[1]
Perasasaan Lee Chaeyeon sedang melambung tinggi melampau lapisan troposfer. Bibirnya lebar melebihi lebar bumi. Langkahnya ringan seperti helium melayang di udara. Kakinya yang jenjang melompat kecil selincah kaki kangguru membelah gurun. Rambutnya berkibar diterpa angin di bawah terik matahari. Terus berlari menuju rumah, tak sabar membagikan apa yang terjadi padanya hari ini di depan sang kakak sepupu.
Hari ini Park Woojin menyapa Chaeyeon di koridor kelas. Ya, walau pun hanya sapaan kecil, tapi Chaeyeon sudah meledak saking puasnya.
Woojin yang keren, bintang top sekolah yang ditaksir Chaeyeon diam-diam, memanggil namanya di awal pagi yang cerah.
"Chaeyeon-ah," panggil Woojin persis di ambang pintu 10-4. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Punggungnya bersandar di pintu, tatapannya lurus menembus retina hitam Chaeyeon.
"Annyeong." Chaeyeon menyapa pelan. Tatapannya mendadak kosong. Pikirannya meleleh melihat ketampanan Woojin. Untunglah otak Chaeyeon tidak mengintruksikan bibirnya membulat lebar untuk menunjukkan sikap konyolnya.
"Kau mau ke mana?" tanya Woojin.
Mendadak saja perut Chaeyeon bergulung. Gadis itu yakin rambutnya sudah berdiri tegak melawan gravitasi. Pipinya sudah semerah saos tomat buatan bibinya.
"Eo...." Chaeyeon tak yakin. Dia sendiri tak tahu ke mana langkahnya hendak bergerak. "Perpus...." Lidahnya kelu tak mampu berucap.
Segerombolan gadis berlari heboh ke arah Woojin. Berteriak mengelukan nama laki-laki itu yang sedang panas-panasnya menjadi seorang idol. Gara-gara ikut ajang survival, dia dicintai banyak pihak. Tadinya Woojin sudah pusing dikejar gadis-gadis di sekitar lingkungannya. Sekarang sudah naik ratusan jumlahnya yang mengikuti jejak Woojin ke mana pun dia pergi.
"Woojin Oppa, Woojin Oppa! Saranghae!" teriak para gadis mendorong mundur Chaeyeon. Sengaja tidak mengizinkan adanya interaksi satu gadis di depan Woojin.
Penggemar gilanya di sekolah itu bersaing satu sama lain agar diperhatikan Woojin.
Chaeyeon berlalu. Tak ingin tubuhnya terhimpit oleh banyak siswi Busan Sangdan Kodeunghakkyo. Seandainya Woojin sekolah di SMA khusus seniman seperti SOPA atau Hanlim, tentu saja orang lain akan menganggapnya biasa saja. Beda dengan sekolahnya yang ini. Woojin dianggap istimewa. Dia dibanggakan oleh kepala sekolah karena prestasinya.
Teriakan para gadis semakin kencang. Woojin berlari meninggalkan mereka. Tak ingin berjumpa para gadis yang riuh itu. Woojin tak punya pilihan. Manajernya tidak punya otoritas berada di lingkungan sekolah. Lagi pula Woojin ingin masuk kelas, seperti kebanyakan siswa lainnya. Membaur dan tidak dianggap seorang selebritis. Sayangnya, perilaku para siswi sama saja dengan penggemar luar, yang selalu ingin berada di dekatnya.
Chaeyeon sudah cukup melihat Woojin. Dia tidak begitu yakin dengan perasaannya sendiri. Woojin merupakan siswa top di sekolahnya. Gadis itu sudah mengenal Woojin sejak SD. Perasaannya mulai tumbuh melihat Woojin menyanyi semasa SMP, persis saat lagu Winter Child dinyanyikan di hari ulang tahun Chaeyeon.
Sekarang jarak di antara mereka semakin merenggang. Woojin sudah popular, teramat popular malah. Akhirnya, kuantitas kebersamaan mereka tidak sebanyak sebelumnya. Woojin hanya satu dua kali dalam sebulan masuk kelas. Chaeyeon jelas kehilangan sosok Woojin. Sayangnya Woojin langsung hilang setelah mengikuti dua jam pelajaran karena jadwalnya.
Chaeyeon tak sabar menanti bel terakhir berbunyi. Demi menceritakan segalanya pada Kwon Eunbi.
"Eunbi Eonni!" jerit Chaeyeon membanting pintu kamar Eunbi. Matanya memindai seisi kamar yang didominasi serba ungu muda yang dingin tak tersentuh. Bahkan pemanas ruangan di kamar itu dimatikan.
"Eunbi Eonni tidak ada!" gumam Chaeyeon sedih. Dia menutup pintu kamar dengan lesu.
Bibinya sedang lewat dan membawakan sekantong belanjaan. Anjing peliharaan mereka menggonggong riang, mengekori Kwon Yeulhwa.
"Eomma," rengek Chaeyeon. Bibirnya mengerucut kecewa mendapati sang kakak sepupu tidak ada di rumah.
Yeulhwa tersenyum menanggapi sikap manja Chaeyeon. Keponakannya ini sudah terbiasa memanggilnya Eomma sejak kecil. Mungkin karena ibunya sendiri jarang pulang, dan hampir sebagian besar, Chaeyeon diurus oleh Yulhwa. Dia sudah dianggap anak sendiri, dibelikan baju yang sama seperti Eunbi dan memiliki kamar sendiri di sebelah Eunbi dengan interior yang sama persis. Bedanya kamar Eunbi jauh lebih rapi sedangkan Chaeyeon tidak.
"Wae?"
"Eo wae?"
Yulhwa meletakkan belanjaan ke meja makan. Ditatapnya penuh sayang Chaeyeon. Keponakannya begitu lesu sampai kepalanya terkulai layu gara-gara Eunbi tidak ada di rumah.
"Eunbi Eonni di mana?" tanya Chaeyeon.
Chaeyeon tahu Eunbi sedang keluar, tetapi untuk memastikannya, dia ingin sekali tahu, di mana keberadaannya.
"Kakakmu pergi ke Seoul. Tadi pagi menerima telepon yang menerima lamaran pekerjaannya."
"Benarkah?" tanya Chaeyeon semringah. Ikut merasakan kebahagiaan. Betapa menyenangkan mendengarkan Eunbi punya pekerjaan.
"Kalau tidak salah, dia ada di Yongsan. Di kantor entah apa namanya. Dia jadi penata rias," ucap Yulhwa sibuk mengingat nama kantornya.
"Eomma, haruskah kita menelponnya? Aku masih belum memberikan selamat untuk Eunbi Eonni." Tangan Chaeyeon terulur ke sakunya untuk mengambil ponsel.
"Jangan dulu. Eomma yakin Eunbi sedang sibuk. Kurasa dia akan menelpon kita kalau sudah beres semua," cegah Yulhwa menahan tangan Chaeyeon.
"Aishhh,menyebalkan sekali. Padahal aku ingin bicara dengan Eunbi Eonni," ucap Chaeyeon menghela napas.
To be one
Eh to be continued 😀😀
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro