19. Luka
Pagi-pagi sekali Jeongwoo terbangun dari tidurnya yang nyaman. Setelah aksi heroiknya (menurutnya) malam kemarin, Jeongwoo kembali diberi pengobatan dan berakhir tertidur karena merasa lelah. Lalu keesokan hari, pagi ini Jeongwoo terbangun lebih dahulu dari Junghwan dengan perasaan yang lumayan baik---tubuhnya tidak terasa sesakit kemarin.
Kepala Jeongwoo melihat sekeliling. Dia tidak tahu jam berapa saat ini. Tidak ada jam di klinik, ataupun ponsel miliknya untuk mengecek jam. Tapi menurutnya mungkin saja sekarang berada dikisaran jam 6 pagi. Hm... ini terlalu pagi jika dibandingkan dengan jadwal bangun Jeongwoo yang biasanya: mendekati jam 8 yang selalu hampir membuatnya terlambat ke sekolah.
Jeongwoo beranjak dari ranjang. Matanya sekilas memandang dirinya sendiri. Tubuh bagian atasnya masih dibalut dengan perban putih baru yang diganti kemarin malam, semetara bawahnya hanya bercelana panjang. Untuk rambut, tidak ada cermin untuk melihat bagaimana bentuk rambutnya, tapi Jeongwoo bertaruh tampilannya tidaklah lebih baik dari pada sarang burung.
Jeongwoo pun bergerak, melangkahkan kakinya secara perlahan mendekati pintu dan memutar kenopnya. Pintu terbuka, menyuguhkan pemandangan hijau dengan cahaya matahari hangat yang naik perlahan.
Aroma hutan yang khas memenuhi paru-paru Jeongwoo. Dia menarik napas mencoba meraup udara segar sebanyak mungkin dan melapaskannya perlahan. Indah, tenang, dan damai. Tempat ini bagus untuk dipakai menetap---terlebih secara permanen. Bisa dilihat dari banyaknya kabin-kabin yang tersebar---ada yang tinggal seorang diri, ada yang tinggal dengan keluarga besar, meraka telah tumbuh turun-temurun di sini.
Menghela napas sejenak, Jeongwoo jadi berpikiran untuk tinggal menetap (walaupun instingnya mengatakan orang-orang di sini akan memaksanya tinggal, tapi Jeongwoo akan menyerahkan diri dengan suka rela).
Bergulir ke sudut lain, lingkungan luar masih sepi dengan kegiatan aktivitas rutin. Lalu lewatlah Yoshi yang mengenakan kemeja bersih dengan celana dasar hitam memeluk beberapa buku di dalam dekapannya. Kakinya yang berbalut sepatu bots melangkah dengan cepat seolah-olah sedang mendapat tagihan tugas guru di detik-detik terakhir. Tapi yang hebatnya, Yoshi masih sempat mengedarkan pandangan, dan berakhir menemukan Jeongwoo bertelanjang dada (dalam kasus ini berbalut perban) berdiri santai di depan pintu klinik yang terbuka.
Matanya melebar. "Jeongwoo!" Yoshi berseru keras. "Kenapa kau ada di luar, hah?!" Astaga, mode ibu cerewetnya sedang aktif. Kakinya dengan agresif melangkah mendekati Jeongwoo. "Kau belum pulih sepenuhnya!" omel Yoshi.
Dalam kondisi tersebut, Jeongwoo paham betul seharusnya dirinya merasakan sedikit tekanan mental karena langsung disuguhkan dengan ceramah kasih sayang. Tapi Jeongwoo tidak gentar, tidak sedikitpun.
Jeongwoo masih bersikap tenang. Matanya menangkap jika buku-buku yang dibawa Yoshi tampak seperti buku pelajaran, tapi terlihat usang seperti buku lama. Hm... Jeongwoo jadi penasaran.
"Buku untuk apa itu?" tanya Jeongwoo.
Yoshi mendengus. "Jangan alihkan pembicaraan," peringatnya.
Itu memanglah pengalihan isu topik pembicaraan. Tapi rasanya topik yang satu itu benar-benar layak untuk dibahas. Jeongwoo tidak akan pantang mundur membahasnya.
"Kau itu terluka dan masih dalam masa pemulihan. Sekarang masuk, dan istirahat. Mungkin sebentar lagi akan ada yang mengantar makanan untukmu," kata Yoshi. Kini mata Yoshi memandangnya dengan teduh, dan sarat akan peduli. "Masuklah, jangan buat aku khawatir."
Mendengar itu Jeongwoo mendecak. "Jangan begitu. Orang sakit paling benci dikasihani, mereka tidak suka dianggap lemah."
Yoshi menghela napas. "Baiklah... terserah kau saja."
Jeongwoo menggidikan bahu. "Kau belum menjawab, buku itu untuk apa?"
Yoshi melirik pada buku dalam dekapannya. "Buku untuk belajar," jawabnya.
Belajar? Jeongwoo terkekeh meremahkan. "Ini hutan. Memangnya kalian punya sekolah?"
Yoshi sudah menduga akan mendapat reaksi seperti itu. Dia mencoba untuk memakluminya. "Yang kami pelajari berbeda," jelasnya.
"Maksudnya mempelajari seluk beluk manusia serigala? Seperti anatomi dan lainnya?"
"Nah, itu kau tahu."
Mata Jeongwoo melebar. Dia tarik kembali ucapan sebelumnya. "A-aku boleh ikut?"
"Kau masih---,"
"Kumohon!"
Yoshi kembali menghela napas. "Baiklah..." nada suaranya terdengar terpaksa. "Tapi sebelumnya kita periksa dulu bagaimana keadaan lukamu."
.
.
.
"Ini aneh," guman Jeongwoo yang melihat keadaan lukanya. Garis panjang dan dalam di sekitar dada. Terlihat mengerikan, dan Jeongwoo merasa terkejut dirinya masih bisa sadar saat ini. "Tapi... keren."
Sebuah dengusan Yoshi berikan. "Keren untuk membuatmu mati di detik selanjutnya."
Jeongwoo menyengir lebar. Dia berbaring di ranjang dengan dikelilingi perban di sekitar kepalanya. "Kurasa biarpun gen manusia serigalaku lemah, masih membantu sedikit dalam penyembuhan." Jeongwoo membayangkan, bagaimana jika dia dibawa ke rumah sakit dan tenaga kerja medis malah kebingungan kenapa dirinya masih bisa bertahan hidup saat mendapatkan luka cukup-sangat-serius ini. Mungkin Jeongwoo harus bilang ke mereka jika sebagian kecil dari dirinya masih merupakan manusia serigala, makanya dia masih bisa menghirup udara segar biar kata harus tersiksa dulu saat pengobatan.
"Ya, begitulah." Yoshi setuju. "Tapi biar begitu tetap saja ini harusnya ditangani dengan sangat tepat. Sayangnya peralatan di klinik tidak lengkap."
"Tidak apa," kata Jeongwoo. "Ini saja tampaknya sudah cukup." Dia tersenyum kikuk. "Ngomong-ngomong, sudahkah aku berkata terimakasih padamu karena sudah merawat lukaku?"
Yoshi terkekeh ringan. "Menurutmu?" Sebelah tangannya diselipkan ke belakanag punggung, membantu Jeongwoo menahan tubuhnya untuk duduk. Yoshi memasangkan kembali perbannya.
Sembari itu berlangsung, Jeongwoo berguman pelan. "Terimakasih."
Yoshi mendengarnya. Senyuman hangat nan tulus tak terhindarkan. "Sama-sama," katanya.
Beberapa menit ke depan, pemasangan perban telah usai. Lalu tepat setelahnya sebuah ketuka di pintu membuat Yoshi dan Jeongwoo mengalihkan pandangan.
"Oh, Hyunsuk?" Yoshi menyebutkan nama itu. Mata Jeongwoo melotot: jadi itu yang namanya Hyunsuk. "Ada apa?"
"Boleh aku masuk? Aku mau menunggu Junghwan," ucap Hyunsuk.
Yoshi mengangguk. "Tentu saja, kau Alpha di sini, kau bebas mau masuk kemanapun."
Hyunsuk membalas dengan senyuman tipis. "Terimakasih." Kemudian pandangannya beralih pada Jeongwoo. "Bagaimana kabarmu, Jeongwoo?"
"Eh?" Jeongwoo agak bingung menjelaskan kabar terkini dirinya sendiri. "A-aku tercabik-cabik."
"Ya, aku tahu itu. Kami menemukanmu di perbatasan dalam keadaan luka. Benar-benar kacau. Beruntung kau sudah lebih baik sekarang," kata Hyunsuk.
"Ya, beruntung sekali." Mata Jeongwoo kini menerawang, seolah-olah kembali mengingat kejadian malam itu.
Yoshi bertindak cepat. Dia tidak ingin hal itu memicu trauma pasca kejadian pada Jeongwoo. "Oke... kupikir kita harus ke rumah pintar sekarang. Aku tidak mau murid-murid kesayanganku menunggu."
Jeongwoo mengangguk paham. "Kami permisi dulu." Dia beranjak dari ranjang.
Yoshi berjalan keluar terlebih dahulu dengan Jeongwoo yang mengekor di belakangnya. []
A/N:
Gimana update cerita kali ini???
Aku habis nonton Teen Wolf dan dapat pencerahan untuk cerita Wolves....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro