7. Cahaya dalam Kegelapan
Guntur menggelegar. Membuka tabir antara dunia mimpi dan kenyataan dariku. Aku tersentak dan terguling di kasur. Untungnya tidak terjatuh mengingat tempat tidur ini lebih luas dibandingkan milikku dulu. Tubuh ini gemetar, diiringi dengan bentakkan petir dari luar. Suara tetesan hujan yang menghantam jendela dengan keras. Suasana ruangan begitu gelap dan dingin. Membuatku merasa resah.
Kilat cahaya memenuhi ruangan sesaat sebelum diiringi kembali dengan gemuruh petir. Aku memeluk kedua lutut, berlindung selagi merasakan ketakutan menyelimuti batinku. Belum pernah kudengar suara hujan sekeras ini. Selama di desa, belum pernah aku menyaksikan kejadian seperti ini. Dahulu, Ibu akan menyiapkan segelas teh hangat diiringi dengan suasana rumah yang aman. Namun, kini semua berganti dengan tempat yang gelap.
"Bunga." Aku memanggilnya dengan gemetar, berharap dia segera datang dan melindungiku. Hanya dia satu-satunya yang ada di pikiranku saat ini.
Kudengar suara pintu kamar terbuka dengan pelan, menampilkan sosok Bunga membungkuk untuk masuk ke kamar. Aku mengangkat tangan, bersiap dibawa ke dalam pelukannya.
Tubuhku perlahan terangkat. Didekap pada dadanya yang hangat. Kurasakan tangannya yang lembut membelai punggungku. Bunga-bunga kecil berjatuhan dari helaian rambut. Pertanda betapa rasa takut telah menguasaiku.
Bunga tidak bersuara, tapi aku dapat merasakan kehangatan dari pelukannya. Tangannya masih mengelus punggungku, membuatku sedikit mengabaikan suara riuh petir dan hujan dari luar.
Aku melingkarkan tangan ke lehernya, membiarkan kepalaku tertutupi dengan kelopak bunga putihnya membelai wajahku. Merasa aman meski petir kembali mengusik ketenangan.
Bunga masih memeluk. Dapat kurasakan dia kembali berjalan mengelilingi kamar, mempererat pelukan. Kelopak bunganya mengelus dahiku dengan lembut, seakan memberi kecupan penenang dalam kegelapan. Tanpa perlu kata-kata, aku dapat merasakan betapa sayangnya Bunga padaku. Sejak awal kami berjumpa, dia selalu memberiku kehangatan. Seperti Ibu yang dulu merawatku. Namun kali ini, Bunga mengganti peran itu.
Kelopak bunga putih terasa lembut ketika bersentuhan dengan kulit wajahku. Aku balas dengan membelai kelopaknya, memberitahu jika aku merasa aman. Meski terasa licin seperti sejak awal aku menyentuhnya, perlahan terasa seperti kain lembut.
Detak jantung dari Bunga terdengar tenang, seakan menenangkan jantungku yang berdebar akibat sisa rasa takut tadi. Perlahan, napasku terasa lebih ringan. Kepalaku masih terbaring di dadanya selagi tangan Bunga masih membelai rambutku.
Bunga melepas pelukan dan mengangkat tubuhku. Kami bertatapan, suasana riuh dari luar kini kuabaikan kala hatiku mulai terpaut padanya. Meski aku tidak bisa menafsir ekspresi Bunga, mengingat dia tidak berwajah, aku merasa dia seakan tersenyum lembut padaku.
Perasaan aman kini bersatu dengan rasa penasaran yang terkubur dalam diriku sejak beberapa hari terakhir. Aku mengulurkan tangan, mencoba menyentuh wajahnya yang hanya terdiri dari kelopak dan mahkota bunga.
Bunga tampaknya paham akan niatku, dia mendekatkanku ke kepalanya. Membiarkan aku mengelus pelan kelopak bunga putih dan biru yang menghias kepalanya. Seperti yang kusebutkan, terasa seperti menyentuh kain lembut yang biasa kupakai sebagai selimut.
Pikiranku kembali melayang ke masa lalu. Para penduduk desa kerab bertanya kepada Ibu siapa gerangan ayahku. Namun, dia tidak pernah menjawab. Aku sendiri bahkan tidak memahami makna di balik tatapan ibuku yang terus memandangi rambut berbunga yang kumiliki. Meski secara fisik kami begitu mirip, aku merasa seakan ada perbedaan yang besar di antara kami.
Aku adalah putri dari bunga-bunga. Setiap aspek hidupku selalu berkaitan dengannya. Sementara Ibu hanya manusia biasa, seperti penduduk desa. Meski aku diterima sebagai bagian dari mereka, tetap saja diriku merasa ragu dan terus mencari tempat tinggal yang pantas bagiku.
Kini, di depanku hanya ada sosok yang selama ini kucari. Dialah Bunga, orang yang membuatku terlahir ke dunia dengan perantara Ibu. Beberapa tahun dia lewati, dengan sabar menunggu hingga tiba hari di mana takdir kembali mempersatukan kami. Akulah putrinya dan dia adalah ayahku.
"Nanala, anak Bunga." Aku berucap lembut, menyimpulkan kisah hidupku selama ini. Hatiku terasa hangat mengingat kisah keluargaku. Jawaban dari pertanyaanku sudah jelas. Aku terima dengan mengelus kelopak bunga biru darinya.
Aku sedikit kaget ketika Bunga melingkarkan kedua tangannya dan mendekapku erat. Namun, tidak protes juga. Dia berlutut, tetap memeluk dengan erat selagi bunyi hujan menguasai ruangan.
Dapat kurasakan jantungnya berdebar, beriringan dengan perasaan heran dariku akan reaksinya. Aku sendiri tidak paham mengapa dia seakan terkejut mendengar ucapanku.
Kubalas dengan memeluk lehernya sambil membisikkan kata-kata penenang untuknya, meski hanya satu kata yang keluar. "Ayah." Aku lembutkan suara, mengucapkan terima kasih pada Bunga yang membuatku merasa aman di tengah ketakutanku.
Bunga melepas pelukan. Dia balas dengan menempelkan kelopak bunganya ke dahiku, seperti gerakan memberi kecupan lembut.
Aku memandanginya, meski tatapanku tidak dibalas dengan tatapan mata seperti yang biasa kuterima, aku dapat merasakan kelembutan darinya. Tanpa ragu, aku genggam erat lengan bajunya, mengulangi kata yang membuat Bunga begitu gembira. "Nanala sayang Ayah."
Bunga mengangguk pelan. Dia berdiri, membiarkan tangan kami saling terpaut. Melangkah menuju ruang tengah dan duduk di lantai berlapis karpet. Hujan perlahan reda, tapi aku memilih tetap di rumah mendampingi Bunga. Duduk tenang di pangkuannya, membiarkan tubuh hangat dari Bunga mendekapku.
Namun, ada perasaan tidak nyaman dari dalam diriku. Aku menarik pelan lengan bajunya. "Ayah, aku lapar."
Bunga membalas dengan membelai pelan rambutku, perlahan dia angkat aku ke pelukannya dan berjalan menuju bagian belakang rumah, tempat yang kuduga sebagai dapur, meski tidak banyak terlihat peralatan memasak seperti yang biasa kulihat selama tinggal bersama Ibu.
Bunga menurunkanku, dia mulai mengambil sepotong daging dari ruang penyimpanan. Dia tunjukkan padaku.
Aku heran, menyadari bahwa itu daging yang sama persis seperti di mimpi, daging kalkun yang sudah dibakar. "Dari mana Ayah dapat dagingnya?" Lebih herannya lagi, sejak kapan dia memasak?
Bunga tidak membalas. Dia ambil sedikit bagian dari daging kalkun bakar itu. Perlahan, tangannya bergerak menuju bibirku, menyuapi aku dengan lembut. Dagingnya terasa nikmat dan hangat, seakan baru saja disajikan. Aku ingat ketika Ibu kadang memasak daging kalkun, kembali ke masa kini, diriku bahagia melihat kenangan itu kembali.
Aku duduk di depan Bunga, membiarkannya terus menyuapiku. Namun, aku kembali ragu. "Ayah tidak makan?"
Bunga menggeleng pelan.
"Lalu, Ayah makan apa?" Aku kembali bertanya, sedikit cemas karena khawatir kalau dia belum makan sejak kemarin.
Bunga terus menyuapiku. Tentu saja, tanpa mengucapkan sepatah kata maupun ekspresi wajah mengingat keterbatasan antara kami.
Tanganku yang begitu kecil darinya, meraih daging kalkun lalu menyerahkan pada Bunga. "Makanlah."
Bunga mendorong pelan tanganku, menunjukkan bahwa dia menolak.
Aku jadi sedikit cemas, tapi ujungnya tetap menikmati momen kebersamaan kami. Tanpa terasa, daging kalkun itu habis setengah badannya. Aku mulai kekeyangan dan bersendawa pelan, terkikik akan kekonyolan kecil dariku.
Bunga kembali mengangkatku ke pelukannya. Melangkah menuju luar rumah di mana sinar matahari menyambut kami. Kehangatan dari alam membuatku terbuai, tanganku masih mencengkram baju Bunga, membiarkan keheningan memeluk kami berdua dalam ikatan batin yang kuat.
Ini bab membutuhkan waktu beberapa hari buat ditulis, beda sama biasanya di mana cuma butuh beberapa jam langsung kelar. Aku kurang biasa menulis keanuan sejenis ini, sehingga mungkin kalian menyadari betapa canggungnya aku.
Namun, aku tetap ngeyel lanjut. Lagian, aku membutuhkan keanuan yang hakiki dari hal anu seperti ini. Jadi yah, terimalah takdir kalian, duar!
Btw, nanti adegan sejenis gini bakal lebih sering muncul ke depannya, jadi aku harap, kalian yang sudah baca pesan ini, segera mempertimbangkan keputusannya, ya.
Kalian boleh kok kasih kritik, asalkan masih sesuai dengan konteks di bab ini. Kalau ngeluh karena terlalu santai, aku sudah menperingatkan lewat tag atau tagar, maupun pesan dari sini.
Jadi, ya gitu.
Sampai jumpa nanti!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro