Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17. Bunga di Tengah Malam

« ??? »

Bunga-bunga putih kembali bermekaran. Meski terlihat kecil, aku tahu kalau kejadian ini tidak wajar, mengingat musim dingin akan datang dalam beberapa hari. Tanpa sebab, mereka mekar pada tengah malam ini, beberapa saat sebelumnya tanah ini kosong layaknya halaman depan rumah pada umumnya.

Siapa gerangan yang menanam bunga di tengah malam? Aku bertanya-tanya. Tidak bisa kutanyakan ini pada para tetangga besok, mereka bakal mengira aku telah kehilangan akal. Namun, lebih aneh lagi, bunga ini seakan tidak asing. Aku yakin pernah melihat bentuk yang sama beberapa waktu lalu. Seperti milik-

"Kau belum juga tidur?" tanya adikku. Dia pasti merasa heran melihatku tiba-tiba menghilang dan ditemukan sedang berdiri di depan rumah. Sudah pasti dia tidak berani tidur sendiri. Walau begitu, tindakannya cukup hebat karena berani keluar kamar di tengah malam untuk mencariku.

"Kau pernat lihat bunga ini?" Bukannya menjawab, aku justru mengalihkan topik. Namun, memang bunga itu jauh lebih penting dibahas saat ini.

Matanya menerawang ke tanah yang dipenuhi bunga putih, rambut panjangnya dibelai angin malam yang dingin. Untuk beberapa saat, adikku diam sebelum menatapku. Bibirnya tampak bergetar. "Seperti bunga di rambutnya Nanala."

Mendengar nama itu membuat bulu kudukku meremang. Ingatanku kembali pada kejadian beberapa minggu lalu.

***

Nanala, gadis yang pernah kami sapa beberapa waktu lalu. Dia anak gadis yang pernah jadi korban perundungan. Semua karena mereka ingin mengambil bunga penghias rambutnya. Dia selalu menahan kami dari bunga-bunga cantik itu, yang mana membuat kami kian penasaran.

Sejujurnya, aku tidak pernah merasa aman semenjak Nanala tinggal satu desa dengan kami. Kisah kelahiran tanpa ayahnya, serta dipenuhi bunga itu, sudah menjadi bendera merah bagiku. Membuatku jadi lebih mau menjauh alih-alih bergaul dengannya seperti yang lain. Sejauh dia bermain dengan kami, memang Nanala bertingkah seperti anak lain. Namun, aku merasa ada yang aneh darinya.

Hingga beberapa saat bermain bersama, salah satu bocah menarik paksa rambut Nanala hingga gadis itu tersungkur. Wajahnya dikotori dengan tanah. Bukannya membantu, aku justru terpaku menyaksikan dia ditertawakan sekumpulan bocah lainnya.

Bunga-bunga kecil yang melekat di rambutnya sebagian terjatuh. Menyatu dengan tanah yang kotor. Kulihat rambut pirangnya masih utuh, tapi gadis malang itu tampak kesakitan.

Nanala menangis. Dia bahkan tidak sanggup berdiri untuk kabur dari mereka. Untung mereka membiarkan saja gadis itu di tanah.

Mataku menangkap bayangan dari kejauhan, terlihat ibunya Nanala datang sambil memegang sapu. Beliau merupakan wanita paruh baya yang biasanya berkeliling desa untuk mencari bunga-bunga indah, sama dengan sang anak. Beliau mulai mengancam dengan sapu begitu melihat Nanala tersungkur di tanah. "Kalian apakan Nanala?!"

Kami semua terdiam. Hanya dengan itu, dua bocah yang berdiri depanku mulai saling tatap, menunggu keputusan.

Ibunya membantu Nanala berdiri dan menjauh, untung saja sapu itu tidak mengenai kami. Namun, sebelum mereka kian menjauh, wanita itu sempat mengucapkan kalimat yang tajam. "Tunggu saja sampai ayahnya datang!"

Begitu mereka pergi, adikku menatap bocah yang menyakiti Nanala. "Kau ini beraninya menyakiti Nala!"

"Kenapa, sih?" sahut salah satu bocah. "Kami cuma penasaran dengan hiasan rambutnya. Dia yang pamerin, masa gak mau disentuh?"

"Jangan ditarik juga kali!" Adikku membentak. "Kalau ayahnya tahu-"

"Alah, paling itu anak hasil zina," potong salah satu gadis, saudsri dari si bocah. "Mana ada orang lahir tanpa ayahnya? Minimal ibunya beritahu kerjanya apa, bukan cuma diam, seakan malu mengaku."

Aku menggigit bibir, menahan diri agar tidak nyilu mendengarnya. Bahkan di usia semuda itu, dia tahu istilah 'zina.' Bukannya seorang anak belajar hal buruk dari orang dewasa di sekitarnya?

"Sudahlah," lanjut gadis itu. "Paling juga besok damai lagi."

Pada hari itulah, mereka lanjut bermain sementara aku dan adikku memutuskan untuk pulang. Untung saja, ibunya Nanala tidak ingin memperpanjang perkara dengan mengadukan pada orang tua kami.

Tiba esok hari, kudengar kabar jika Nanala pergi tanpa meninggalkan pesan sama sekali.

***

Kembali ke masa sekarang, aku menatap adikku yang sudah mulai menguap walau berikutnya dia paksa untuk terjaga akibat melihat bunga-bunga putih kian bermekaran menghias jalan.

Tidak disangka, dua bocah yang bermain bersama kami waktu itu juga bermunculan. Aku terheran melihat kebetulan yang aneh ini.

"Apa yang dilakukan Nanala ke sini?" tanya bocah itu sambil memandangi bunga-bunga putih yang bermekaran tanah.

"Aku tidak ingin dia kembali, sih," ucap gadis itu dengan pelan.

Memang, tidak ada yang berani menyakiti Nanala semenjak ancaman itu terdengar. Yah, dia memang pergi besoknya tanpa memberi kabar lagi, tapi aku yakin ancaman itu sukses membuat mereka bungkam. Aneh sekali jika Nanala yang sudah sebulan ini pergi memutuskan untuk kembali. Apa gerangan yang dia inginkan? Jangan-jangan ...

"Sebaiknya kita sembunyi!" Aku meraih bahu adikku, tentu saja aku serius, menyadari betapa menakutkannya situasi ini.

"Aku takut sendirian!" Mata adikku mulai berkaca.

"Boleh menginap di rumahmu?" Si gadis menatapku dengan mata memelas.

"Apa-apaan? Kau juga punya rumah!" Aku menolak dengan ketus. Dia berani menghina anak orang dan mengira aku bakal membantunya?

Pandanganku menangkap bayangan dari kejauhan. Sosok tinggi melangkah pelan bersama bunga-bunga putih menghias langkahnya. Dari kaki hingga badan, terlihat seperti pria biasa. Namun, begitu mataku menangkap wajahnya. Bulu kudukku meremang.

Sosok itu memiliki kepala besar berbentuk bunga putih dan biru. Dia hanya diam, berdiri memandang begitu tatapan kami bertemu. Bentuknya yang tidak wajar sukses membuatku gemetar. Sementara ketiga bocah di sisiku menjerit tertahan.

Aku meraih tangan adikku dan berlari kembali ke rumah. Parahnya, kedua bocah tengil itu memaksa masuk, memicu sedikit keributan di dalam. Untung saja, ibuku mungkin masih terlelap sehingga terlalu lelah untuk mengurus kekacauan ini. Akan tetapi, aku masih merasa tidak nyaman.

Tanpa berpikir panjang, aku biarkan kedua anak itu diam di ruang tamu. Aku dan adikku kembali ke kamar lalu menguncinya rapat.

Kamar sengaja aku matikan lampu agar terkesan kalau kami tidur dan tidak menyadari keadaan luar sana. Berdua, kami meringkuk di kasur, berusaha agar tidak menciptakan keributan. Adikku mulai mengeluarkan suara menahan tangis, tanda betapa takutnya dia.

Aku tahu, Nanala itu manusia seperti kami. Dia bukan penyihir atau makhluk magis seperti di luar sana, tapi tetap saja bagi kami dia ancaman. Terlebih secara fisik ada perbedaan mencolok di antara kami-bunga di rambutnya. Namun, siapa sosok manusia bunga itu?

Terlintas dalam pikiranku akan ancaman dari ibunya Nanala. "Tunggu saja sampai ayahnya datang!"

Langkah kaki kembali terdengar. Rupanya makhluk itu berhasil masuk ke dalam rumah. Aku refleks memegang tangan adikku, berusaha menenangkan diri. Semakin dekat, membuat jantungku berdetak tak karuan.

Terdengar ketukan pintu dari luar. Aku tidak menyahut, sudah pasti itu dia. Apa pun alasannya, aku tidak akan menyukainya.

Jerit tangis dari kedua bocah itu terdengar. Segera aku menangkap suara langkah kaki mereka bergerak menuju kamarku. Namun, hening beberapa saat. Jantungku berdegup kencang.

Bayangan sosok berkepala bunga tampak jelas di balik gorden jendela kamar. Dia terus mengetuk kaca dengan pelan dengan ujung telunjuknya.

Pecahlah tangis adikku, dia menjerit menyahuti. "Pergi kau! Pergi!"

Kami memutuskan untuk keluar dari kamar. Menghadapi sosok yang berdiri diam depan kamar. Namun, di sisi kanannya tampak dua bocah itu saling berpelukan. Gemetar menatap sosok tinggi itu.

"Mau apa ke sini, hah?!" ujarku, berusaha agar tidak terdengar gemetar.

Makhluk itu diam saja.

Bunga-bunga putih kembali bermekaran di sekitar kami, menembus lantai kayu dan bergerak seakan menahan kaki kami. Kulihat respons semua orang dalam rumah ini sama, menjerit.

"Ampun!" Gadis itu menjerit, dia berlutut di depan sosok berkepala bunga. "Aku mohon, jangan sakiti kami!"

Tepat ketika dia menjerit, keluar bunga putih dari mulutnya. Dia muntahkan ke lantai. Bunga putih yang mekar mulai mengotori lantai selagi sang gadis ambruk. Wajahnya pucat dengan mata melotot, tak terlihat cahaya kehidupan di balik tatapannya.

Aku gemetar, kaki seakan tidak sanggup menopang raga ini. Terlebih mendengar jerit tangis adikku dan bocah itu menyaksikan kematian di depan mata.

"Ada ... apa ini?" Aku gemetar. Tidak mungkin dia makan bunga selama ini.

Ujung mataku menangkap sosok tinggi di depan kami, jantungku terasa ingin kabur begitu melihatnya mematung seakan tidak terjadi apa-apa.

"Kau ... Ayahnya." Bibirku bergerak dengan gemetar.

Ucapanku direspons adikku dan bocah itu dengan tangis tertahan. Keduanya tentu tidak sering melihat sosok seperti itu, tidak manusiawi sekaligus tidak seperti tumbuhan yang biasa kami lihat.

Sosok itu berjalan mendekat. Tingginya seperti dua orang dewasa, sukses membuat seisi rumah ingin segera berlari menyelamatkan diri. Namun, tiada dari kami yang bergerak, ketakutan telah menguasai.

Aku berusaha mundur, meski tidak sampai selangkah kembali terpaku. Ingin jauh dari ancaman, tapi kaki terasa kaku. "Eh?"

Kakiku terjerat sulur.

"Kakak!" Kudengar jeritan adikku. Kedua kaki dan tangannya telah dijerat sulur tadi.

Tanganku bergerak untuk meraihnya. Namun, justru sulur-sulur tadi mengikat tubuhku. Menyisakan mata untuk menyaksikan semua.

Tubuh gadis yang terkapar tadi telah ditutupi sulur. Sementara bocah itu juga terbungkus dan ditarik menuju makhluk itu.

"Jangan! Jangan!" jerit bocah itu, air mata mulai membasahi pipinya.

Makhluk itu meraih badan kedua anak yang terbungkus. Dia remuk badan mereka layaknya memeras jeruk, membiarkan cairan merah jatuh ke kelopak bunga di kepalanya. Namun, sekejap itu juga segalanya lenyap, menyisakan sosok itu berdiri diam seakan tidak terjadi apa-apa.

Tangannya terlihat dua kelopak bunga kecil, dia genggam dan berbalik menatap kami. Meski makhluk itu tidak berwajah, dia sepertinya menatapku dengan tajam. Apa yang dia inginkan? Apa hanya untuk perhiasan saja? Itu bayaran atas nyawa kami?

Aku melirik ke arah adikku. Dia pun melakukan hal yang sama. Tanpa berkata-kata, tubuhnya perlahan tertutupi sulur.

Makhluk itu menatapku, tanpa wajah, aku tidak dapat menebak ekspresinya. Namun, bagian dari hatiku mengatakan jika dia masih menyimpan amarah padaku.

Bayangan akan kejadian yang menimpa Nanala kembali muncul dalam benakku. Meski aku tidak terlibat langsung, seharusnya aku paling tidak membantu dia untuk berdiri. Namun, semua terlambat.

Mataku kembali menatap kepala sosok itu. Hanya terlihat bunga dengan kelopak putih serta biru menghias kepalanya. Namun, itu hal terakhir yang kulihat sebelum tubuhku mulai tertutupi kegelapan. Menyisakan jiwaku yang ketakutan dalam kegelapan malam.

"Bunga di Tengah Malam"
- Tamat -

Waduh, ini kelanjutan dari bab sebelumnya btw. Ini moment ketika lu jahilin anak orang trus datang bapaknya marahin lu. Nah, gimana pengalaman kalian? Pernah ngalamin? Makanya, jan iseng kalo jadi orang 🗿

Btw, sekarang udah makin jelas ya kalau Pak Bunga ini makannya ada dua cara, kayak tumbuhan biasa sama makan orang awowkkwk

Nah, berhubung belum anu, jadi kutambahin bagian ini supaya lebih anu. Di bab berikutnya langsung ada kelanjutannya.

Jadi nanti bakal dijelasin lagi anunya gimana, untuk saat ini, kita lanjut ke bab berikutnya!

Bonus meme!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro