Episode 1 Kapan Lulus?
Ting!
Bunyi bel sialan itu mengagetkanku. Kenapa hari ini kiriman mesti banyak banget sih? Aku baru separuh jalan memasukkan data barang yang baru dikirim lima menit yang lalu, kini sudah muncul kiriman baru?
Dengan langkah gontai, aku menghampiri kurir yang menungguku di pintu samping Apotek Good Health, dimana meja serah terima kiriman berada di sana. Aku melihat jaket yang dikenakan kurir itu, tertera PT. Bernofarm di bagian punggungnya. Aku menghela napas. Kurir itu tersenyum menatapku, tetapi jangan harap dia akan mendapat senyuman balik dariku.
"Mana Ranty? Udah lulus ya?" tanya kurir yang kutahu namanya adalah Sandi. Aku memutar bola mata.
"Hari ini dia libur," sergahku mengambil faktur pengiriman dari tangannya. Sandi menaruh sekotak yang isinya obat berbagai jenis dan merek yang dikeluarkan oleh perusahaannya. Tugasku adalah mencocokkan apakah barang yang ia kirim sama dengan yang tertera di faktur. Jemariku bergerak lincah mencontreng daftar itu jika barangnya sudah sama dengan daftar. Begitu selesai, aku menandatangani tanda bukti penerimaan yang dibawa Sandi untuk kemudian dilaporkan ke perusahaannya.
Obat-obatan Bernofarm
"Kamu kapan lulus?" tanya Sandi saat mengemasi barangnya di tas. Aku mengangkat bahu, mengabaikan pertanyaan yang setiap hari ditanyakan oleh sebagian besar kurir yang sering mengantar kemari. Dulu aku bingung, bertanya-tanya apa artinya. Apa karena mereka tahu aku masih kuliah? Setelah tahu, aku mulai sebal setiap mendengar pertanyaan nggak mutu itu.
"Oke, sudah ya." Aku menaruh faktur di atas obat-obatan yang dikirim Sandi, lalu melangkah ke belakang alias gudang, di mana aku kebanyakan menghabiskan waktu selama 8 jam kerja di sana.
"Betah ya?" Sandi masih mengajak ngobrol.
"Hemmm," gumamku tak jelas, tidak mengiyakan ataupun menyanggah perkataannya.
"Salam buat Ranty ya," pamit Sandi akhirnya, menutup pintu samping apotek yang hanya diakses oleh kurir dan karyawan saja. Pelanggan tentu saja akan masuk lewat pintu depan yang terbuka lebar, dengan beberapa etalase yang memajang aneka ragam obat-obatan beraneka bentuk, jenis dan merek. You named it. Oh, apotek ini tidak memiliki pintu kaca seperti kompetitornya, sebut saja K-24 atau Kimia Farma. Apotek ini seperti apotek versi lama, di mana dari halaman parkir, kita bisa mengakses etalase begitu saja tanpa ada sekat pintu atau dinding kaca.
Baru saja aku meletakkan kotak kiriman Sandi itu di dekat kursiku, bel itu berbunyi lagi. Ampun Tuhan, sungutku sebelum akhirnya melangkah lagi ke arah meja pengiriman. Kali ini ada dua orang kurir, kuingat namanya Riko dari Phapros dan Rimba dari Enseval.
"Wow, si judes!" seru Rimba saat melihatku. Sialan. Baru dua bulan bekerja di sini, aku sudah mendapat julukan yang tidak mengenakkan. Sepertinya para kurir itu terpesona dengan kecantikan dan keanggunan Ranty, seniorku di sini. Mereka memanggilnya Beauty. Haiss, emang dasar cowok!
"Siapa duluan?" tanyaku dengan mimik kesal, menatap dua kardus berukuran besar yang terletak di atas meja.
"Terserah lo deh." Riko si anak Jakarta itu menyahut. Dia duduk di sofa empuk yang berada di tepi ruangan lalu asyik memainkan game dari ponselnya. Rimba pun mengibaskan tangannya. Dia melakukan hal serupa.
Tanpa suara, aku meraih lembar faktur di atas kardus dan sedikit mengerang saat mendapati nyaris 30 item yang terkirim dari Phapros. Sigap, kuraih faktur dari Enseval dan yap, 25 item. Pantas saja mereka langsung main Mobile Legend.
Obat-obatan Enseval
Kuputuskan untuk mengerjakan Enseval duluan, seraya memikirkan kembali mengapa aku dulu bersedia bekerja di sini.
👿👿👿👿👿
Dengan gugup, aku memasuki pintu samping Apotek Good Health sesuai instruksi dari Bu Lesita yang pagi tadi menelpon. Kemarin aku menyerahkan lamaran pekerjaan, yang diterima oleh kasir apotek yang melihatku dengan tatapan menilai.
Saat aku memasuki pintu samping, suasana ruangan tersebut sangat sepi. Tampak seorang perempuan berusia sekitar 40 tahun menyambutku ramah.
"Kanya Prasthikasasti? Saya Bu Lesita. Silakan masuk ke ruangan ini." Bu Lesita membuka pintu ruangan di mana sofa empuk berada di depannya. Aku melangkah masuk, lalu duduk di kursi. Bu Lesita tersenyum dan mengambil berkas lamaranku.
"Jadi kamu masih kuliah?" tanya Bu Lesita. Aku mengangguk. "Baiklah. Saya rasa jadwalnya nanti bisa sedikit diatur. Tetapi sebelumnya, saya ingin mengetes keahlian kamu."
"Hah?" seruku kaget. Aduh, mengapa responku norak banget sih?
"Cuma skill standar saja." Bu Lesita kemudian menyuruhku duduk di kursinya, sementara ia berdiri. Di hadapanku kini ada komputer yang menampilkan logo apotek di layar. Bu Lesita menyuruhku membuka aplikasi Word. Setelahnya ia mengambil majalah kesehatan di mejanya, dengan acak menunjuk paragraf pertama sebuah artikel yang sedang mempromosikan Kangen Water, lalu memintaku mengetik paragraf tersebut.
Ini sih, gampang. Aku sudah terbiasa mengetikkan laporan milik kakakku yang bekerja di kelurahan. Sebut saja kamu ingin surat apa, aku hafal di luar kepala. Dengan cepat aku mengetik paragraf yang ditunjuk Bu Lesita. Tampaknya beliau cukup puas dengan kecepatanku mengetik.
Setelahnya ia hanya mengajukan pertanyaan biasa, seperti apakah aku siap bekerja keras, bekerja di bawah tekanan dan sebagainya. Sebagai pelamar, aku mengucapkan jawaban yang terdengar baik, just like ya ... aku menerima semua kondisi, siap belajar, suka tantangan de el el. Yap. Gombal banget pasti. But I don't care. Semua pelamar pasti melakukannya ya kan?
Begitu Bu Lesita mengucapkan nominal gajinya, aku terbelalak. Nggak UMR sih, tapi cukup besar dibanding gaji rata-rata karyawan lulusan SMA yang bekerja 8 jam. Gila! Mau banget kan? Apalagi jam kerjanya bisa disesuaikan sama jadwal kuliahku. Which is, akhir pekan, aku rela bangun pagi untuk kerja. Hari libur bergantian dengan karyawan lain, karena akhir pekan apotek masih buka. Okelah. Lagian mau apa juga mahasiswa baru kayak aku di akhir pekan. Yes, aku jomblo. Puas?
Enaknya lagi, kalo sakit, karyawan sini dipersilakan untuk periksa dengan dokter dan mendapatkan pengobatan gratis. Apotek ini juga menyediakan klinik dokter, sehingga kalo ada apa-apa menyangkut kesehatan mendadak para karyawan, mereka tinggal mampir ke klinik. Dan obatnya juga bukan generik kayak puskesmas, he he he. Sayangnya makan tidak ditanggung. Gajinya sudah termasuk uang makan, jadi berarti aku harus bawa bekal.
Saat Bu Lesita akan mengabariku satu-dua hari lagi untuk kepastian diterima atau tidak, senyumku mulai surut. Apa aku gagal? Apa aku ditolak? Kukira akan langsung bekerja keesokan harinya. Aku mengucapkan terima kasih dan keluar ruangan.
Saat aku keluar, ada beberapa cowok yang mengenakan jaket berbeda-beda baik warna maupun bordiran nama di punggung jaketnya. Mereka saling berbagi keluh kesah, begitu yang kusimpulkan. Aku baru saja akan berlalu saat telingaku menangkap kata-kata : bos apotek ini tuh ya, udah kayak setan. Karyawannya aja tiap bulan ganti.
What?
What?
Again. Whattt????
Langkahku terhenti, tetapi aku sadar cowok itu pasti tahu aku nguping, jadi aku kembali melangkah buru-buru keluar.
Yah. Gila amat sih. Baru aja aku udah berharap akan diterima, tapi bosnya udah kayak setan? Emang kayak gimana sih bosnya? Enggak aneh kan orangnya?
Ah, mungkin itu cuma karyawan yang sakit hati karena bosnya kali. Lagian mungkin aja bosnya ini disiplin, tapi ditangkap negatif sama karyawannya. Nggak mungkin ah, zaman segini ada orang yang kayak Hitler. Bisa dipenjara kan?
Eh, tapi aku lupa nanya. Bosnya cowok atau cewek ya? Single? Aku tersenyum membayangkan seandainya ternyata bosku adalah CEO yang single dan ganteng, meski agak galak kayak di Why Secretary Kim. Dan siapa tahu, ternyata saat aku diterima bekerja di sini, aku diangkat jadi sekretarisnya, lalu karena aku bekerja sangat fantastis, atau karakterku yang unik, dia jatuh hati padaku! Duh, Tuhan, mungkinkah di apotek Good Health ini akan tercipta office romance yang mendebarkan?
Aah, aku sudah tak sabar menunggu telepon dari Bu Lesita!
👿Episode01👿
Hai, bertemu lagi dengan cerita baruku. Ini aku menantang diriku untuk menulis cerita yang really-really ringan banget. Temanya tentang suka duka karyawan kantor. Kayaknya ini tema yang mainstream banget, jadi ya semoga aku bisa mengemasnya menjadi berbeda. Oiya, latar tempatnya adalah apotek, jadi siap-siap ya kalo ada istilah obat-obatan.
Nah, tokoh utamanya adalah Kanya Prasthikasasti. Entah kenapa aku suka banget bikin nama yang huruf depannya K. He he he. Kayaknya asik aja. Dan kali ini aku pake sudut pandang orang pertama, setelah beberapa cerita sebelumnya menggunakan orang ketiga terus. Mohon maaf kalo masih banyak kesalahan ya. Insha Allah aku akan upgrade ilmu terus.
Betewe, menurut kalian, bosnya Kanya beneran serem kayak setan atau kayak imajinasi Kanya, CEO ganteng yang sedang mencari cinta?
Tunggu episode berikutnya ya!
Love,
DhiAZ 💕❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro