26. Desa
"Desamu..." Aku mencoba mencerna kalimat yang baru saja dia ucapkan. Selama ini, hidupku bersama Bunga tidak pernah ada bahaya selain keanehan dari tingkah pemuda yang mencoba menyakiti kami. Selama tinggal bersama Bunga, aku tidak pernah tahu keadaan luar setelah beberapa waktu berlalu. Hanya tahu kabar Ibu jika dia ingin aku hidup bahagia bersama ayahku.
Wanita itu mengiakan, tangannya terasa dingin saat menggenggam punyaku. "Kamu harus waspada, dia ... masih kelaparan." Wanita itu menatap sekitar, seakan memastikan tidak ada yang melihat selain kami. Tanpa meminta lebih dahulu, dia tarik aku mengikuti arah larinya.
Aku merasa jantung berdegup kencang saat kami berlari. Beberapa hari ini dia juga pernah menceritakan kisah yang sama, tapi tidak pernah memberitahu wujud makhluk yang dimaksud. Selama ini, Bunga melindungiku, dia keluar rumah setiap malam demi menjaga aku dari apa pun menghadang di luar sana. Namun, dia tentu tidak bisa bercerita langsung, bisa jadi agar aku juga tidak takut tidur sendirian.
Kupandang sekeliling, waspada akan makhluk yang dia maksud. Pohon-pohon menjulang memeluk kami dalam kegelapan, cahaya mengintip di antara dedaunan hijau, tapi wajah kami tertutup bayangan samar tanda matahari perlahan menurun. Aroma bunga liar yang sudah biasa tercium kini menyambut, aku ingat betul bau sama saat Bunga membawaku berjalan, sesekali terdengar suara kicau burung dan ranting patah saat kami melangkah, membuatku kian waspada, tidak senada dengan detak jantung, pikiran hanya tertuju pada ayahku. Harus menemukan seseorang di desa terdekat yang bisa menolong.
"Dia tadi masih di sekitar sini, kabur saat kami coba serang bersamaan." Wanita itu menambahkan di tengah langkah kami. Dia kembali menatap sekeliling, di antara pohon, semak, bahkan berjalan beberapa langkah mendekat hanya memastikan tidak ada yang mendekat, dia menghela napas, kembali menggenggam tanganku.
Aku tidak bisa melawan, tepatnya berharap dia bisa menolong. Hanya dia manusia lain yang kulihat di sekitar hutan ini, tentu bukan satu-satunya, tapi aku tidak mungkin meminta pada pemuda yang membawa garu itu.
Tiba di desanya, mataku yang coklat menatap sekeliling dengan mulut terganga. Meski tidak pernah dengar secara pasti bagaimana, aku tebak makhluk itu telah mencapai desanya dari kehancuran terpampang di depan. Rumah sekeliling tampak utuh, tapi sebagian warga terlihat bersiaga di depan, tubuh dipenuhi perban membalut perut hingga dada, bahkan tidak sedikit wajahnya tertutupi kain kasa. Mereka menatap kami, tangan-tangan berpegang pada beragam senjata dari parang hingga... Garu.
Aku menelan ludah, tapi melihat wanita itu terus melangkah mendekat, aku ikuti. Para pria yang memegang senjata tidak bergerak banyak begitu kami mendekat, malah menjauh beberapa langkah untuk memberi jalan. Meliaht kondisi sekeliling, warga yang sebagian lagi terkapar, separuh raganya tergeletak, mata kosong memandang meski jiwanya telah direnggut. Aku gemetar, ingin menjerit memohon pada wanita itu agar membawaku pergi. Namun, aku telah memutuskan, demi mencari bantuan untuk Bunga, hanya sesama manusia aku bisa meminta. Meski begitu, keadaan sekitar masih membuatku kian gelisah. Sudah dipastikan dia–makhluk itu, akan kembali lapar dan mencari mangsa baru. Menuju rumahku.
"Ayah..." Aku coba bilang padanya, tapi lidah terasa kaku membayangkan nasib Bunga ditinggalkan. Ayahku... Bagaimana nasibnya? Itu yang aku coba ucapkan, tapi berhenti. Aku ingin segera berbalik untuk memastikan kondisi Bunga yang mssih terbaring tanpa merespons di rumah. Namun, aku tahu kondisinya memburuk jika tidak segera meminta tolong.
"Dia diserang juga?" Wanita itu berhenti melangkah tepat di tengah desa, kami dikerumuni warga yang menatapku tajam, jelas tidak kenal dengan penampilan rambutku yang dipenuhi bunga. Hanya dia di depan yang membuatku sedikit mampu untuk sedikit saja bicara. Mata wanita itu menatapku, kulihat air matanya mulai mengering saat kami berlari. "Jangan bilang ... dia sudah menjelajah." Dia kembali menatap sekeliling, sebagian warga juga mengikuti arah pandangnya, siap dengan apa pun di tangan untuk melindungi diri.
Aku tidak tahu apa yang menyerang ayahku. Teringat tubuhnya dipenuhi tetesan darah dan luka bekas tusukan, terutama bagian perut yang nyaris memanjang ke jantungnya. Meski berusaha mengobati luka dan membuat darahnya tidak lagi menetes, Bunga tetap melemah dan tidak merespons. Aku memberanikan diri menjawab, tidak bisa aku biarkan seseorang kebingungan dengan keadaanku. "Ayahku ditusuk, nyaris saja jantungnya kena." Aku coba jelaskan.
"Apa ayahmu dicakar juga?" Dia bertanya. Menatap warga yang tubuhnya dibalut perban yang masih memperlihatkan bekas darah pada dada dan perutnya. "Makhluk itu, dia tidak tampak seperti binatang buas, tapi bisa mencakar apalagi menusuk dengan sihirnya."
"Ayahku datang sudah terluka parah, tapi dia tidak mau aku pergi." Aku menunduk, merasa ragu untuk berlama-lama di luar. "Aku coba keluar untuk meminta tolong, tapi Ayah menahan, tidak ingin aku keluar rumah tanpa ditemani."
"Ayahmu pasti sama resahnya dengan kami." Wanita itu mengangguk. "Kami ingin tahu, di mana rumah kalian pastinya?"
Kupandang desa yang tampak sunyi, meski tadi sinar matahari menyinari tempat kami berpijak, di desa itu masih terselubung kabut. Wanita itu melangkah, memberi isyarat agar diikuti. Beberapa warga terus menatapku, terlebih rambutku yang dipenuhi bunga. Namun, tiada satu pun mencoba bicara. Desa ini, terlihat sunyi dengan rumah yang masih tertutup, tapi di tengah itu juga terdengar suara rintihan warga yang terkapar maupun tangisan mereka yang ditinggalkan. Sebagian lagi kulihat menangisi keluarganya yang tubuhnya tidak utuh lagi–sebagian raga saja yang tersisa, sementara yang meratapi hanya bisa terus memohon dalam tangisan. Aku menahan diri, bayangan nasib Bunga seperti itu membuatku ingin menangis. Belum sempat berkomentar, wanita itu menuntun ke bagian belakang salah satu rumah.
Aku terdiam, memandang para warga yang tengah berkumpul. Mereka duduk melingkar, masih dengan dibalut kain kasa yang memerah tanda luka masih menganga, beberapa juga kini tidak memiliki bagian tubuh tapi masih bernyawa, sementara yang masih utuh raganya tetap di bagian luar lingkaran, melindungi mereka yang terluka dengan senjata pada tangan. Saat melihat wanita itu, pandangan tajam mereka langsung tertuju padaku.
Seorang pemuda mengarahkan garu padaku. Satu kata yang membuatku bungkam. "Bunga!" Matanya memerah, sementara beberapa orang menahannya. "Ada bunga di rambutnya! Itu pasti dia!"
Bunga? Bukannya makhluk yang dia maksud itu harusnya lebih buas? Aku mencoba menjelaskan jika bunga-bunga ini datang sejak aku dilahirkan, tapi–
Wanita itu berdiri di depanku. "Hei, tenang! Itu cuma hiasan rambut."
Ingin sekali aku bilang, "Bukan, aku punya ini sejak lahir." Namun, melihat reaksi warga, diam jadi pilihan tepat. Teringat juga saat masa kecilku, anak-anak desa menarik rambut ini karena dipenuhi bunga. Tidak ingin kejadian terulang, aku ikuti saja alur. Tidak ingin rambutku kembali ditarik paksa.
"Terlalu banyak hiasan." Aku dengar komentar seorang warga. "Itu malah bisa bikin makhluk itu semakin mudah mencari. Lepaskan!"
Aku melangkah mundur, wanita itu segera merangkul aku. Dia bicara dengan lantang sembari menunjuk mereka yang menatapku dengan tajam. "Ini anak kecil! Makhluk itu sangat tinggi, lagipula dia masih kecil dan pasti suka memakai benda-benda lucu. Kalian harusnya melindungi yang lebih muda!"
Mereka saling tatap, menunggu di antara mereka berkomentar. Namun, beberapa detik berlalu dalam diam, akhirnya seorang dari mereka membalas ucapan wanita itu. "Sebentar lagi gelap. Sebaiknya kita bersiap. Dia pasti kembali lapar."
Buset, gak update sejak zaman purbakala. Maaf kalau misal kelamaan, sebenarnya ada beberapa hal wadidaw seperti yang aku jelaskan. Aku menempuh pendidikan dan pergi menjelajahi suatu negeri di luar Indonesia (literally) tanpa browsing hanya untuk menemukan sebuah jawaban.
Ketemu? Enggak, sih.
Jadi, yah, tentu aku masih ingat semua isi ceritanya, hanya saja aku perlu sedikit menekan ritme adegan supaya gak terlalu kelayapan wkwkwk
Makasih udah baca sampai bab ini, sampai jumpa nanti!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro