Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

24. Bunga Memberi Kado

Fajar telah tiba, aku melepas pelukan dan memeriksa kondisi Bunga. Harapan agar kondisi ayahku membaik setelah semalaman beristirahat. Namun, keadaan Bunga tidak juga membaik. Dia masih terbaring lemah di kasur dalam keadaan berselimut, gemetar sementara darahnya telah mengering di bagian luka yang dibaluti kain-kain. Dikuasai kecemasan, aku sentuh tangannya, terasa sedikit dingin. Kulit dia pucat sedari kemarin, belum terlihat tanda dia bergerak.

"Ayah." Aku berucap cemas.

Tangan Bunga dengan pelan membalas genggamanku, tanda dia masih bersamaku.

Aku menarik napas lega. "Ayah mau sarapan?" Aku tahu dia tidak makan jenis makanan yang sama denganku, tapi setidaknya hari ini ada sinar matahari untuknya.

Dia tidak merespons. Namun, aku tahu dia masih mendengarku. Barangkali jawabannya, "tidak." Namun, dia harus makan agar lekas pulih.

Aku melihat sekeliling, ingat jika Bunga senang duduk untuk berjemur. Mataku tertuju pada jendela yang tertutup gorden, di situlah cahaya matahari akan menerpa. Aku buka gorden itu, membiarkan matahari menyinari ruangan ini beserta Bunga, meski posisinya sedang membelakangi.

"Ayah, ini ada matahari." Aku mendekat, dengan lembut mencoba membalikkan badannya yang tinggi. Namun, dia terlalu berat.

Bunga menumpu badannya dengan tangan, dia membalikkan badan dengan gemetar. Begitu berhasil menghadap matahari, dia berbaring lagi, membiarkan cahaya matahari menyinari tubuhnya. Yang aku tahu, ini kegiatan disenangi Bunga setiap hari. Bahkan di musim gugur yang mulai dingin ini, setidaknya masih ada secercah cahaya baginya.

Tetap duduk di sisi Bunga, aku genggam tangannya. Ingin memberikan rasa aman seperti yang dia lakukan padaku. Bunga membalas dengan menggengam tanganku. Selama beberapa saat hening, kami tidak saling bicara, hanya memperhatikan keadaan sekitar yang masih dipenuhi dedaunan jingga berguguran.

Duniaku kini terasa berat ditambah sebentar lagi akan tiba musim dingin, aku biasanya akan disediakan minuman hangat oleh Ibu. Meski saat ini, semua bajuku rupanya telah disediakan Bunga di lemari, aku tetap membutuhkan air hangat sewaktu-waktu. Namun, dalam keadaan sekarang, rasanya tidak pantas bagiku untuk meminta.

Perutku keroncongan.

Kulihat kepala Bunga bergerak pelan, tangannya menunjuk ke arah pintu, barangkali bermaksud menyuruh aku pergi dapur. Aku menafsirkan kalau dia menyuruh untuk segera makan.

"Ayah tidak ikut makan?" Aku kembali bertanya, berharap dapat membantunya barang sedikit. Aku tahu kalau Bunga hanya makan dari sinar matahari, tapi kukira makanan lain setidaknya dapat sedikit membantu dia untuk pulih.

Bunga tunjuk ke arah jendela yang memantulkan matahari, barangkali itu makanannya yang utama. Ingin sekali aku tahu apa saja yang ayahku santap, agar bisa membantu memulihkan dirinya. Namun, sepertinya saat ini dia hanya mengandalkan sinar matahari.

Berat hati aku lepas genggaman, tapi tidak ingin menentang dengan tidak segera melangkah menuju dapur. Dalam ruang penyimpanan di sana, tersimpan beberapa makanan yang telah diawetkan. Meski sebagian besar berupa daging tanpa tulang yang sepertinya tinggal siap dipotong kecil, aku ingat kalau semua itu harus dimasak. Biasanya Bunga langsung memberiku makanan yang telah siap saji. Namun, saat ini tentu aku tidak bisa menyuruhnya, apalagi berani memasak sendiri. Kututup kembali lemari penyimpanan dan bergerak menuju lemari lain.

Saat mata menyusuri lemari makan di sebelah sana, terlihat sejumlah buah yang masih disimpan. Aku tahu jika Bunga dapat mengendalikan beragam tumbuhan, mungkin saja dia menumbuhkannya untuk berjaga-jaga. Ayahku bisa kubilang pria yang selalu siap siaga, walau melihat keadaannya saat ini sungguh tidak terduga bagiku. Barangkali dia sudah menerka sejak awal atau aku yang kurang bersiap.

Aku ambil beberapa buah apel di antara tumpukan buah yang tersimpan. Segera membawanya ke hadapan Bunga. "Ayah, cobalah."

Aku belum pernah melihat Bunga makan selain saat dia duduk diam di bawah cahaya matahari setiap hari, seperti yang terjadi saat ini. Dalam beberapa kesempatan, Bunga akan pergi keluar dan kembali pulang tanpa memberitahuku apa yang dia lakukan secara pasti. Kurasa untuk menjagaku dari bahaya, terlebih kami hanya tinggal berdua di hutan. Kini, dia tentu tidak bisa melakukannya. Aku harus membantunya.

Kedua tanganku masih menampung beberapa buah apel untuknya. Tidak ada satu pun yang diambil. Aku mulai cemas, kalau dia tidak juga mau makan, sakitnya bisa bertambah parah.

"Ayah, ayo makan!" Aku dekatkan buah-buah itu ke wajah bunganya. Hatiku tergetar melihat kondisi ayahku yang melemah sejak kemarin.

Tangan Bunga perlahan terangkat, tapi dia gunakan untuk mendorong pelan kedua tanganku. Dia menggeleng, lagi-lagi menolak.

Aku menunduk, bingung harus berbuat apa lagi. "Aku ... akan cari bantuan." Kuucapkan dengan penuh tekad. Bagaimanapun, ayahku harus selamat.

Tangan Bunga dengan pelan meraih tanganku, dia menggeleng pelan.

"Keadaanmu tidak juga membaik, Ayah harus dapat bantuan. Aku ... tidak ingin kehilanganmu." Aku memelas, mata terasa panas akibat air mata memenuhi pandangan.

Genggaman Bunga kian erat, masih terasa kehangatan yang biasa kurasakan. Dia seakan memberiku isyarat untuk tetap di sini bersamanya.

"Ayah yakin?" Aku ragu.

Bunga tidak menjawab, genggaman tangannya telah melonggar, tanda dia kembali beristirahat. Namun, tangan kami masih saling berpegang.

Aku biarkan dia disinari matahari dan mulai sarapan di sisinya.

***

Malamnya, di hari ulang tahunku yang kedelapan, keadaan Bunga masih sama. Dia terbaring di kasur dengan selimut yang menutupi tubuhnya, masih gemetar.

Aku yang berbaring di sisinya kian cemas, segala pikiranku berpusat padanya. Aku harusnya bisa menolong. Tanpa sadar, air mata kembali membasahi pipi, hati terasa teriris menyadari kalau aku mungkin akan ditinggalkan lagi.

Namun, tangan Bunga bergerak perlahan mengelus rambutku. Memberi rasa tenang sejenak di balik kegelisahan. Bahkan dalam kondisi buruk saja dia masih tampak mendahulukan diriku.

"Ayah ... tidak apa-apa, 'kan?" Aku bertanya penuh harap, mencoba mengatur napas di balik tangisan yang mencekik.

Bunga balas dengan mengusap pipiku yang basah karena air mata.

Bunga-bunga kecil yang menghias kepalaku satu per satu jatuh ke tubuh Bunga. "Eh, maaf." Aku pungut beberapa dan mencoba memasangnya kembali ke rambut, tapi justru terlepas.

Saat aku coba memasang kembali kelopak bunga yang jatuh tadi, beberapa tumbuh kembali di rambutku seperti biasa. Namun, aku masih merasa sayang dengan yang berguguran. Teringat lagi akan hari di mana anak-anak desa menarik rambutku, meski bisa tumbuh kembali, rasa sakit masih terasa. Namun, bunga-bunga kecil ini jatuh sendiri, tidak terasa.

Kulihat Bunga perlahan mencoba duduk, secara refleks aku tahan bahunya yang berat, memastikan dia tidak terjatuh. Begitu dia dalam posisi duduk, tangan Bunga menggengam tanganku.

Aku biarkan kedua tangan kami bertemu, terasa hangat meski tubuhnya tampak pucat. Perlahan, bunga-bunga kecil yang terkumpul di tanganku tadi menjelma jadi sekuntum bunga putih sebesar telapak tangan. Bersinar dalam kegelapan malam, membuatnya tampak bagai kemilau.

Aku terpana menyaksikannya. "Ini untukku?" Aku bertanya-tanya. Meski ayahku sudah beberapa kali memberi bunga cantik padaku, masih saja pemberian ini terasa istimewa.

Bunga mengangguk pelan.

Aku bergerak memeluknya erat. "Terima kasih!" Hatiku terasa hangat berkat hadiah beriannya. Bahkan dalam keadaan sakit pun dia masih berusaha membuatku senang.

Tubuhnya terasa berat, nyaris saja menindih aku. Aku perkuat pelukanku, menyadari kalau dia kembali melemah.

"Ayah?" Aku kembali membaringkan ayahku di kasur dan menyelimuti tubuhnya. "Ayah tidak apa-apa?"

Tidak ada jawaban selain dia kembali menggenggam tangan kiriku dengan lemah. Dia memang tidak bicara, tapi aku merasa bahkan dalam kondisi seperti ini dia masih berusaha mencairkan suasana.

Kuamati kembali hadiah berian Bunga di tangan kananku. Belum pernah kulihat bunga bersinar dalam kegelapan sebelumnya. Aku genggam kembali hadiahku dan mendekapnya. Ini kado ulang tahun pertama dari Bunga.

Buset, Kiprang pas habis ngilang hampir tiga bulan malah update dua kali seminggu di lapak ini. Gimana perasaan kalian? Bodo amat? Okeh

Perjuangan Kiprang tidak hanya perkara mengetik, tetapi juga promosi di tengah badai cerita biasa saja, bahkan pernah dikomen disuruh bikin cerita mainstream saja saat promosi. Tidak apa-apa (walau apa-apa) :"v

Sampai jumpa nanti!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro