penat luar biasa. Beberapa kali aku terpergok dosen ketiduran di kelas, atau terlambat mengikuti kuliah. Ini baru semester pertama, demi Tuhan. Mampukah aku melewati tantangan hingga tujuh semester berikutnya?
Aku mendesah, lalu tatapanku terantuk ke segelas Dark Cherry Mocha pemberian Saga. Entah kenapa, bibirku membentuk seulas senyum. Minuman itu laksana oase penyegar di tengah kegersangan hidupku, yang nyaris tak ubahnya bagai padang pasir. Eh, sejak kapan aku puitis begini?
👿Episode11👿
Nah lho, kok Saga tiba-tiba jadi baik ya? Perlu dicurigai nggak nih? 😅
Betewe, baru tahu kalo para cast ku main bareng di Dreadout. Ya ampun. Ini kebetulan banget. Dulu di Masitda!, juga baru tahu kalo cast yang tak pake, main film bareng.
Sayangnya aku belum nonton Dreadout, soalnya horror sih. Harus menguatkan diri dulu 😆😆😆😆 Yang udah nonton, kasih tahu aku dong di komen :)
Oke, semoga episode kali ini bisa memuaskan kalian, para Keliners yang kece dan caem. Makasih udah mau baca dan ngevote. Ramein komentar juga ya, pasti aku baca dan aku bales kalo sempat. Karena aku pengen tahu gimana pendapat kalian mengenai cerita ini. Apa kalian mau Kanya happy ending sama Saga? Atau enggak? Atau kalian punya ide lainnya? Kasih tahu aku ya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro