Bagian 25
Hai...hai😁😁
Pagi-pagi aku udah dateng dengan part baru With Love. Mana tepuk tangannya, say!!😁 becanda...
Sebelum baca, harus vote dulu ya kakak-kakak, cantik. Mba-mba sayang. Biar akunya lebih semangat nulis dan cari idenya. Biar rasa capekku apdet sampe 2 part bahkan lebih terbayar.😜😜
Aku tanpa kalian---pembaca tersayangku---bukanlah apa-apa! *asekk2 joss.
Oh iya, sebagian novelku aku post juga di aplikasi Dreame. Yang mau ngintip-ngintip bisa langsung cus ke sana ya, cintaku. Mumpung masih gratis. Jangan lupa tinggalkan jejak ya, cinta. Follow akunku dan kasih love juga.
Nama akunku di app. Dreame: Dian Jesika. Sama kaya yang di Wattpad. Foto profilnya juga sama. Yuk dilihat dulu. Siapa tahu suka. Rencananya aku juga bakal post cerita baru di sana. Pantengin terus, ya😘😘😘
Makasih dan salam sayang🥰🥰
_____________________________________________________________
Sudah dua hari aku kembali dari Bali. Putra masih mengijinkanku pergi kantor, sekarang dia sudah tidak marah lagi padaku. Setelah berjuang membujuknya akhirnya aku dimaafkan. Dengan catatan aku tidak boleh mengulanginya lagi. Setelah kupikir-pikir, Putra benar-benar pengertian. Jika hal itu terjadi padaku---Putra yang berduaan dengan wanita lain---aku tidak tahu bisa sampai semarah apa diriku. Putra memang marah, namun ia masih bisa dibujuk.
Hasil pemeriksaan kami kemarin baik. Bayi dalam kandunganku tumbuh sehat. Mungkin itulah yang membuat suasana hatinya membaik. Putra hanya kangen anaknya.
Pagi ini Putra berangkat ke kantor tidak dengan Tasya. Putra pergi lebih pagi dari biasanya karena harus keluar kota. Karena pengasuh Tasya belum datang, aku yang mengantar Tasya. Tapi tentu saja harus dengan supir juga.
Setelah selesai mengantar Tasya, aku kembali ke rumah. Sebenarnya aku ingin ke kantor. Aku rindu suasana pemotretan. Walau sekarang hanya bisa jadi penonton, aku tetap senang. Perutku yang semakin membesar mana mungkin bisa jadi model lagi. Paling-paling berfoto sebagai ibu hamil. Itupun kalau Putra memperbolehkanku.
Semakin hari Putra semakin posesif. Aku harus pandai menjaga sikapku. Dengan Aldi pun aku sudah tidak sedekat dulu.
Sejak kembali dari Bali aku belum sempat melihat ruangan yang ada di belakang. Padahal aku sangat penasaran bagaimana ruangan itu sekarang. Putra bilang ruangan itu sudah dibersihkan dan semua barang-barang Vera tidak lagi ada di sana.
Sekarang kuncinya ada pada si Mbok. Putra tidak menyembunyikannya lagi. Aku pergi ke dapur menemui si Mbok lalu meminta kuncinya.
Ketika ruangan tersebut kubuka, aku terkejut melihat isi dalamnya. Bukan! Bukan karena masih ada barang Vera yang tersisa. Sepotong pun tak ada lagi peninggalan wanita itu di kamar ini. Yang membuatku terperangah adalah dekorasinya yang berubah.
Rupanya diam-diam Putra merubahnya jadi ruang bermain. Dindingnya dicat ulang dan diberi motif. Sebagian diberi gambar taman dengan ayunan kayu di tengah-tengahnya. Ada juga lukisan danau, di airnya yang tenang beberapa angsa tengah berenang. Putra tak lupa memberi lukisan beberapa binatang yang tengah merumput di padang hijau. Ada sapi, domba, kuda, kerbau dan masih ada yang lain. Putra tidak memberitahuku telah melakukan ini semua.
Senyumku mereka membayangkan Tasya dan adiknya bermain di sini. Di lantai terdapat karpet tebal yang lembut. Anak-anak akan nyaman bermain di atasnya. Di dekat jendela Putra meletakkan ayunan kayu, lengkap dengan mainan yang bergoyang-goyang di sekeliling box bayi tersebut. Putra memikirkan segalanya. Saat ini kamar ini sangat berbeda dari sebelumnya. Putra merubahnya total. Warna yang dipilihnya semua bernuansa cerah, khas anak-anak sekali.
Puas menyentuh semua yang ada di sana, aku memutuskan untuk keluar. Kukunci pintunya kembali.
"Kapan Bapak mendekor ulang ruangan di belakang, Mbok." Aku bertanya setelah mengembalikan kuncinya. Aku duduk di kursi makan, memperhatikan si Mbok yang sedang memasak untuk makan siang.
"Sehari setelah Ibu pergi ke Bali. Bapak semangat sekali waktu itu. Dia sendiri yang mengontrol pekerja. Saya juga ikut membantu. Tasya bermain di sana seharian setelah kamar itu selesai diisi. Cuma Bapak melarangnya untuk hari kedua. Kata Bapak tunggu adik Tasya lahir dulu."
Refleks aku mengusap perutku yang terasa buncit. Lengkungan senyum di bibirku tak dapat kuhentikan. Betapa beruntungnya aku memiliki Putra sebagai suami. Walau sikapnya jarang romantis namun kenyataannya ia begitu peduli. Sifatnya boleh saja kaku, tapi hatinya berbeda.
Setelah berbincang-bincang beberapa kalimat lagi, aku meninggalkan si Mbok dengan pekerjaannya. Aku pergi ke ruang tamu, duduk di sofa kemudian menelepon Putra.
"Iya, Ta?" Putra menjawab panggilanku di dering pertama. "Kau baik-baik saja, kan?"
"Tidak terjadi apapun padaku," tuturku menenangkan kecemasannya. "Aku hanya ingin mengucapkan terimakasih untuk dekorasi kamar di belakang rumah."
"Oh," terdengar Putra berbicara dengan seseorang, kemudian melanjutkan kalimatnya padaku. "Tidak perlu berterimakasih. Aku melakukannya untuk anakku."
"Tetap saja," kuusap setetes airmata yang jatuh ke pipiku. Hormon kehamilan membuat emosiku tidak menentu. Aku mudah sekali tersentuh dan sedih.
"Kau menyukainya?"
"Sangat."
"Syukurlah." Lagi-lagi Putra berbicara dengan orang lain yang ada di sana, kelihatannya dia sedang sibuk. "Jika kau ingin menambahkan sesuatu, bilang saja. Kita bisa pergi membelinya. Atau kusuruh orang mengantarnya ke rumah."
Aku menggeleng. "Ruangan itu sempurna, Putra. Tak ada yang ingin kutambah lagi."
"Ta, sebentar lagi kutelepon ya. Aku sedang sibuk."
"Oh, iya tidak apa-apa."
"Kau yang menjemput Tasya?"
"Mungkin iya."
"Hati-hati."
"Hhhmm."
*****
Tasya rupanya sedang ada les tambahan. Gurunya sudah memberiku pesan, tapi tidak kubaca. Seandainya hanya sebentar, aku akan menunggunya saja. Tapi waktunya lebih dari satu jam, aku pasti bosan kalau menunggu di sini.
Aku menyuruh supir Putra mengantarku ke supermarket terdekat, tiba-tiba aku ingin memakan roti ketawa dan susu kemasan. Aku sedang melihat-lihat isi rak bagian cemilan ketika kurasakan kehadiran seseorang di belakangku. Aku berbalik dan bersitatap dengan Vera.
Penampilannya tampak sempurna. Kapanpun dan dimanapun dia selalu menyuguhkan penampilan bak wanita sosialita. Sangat berbeda denganku yang sekarang, yang lebih nyaman hanya dengan gaun katun sederhana. Mungkin itulah yang memberanikan diri mengganggu rumah tanggaku dan berharap Putra kembali padanya.
"Kau benar-benar luar biasa, ya." Ia berkata dengan nada sarat akan cemohan. "Mungkin sekarang kau mengira telah menang. Putra mendapat hak asuh Tasya. Kalian membuatku tidak bisa dekat dengan putriku sendiri." Aku tidak melihat dia membawa troli atau kerancang, atau barang yang ingin dibelinya. Mungkinkah dia masuk ke supermarket ini hanya untuk melontarkan dumelannya? Aku dapat melihat dia wanita seperti itu.
Wajah Vera memang cantik, tapi tidak secantik pikirannya. Sangat disayangkan. Apakah dia lupa apa yang telah dilakukannya pada Tasya? Atau dia pura-pura melupakannya.
Keripik ubi yang tadinya kupegang, kuletakkan kembali ke tempatnya. "Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan. Jika berbicara tentang hak asuh Tasya, kau sendiri yang menelantarkannya dulu. Sekarang setelah Putra merawatnya kau seperti induk banteng kehilangan anaknya. Menurutmu kau tidak berlebihan?" Aku membuat nada suaraku sebiasa mungkin. Yang sedang belanja lumayan banyak. Aku sangat tidak tertarik jadi bahan gunjingan orang-orang.
"Kau boleh mengangkat dagumu tinggi-tinggi sekarang karena saat ini Putra belum bosan denganmu. Hanya tinggal menunggu waktu hingga kau diganti dengan wanita yang lebih cantik."
"Digantikan atau tidak," ujarku pelan namun tegas. "Aku tidak akan membuang anakku. Ataupun menjadikannya alasan untuk merebut hati pria yang sudah kulepaskan atau melepasku."
"Kau menuduhku masih mengejar Putra?"
Tawa kecil lolos dari bibirku. Dia begitu pandai bersandiwara. "Bukankah itu faktanya? Kau masih ingin bersamanya, kan?"
"Hah? Pasti Putra yang mengatakan padamu. Kau percaya saja apa katanya."
"Memang Putra yang mengatakannya padaku. Aku percaya pada suamiku, karena aku sudah melihat seperti apa kau. Jangan bermimpi bisa merayunya." Vera menaikkan tangannya hendak memukulku. Dengan cepat kutangkap tangan itu, kemudian kupelintir ke belakang punggungnya. "Jaga tanganmu dariku." Kuhempaskan tangannya. "Aku bisa mengadukanmu ke polisi. Kau wanita pengganggu."
Vera menatapku tajam, ia menarik tangannya. "Lihat saja! Kau belum tahu siapa aku sebenarnya."
Sebelum Vera berlalu, ia melayangkan senyum sinis padaku. Aku tahu dia takkan berhenti sampai benar-benar tak mampu lagi bergerak. Dia wanita penuh muslihat. Entah kenapa perasaanku jadi tidak enak setelah Vera bicara padaku. Aku merasa Vera belum akan diam. Dia pasti akan melakukan sesuatu.
*****
"Put."
"Hhmm?" Putra membalik halaman buku yang sedang dibacanya, sementaraku setengah berbaring di kepala ranjang. Sudah jam sebelas tapi aku belum bisa tidur. Aku masih memikirkan perkataan Vera tadi siang.
"Tadi siang aku bertemu Vera di supermarket dekat sekolah Tasya."
Akhirnya aku mendapat perhatian Putra. Suamiku itu melirikku dari balik kacamatanya. "Dia tidak melakukan apa-apa padamu, kan?"
"Vera hampir memukulku," akuku jujur.
"Wanita sialan itu," tukas Putra. Kacamatanya ia lepaskan kemudian diletakkannya ke atas nakas.
"Tapi aku bisa menahannya."
"Dia belum bisa terima bahwa hak asuh Tasya sepenuhnya jatuh padaku. Dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang. Jika dia mengganggu Tasya, itu akan dianggap sebagai tindak kejahatan."
"Masalahmu dengan Vera sudah selesai?"
Putra mengangguk. "Kemarin pagi. Semua hak yang pantas diterima Vera sudah kuberikan. Bahkan aku terlalu baik padanya. Karena aku menghargainya sebagai ibu dari anakku, aku menyediakannya tempat tinggal dan memberinya sejumlah uang. Vera melunjak."
"Bagaimana kalau nanti dia berulah lagi?" Dari cara Vera menatapku tadi, bukan tidak mungkin dia membalas dendam. Dia takkan segan-segan menyakiti untuk memuaskan rasa bencinya.
"Dia takkan berani. Urusannya ke polisi. Kalau dia mau masuk penjara, itu terserah padany." Putra mengusap perutku. "Tidurlah, Ita. Sudah malam."
"Aku tidak bisa tidur."
"Tidak usah memikirkan Vera lagi. Yang terpenting kau harus selalu hati-hati."
"Bagaimana kalau dia nekat?"
"Nekat apa?"
"Menyakiti salah satu di antara kita?"
Putra menjorokkan wajahnya ke depan lalu mengecup keningku. "Tidurlah, sayang."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro