4. Aku Ingin Kehangatan
«???»
Aku hanya bisa memeluk diriku di saat salju menerpa. Tidak ada yang bisa memberi kehangatan selain jubah yang melindungi selembar pakaianku. Bahkan kaki berlapis sepatu pun tiada gunanya. Rasanya es telah menusuk ke dalam tulang-tulang. Bawah naungan salju ini, hanya sebuah roti yang menemani. Makanan baru dibeli beberapa saat setelah menjual seluruh kayu bakar yang bisa kutemui.
Meski malam di musim dingin ini begitu menusuk, orang-orang sudah hangat karena memiliki kayu bakar sendiri. Kini tinggal aku yang tengah sendirian dalam kegelapan malam, tanpa alat yang bisa memberi cahaya maupun kehangatan.
Mengigil, aku tiup tanganku, meski tidak cukup menghangatkan. Harapanku, setidaknya sedikit saja kehangatan menyertai. Menarik napas saja terasa menusuk dada. Andai saja aku memiliki tempat bernaung, pastinya tidak akan bernasib malang seperti ini.
Aku raih roti yang tersimpan di balik jubah yang menyelimuti bajuku. Meski sedikit dingin akibat embusan angin ganas malam ini, setidaknya bisa mengganjal perutku. Paling tidak, perut yang kenyang dapat menenangkan diri sesaat.
Sehabis makan, aku kembali melanjutkan langkah, berjuang mencari tempat berlindung sementara. Malam di musim dingin jauh lebih keji dibandingkan malam yang lain, mereka menusukmu dalam tidur hingga tanpa sadar akan membuatmu membeku.
Di balik mataku yang mulai kabur tertutup terpaan salju, terlihat secercah cahaya dari kejauhan menyambut.
Ketemu!
Aku bernaung di bawah tangga yang terhubung ke salah satu rumah warga. Setidaknya cukup melindungiku dari terpaan badai salju nanti. Kuharap di dekat sana ada korek api yang bisa membantu menghangatkan diri.
Sebelum memutuskan untuk bernaung, aku coba cari sesuatu yang berguna dari dalam sampah depan rumah tadi. Mengali lebih dalam, kutemukan selembar kain yang meski mulai menipis, setidaknya cukup menambah kehangatan. Aku ambil lalu menjadikannya sebagai selimut dengan mengalungkannya.
Sesuatu menampar kepalaku dari belakang. Begitu menoleh, kulihat seorang anak tengah melempar bola salju ke arahku. Dia tertawa, sementara seorang wanita–yang kuduga sebagai ibunya–menatapku tanpa ekspresi, membiarkan sang anak terus menghujaniku dengan bola salju.
Aku berlari, maksud menghindari serangan lebih. Aku berlari hingga sampai ke sisi kiri rumah, tepat dekat jendela. Kupandang ke arah dalam rumah, terlihat perapian di tengah ruangan lengkap dengan sejumlah gelas minuman hangat. Betapa beruntungnya mereka dapat menikmati malam dingin ini tanpa khawatir kedinginan. Memandangi perapian membuatku merasa hangat. Sudah lama aku tidak merasakan ini. Tanpa sadar, tingkahku telah menarik perhatian salah satu penghuni rumah.
Seorang pria paruh baya muncul dari balik pintu. Pandangan kami saling bertemu. Aku tidak sempat berkata apa pun, dia sudah bergerak dan menutup jendela dengan gorden. Menghalangiku dari perapian tadi. Kutarik napas, setidaknya dia tidak menyerangku seperti yang dilakukan anak tadi. Aku putuskan untuk kembali ke tempatku menggali tadi, untungnya anak itu telah pergi.
Kulanjutkan penggalian, sayang sekali tidak ditemukan korek api yang bisa menghangatkan diri. Kutarik napas, sedikit bersyukur setidaknya ada selimut baru untuk malam ini. Kembali ke bawah tangga, aku pun berbaring.
Tanpa sengaja, mataku menangkap bayangan dari kejauhan. Sosok tinggi bergerak ke arahku. Mengira itu hanya khayalanku saja, aku justru memilih duduk dan mengamati. Bisa jadi khayalan tadi ternyata bayangan sosok manusia yang mungkin berniat jahat di kota ini. Lihat saja sosoknya, tinggi melebihi orang dewasa yang kulihat. Semakin dekat, semakin terlihat wujudnya yang janggal.
Aku gemetar menyadari jika sosok itu berwujud bunga dengan tubuh manusia, dibalut pakaian lengkap layaknya manusia pada umumnya, kepalanya itu yang menjadi pusat perhatianku. Di balik terpaan salju, kelopak bunga putih yang menghias kepalanya tampak berkibar pelan. Sementara bunganya–yang kuanggap sebagai kepala–mulai menyusuri keadaan sekitar seolah dia bisa melihat tanpa mata.
Lalu, dia menatapku.
Badanku terasa membeku, kepala tanpa wajah itu membuatku gentar, terlebih bentuknya persis seperti bunga raksasa. Dia miringkan kepala bunganya, berjalan mendekat ke arahku.
Aku eratkan pelukan pada diriku, selimut yang membalut tubuh tidak lagi terasa hangat. Bulu kuduk meremang setiap kali mendengar langkah kaki makhluk itu mendekat. Jantungku berdetak tak karuan, membuat napas kian sesak. Tanpa sadar, kaki bergerak maju dan mundur seakan menyeru diriku agar lekas bangkit dan lari dari makhluk tadi. Namun, tubuhku terasa kaku akibat dingin dan rasa takut yang menjalar.
Hingga dia tiba di depanku. Tubuhnya menjulang tinggi, dua meter lebih tepatnya, hanya diam sementara kelopaknya mengarah padaku.
Bibirku bergetar, tidak sanggup aku menjerit saat itu. "Tolong, ja ... jangan sakiti ... aku!"
Diam saja. Beberapa waktu berlalu, hanya berdiri tanpa suara yang dia lakukan. Membuat suasana yang tadinya tegang kini menjadi canggung.
Dia seperti tidak ingin menyerangku. Hanya diam memandang, entah apa yang dia inginkan.
Meski dia tidak menunjukkan gerakan sedikit pun, jantungku masih berdegup kencang. Namun, aku mulai sedikit mengumpulkan keberanian. "Siapa ... kau?"
Dia hanya menunjuk kepalanya yang berbentuk bunga.
"Bunga?" Aku menebak.
Dia mengangguk. Perlahan, aku mulai yakin kalau dia bukan ancaman. Tubuhku perlahan terasa menghangat, barangkali karena rasa takut tadi mulai berkurang. Namun, tetap kurasakan dinginnya hawa malam ini.
"Sedang apa kau ke sini?" tanyaku. Kuperhatikan kalau dia hanya berdiri saja sedari tadi.
Diam saja. Sepertinya, dia tidak bisa bicara. Kucoba berkomunikasi dengan bahasa tubuh, sekiranya dia paham. Kutanyakan kenapa dia bisa di sini dengan menunjuknya, lalu membuat pose seakan bertanya dengan mengangkat kedua tangan. Tentu aku tidak sepenuhnya ingat arti dari bahasa tubuh itu sebenarnya. Alhasil, makhluk itu pun hanya diam.
Aku coba tanya lagi, tapi dengan bersuara, mengulangi pertanyaan sebelumnya.
Bunga mulai mengangkat tangan lalu menunjuk ke arah kiri. Memang kalau ke sana, jika jalan terus, kau akan segera menemukan batas kota menuju hutan belantara, tempatku biasa mencari kayu bakar.
"Oh, kamu berasal dari hutan?" Aku menebak.
Dia mengangguk. Akhirnya rasa ingin tahuku terpenuhi.
"Kalau begitu," lanjutku, mencoba mencairkan suasana yang sedari tadi canggung. "Ayo, duduk. Kamu pasti kelelahan."
Bunga menggeleng.
"Kenapa?" Aku jelas heran, perjalanan dari kota ke hutan yang dimaksud tentu tidak singkat. Apalagi di tengah malam musim dingin ini.
Bunga lalu menunjuk diriku.
"Aku?"
Bunga mengangguk. Dia raih kelopak bunganya, menarik pelan hingga lepas dari kelopaknya.
Aku sedikit terkejut, kukira dia akan kesakitan. Namun, melihatnya diam saja, aku anggap itu hal biasa baginya.
Bunga menyerahkan selembar kelopak bunga yang dia miliki, panjangnya hampir mencakup telapak tanganku. Cocok dengan badannya yang begitu tinggi.
Aku terima kelopak bunganya. "Untuk apa ini?" Jelas aku heran, kukira ini hanya cendera mata darinya.
Kulihat Bunga menunjuk kelopak bunga itu, dia kemudian menangkup kedua tangan tanda berdoa, lalu dia lepas kedua tangannya membentuk seakan seperti orang yang memberi kejutan.
Entah bisikan apa yang muncul dalam pikiranku, aku seakan mengerti apa yang dia maksud. "Maksudmu, kalau aku berdoa di depan kelopak bunga ini, bakal diberi kejutan?" Aku lagi-lagi menebak, walau di sisi lain bingung dengan maksudnya. Lagi pula, belum pernah kujumpai sosok yang tidak bisa bicara.
Bunga mengangguk. Dia pun berdiri lalu melambai padaku, sebagai ucapan selamat tinggal.
Aku bingung dengan semua ini. Namun, tetap kubalas lambaiannya. "Dadah."
Aku amati bayangan Bunga yang perlahan menghilang di balik terpaan salju yang semakin ganas, tanda badai akan segera tiba.
Teringat dengan cendera mata tadi, aku memegangnya lalu mulai berharap. "Berikan aku kehangatan untuk selamanya, aku tidak sanggup merasakan dingin setiap malam."
Usai menutup harapan tadi, kelopak bunga itu mulai memancarkan cahaya. Perlahan menyatu dalam tubuhku, memberikan rasa hangat yang kudambakan. Aku merasa seperti sedang dibuai dalan kepelukan, mataku mulai terpejam.
Perlahan, pandanganku berganti dari badai salju menjadi kobaran api layaknya di perapian seperti di rumah keluarga di atas tadi. Kini, aku merasakan kehangatan seperti mereka. Sekelilingku berubah menjadi suasana rumah lengkap dengan perapian yang menghangatkan serta secangkir minuman hangat. Tubuhku kini dibalut dengan selimut tebal hingga aku pun tidak lagi merasakan dingin.
Tepat di depanku duduk, sosok Bunga sedang duduk menghadapku. Kepala bunganya mengangguk, entah apa maksudnya.
Aku tersenyum, dia memberikan apa yang selama ini kudambakan. "Terima kasih."
Tubuhku kini terasa nyaman, aku mulai terbuai dalam kehangatan. Seperti menari di ladang rumput hijau lengkap dengan sinar mentari yang indah.
Kini, aku merasa nyaman.
***
Begitu mengerjapkan mata, aku sadar kalau tubuhku bergerak di luar kendaliku. Melihat sekitar, aku menyadari sesuatu. Tubuh ini bukan lagi seperti dulu, sekarang sudut pandangku hanya fokus pada area sekitar sosok Bunga, tepatnya menjadi kelopak bunga yang tadi menyatu di tubuh ini. Sadarlah diriku, jika semua ini bayaran atas keinginanku. Namun, nasib saat ini tidak seburuk sebelumnya. Paling tidak, ada rasa hangat dan aman yang dirasakan, meski tidak lagi bebas bergerak. Dilihat lagi, sosok Bunga kembali melangkah ke kota malam tadi, tepatnya menuju tempatku berada.
Pagi hari telah tiba, badai salju mulai mereda sementara matahari masih bersembunyi di balik salju. Seorang wanita berjalan dengan senyuman menghias wajah, seperti ingin menyambut pagi dengan ceria. Namun, pemandangan di depan matanya membuat dia terhenti.
"Astaga! Apa yang terjadi?" Wanita itu melihat sebuah rumah yang tadi malam tampak kokoh, kini menjelma menjadi abu.
Beberapa warga yang melihat tragedi itu mulai mengalihkan perhatian pada wanita itu.
Seorang pria menyahutnya. "Semalam terjadi kebakaran yang melahap habis rumah ini."
"Apa ada yang selamat?" Wanita itu bertanya.
"Sayangnya tidak." Pria itu menggeleng pilu. "Kami juga menemukan jasad seorang anak di bawah tangga depan rumah itu. Kurasa dia berniat bernaung dan tidak menyadari jika rumahnya perlahan terbakar."
"Kenapa bisa?" sahut salah satu warga. "Ini tidak masuk akal, bagaimana bisa satu rumah tidak sadar jika api perlahan menyebar?"
"Tidak ada yang tahu pasti," sahut si pria. "Dugaan, bisa jadi mereka terlalu nyenyak tidur."
Sang wanita bergidik ngeri. "Sungguh malang nasib mereka. Anak itu juga, dia pasti bernaung agar tidak mati kedinginan, tapi harus mengalami tragedi ini."
Bunga, yang sedari tadi menyimak, melangkah menjauh. Kulihat tidak satu pun warga menyadari keberadaannya, apalagi aku yang kini menyatu dalam dirinya.
Para warga hanya diam, tidak mampu berbuat banyak selain memandangi bekas abu rumah yang malam itu berdiri kokoh diterpa badai. Menyisakan bekas keluarga kecil dan seorang anak yang menginginkan kehangatan.
"Aku Ingin Kehangatan"
- Tamat -
Nah, bagaimana menurutmu soal satu cerpen ini? Yah, cerpen ini awal dari salah satu cerita yang berkaitan dengan sosok "Bunga" ini. Kalian pasti bisa menebak kenapa hal itu bisa terjadi, kan?
Berikutnya, bakal lanjut kembali ke Nanala dan Bunga. Karena ini cerpen bagian penting soal anu, jadi aku tambahkan, dong.
Sampai jumpa nanti!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro