Kerja
*******
Di penghujung hari yang hampir hilang.
Kutetap menggenggam rasaku.
Tanpa memiliki kesimpulan tentang rasamu.
Hanya mampu ratapi rasaku.
Dan mendoakan munculnya rasamu.
~Arbani Yasiz-Roman Picisan~
*******
Panas matahari siang ini membakar semangat seorang laki-laki. Peluh membasahi tubuhnya, bercampur dengan air busa. Tak peduli baju yang dikenakan basah kuyub akibat pekerjaannya. Semua akan dibalas dengan setimpal dengan hasil jerih payahnya. Memang tak seberapa, tapi sanggup menghidupi ibu, ayah dan satu adiknya.
Bima Angkasa. Ia bukan dari kalangan atas, juga bukan dari kalangan bawah. Ia hanya lelaki sederhana yang mempunyai cita-cita mensejahterakan keluarganya. Sejak kecil keinginan itu muncul, dan baru terealisasikan saat ini.
Bima kini bekerja di salah satu bengkel milik ayah teman SMU-nya. Setiap hari ia bertemu dengan mobil dari para pejabat. Dengan cekatan mobil-mobil itu dicuci, ada juga yang meminta direparasi. Mereka akan puas melihat hasil kerja Bima, dan meminta Bima yang mencuci mobil bukan pekerja yang lain.
Gaji awalnya hanya dua ratus ribu per bulan. Namun karena banyak pelanggan yang puas gaji Bima menjadi naik dua kali lipat dari sebelumnya. Separuh gajinya ditabung untuk biaya masa depan, dan separuhnya lagi diberikan kepada ibunya.
''Woy Bim! Istirahat dulu!!'' Teriak salah satu pekerja. Bima lalu menghentikan aktifitasnya. Rehat sejenak supaya energinya terisi kembali.
Bima mengganti pakaian pekerjanya dengan kaus yang ia bawa dari rumah. Lalu menghampiri para pekerja lain yang rata-rata seumuran dengan Bima.
Bima hendak meraih gelas berisi teh hangat yang sudah tersedia di meja, namun gerakannya terhenti karena matanya menangkap seorang gadis yang berdiri di dekat pagar.
''Cuy, ada cewek cantik tuh. Kasian banget dibiarin panas-panasan,'' kata salah seorang teman Bima. Ia hendak menghampiri gadis itu tapi niat itu diurungkan karena gadis itu meneriakan nama Bima.
''Bima, itu cewek lo?''
Bima tak menjawab dan memilih menghampiri gadis itu.
=====
Di sinilah keduanya sekarang. Di sebuah kafe yang tak jauh dari bengkel. Bima memesankan Chappucino kesukaan gadis itu. Dan dia sendiri memesan kopi.
''Jadi, kenapa tadi kamu dateng ke bengkel?'' Bima bertanya itu sambil menatap wajah gadis yang duduk dihadapannya.
''Emangnya kenapa kalo aku ke sana? Tempat kerja kamu bukan tempat haram kan?'' Vara--ya nama gadis itu--membalas tatapan lelaki dihadapannya.
Vara benar. Tapi Bima tidak mau gadis itu ke sana menghampirinya. Bima tidak mau orang-orang tahu siapa Vara. Bima juga tidak mau ada lelaki yang berani mendekati gadisnya. Egois memang. Tapi sifat dasar laki-laki memang seperti itu, tidak ada yang boleh menyentuh miliknya barang sedikitpun.
''Oke, lupain yang tadi. Kamu menang.''
Vara tersenyum. Ya, entah kenapa tadi ia datang ke tempat kerja cowok itu. Padahal jarak bengkel dengan kampusnya tidak dekat.
''Ngomong-ngomong makasih kamu udah pesenin aku minuman, nanti aku yang--"
''Biar aku yang bayar. Kamu cukup minum aja!'' potong Bima cepat karena sudah tahu gadis itu akan berkata apa.
''Oh. Oke.'' Vara memilih mengalah, daripada memperpanjang dengan argumentasi yang tak ada ujungnya.
''Oh ya Bim, bulan depan Bayu mau tunangan sama Sandra. Kamu bakal ke sana kan?'' Vara memilih topik lain.
''Pasti dong. Nggak nyangka si Bayu udah mau tunangan aja.''
''Iya. Padahal rasanya baru kemaren dia teriak-teriak sambil megang kertas nilai IPK-nya.''
''Terus kita gimana?''
Vara yang ingin menyesap minumannya tidak jadi karena mendengar pertanyaan itu. Gadis itu menunduk. Rasa bersalah itu kembali hadir.
''Bima, kita lagi bahas Bayu sama pacarnya, kan?''
''Vara, kamu udah mendapatkan semuanya. Kamu mau nunggu apa lagi?''
Bima benar. Ia sudah mendapatkan apa yang ia mau. Namun tetap saja keraguan masih saja menyelinap meski sudah dikikis dengan kesabaran lelaki itu. Hidup Bima saja sudah sulit, dan Vara menambah beban Bima dengan menggantungkan perasaannya.
Bayangkan, sudah lebih dari sewindu belum ada jawaban hanya karena satu alasan; Ambisi Vara belum selesai.
''Maaf.'' Hanya kata itu yang mampu Vara ucapkan.
Bima mendesah. Hanya kata itu lagi yang terdengar. ''Nggak papa. Aku mengerti.'' Bima bangkit, ''Jam istirahat udah mau habis. Aku balik.''
Sebelum pergi Bima mengusap puncak kepala gadis itu. Lalu setelah itu Bima beranjak ke kasir untuk membayar semua pesanannya.
:::::::::::::::::::::
Omygod!!! Vara, kok Bima digantungin terus sih? Kasian tauk.
Buat Bima, sabar ya! Kadang cinta itu memang butuh pengorbanan. Semoga pengorbananmu gak sia-sia.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro