Bagian 24
Sebelum baca, vote dulu ya. Atau komen jg gkpp😊😊😊
Makasih😘
___________________
"Horeee, Mama udah pulang." Tasya berlari menjumpaiku, ia melingkarkan kedua tangannya di perutku. "Tasya kangen, Ma."
Kuusap rambutnya yang lembab, mungkin dia baru habis bermain. "Mama juga." Kudengar suara batuk Putra dari belakang, seolah mengejekku. Aku mengabaikannya. "Mama bawa banyak oleh-oleh lho."
"Asyik," ujar Tasya kegirangan. Ia mengangkat-angkat tangannya. "Mana, Ma? Mana?"
"Tuh." Aku membalikkan badan, menunjuk dua koper yang sedang dibawakan satpam. Karena masih kesal, Putra tidak mau membawanya turun dari mobil. Aku terpaksa menyuruh satpam membantuku membawanya masuk ke rumah.
Putra mengusap rambut Tasya sebentar kemudian melengos masuk ke kamar. Astaga, kapan amarahnya reda? Selama di pesawatpun dia tidak mengacuhkanku. Kami seperti dua orang asing yang sedang berdekatan. Aku sendiri tidak berani memulai percakapan lebih dulu. Mungkin saja masih ada api di dalam mulutnya.
"Papa nggak mau oleh-oleh?" teriak Tasya memanggil Papanya.
"Kasih sama Mamamu saja semua." Tukas Putra cepat.
Tasya mengedikkan bahunya, tidak mengerti apa yang terjadi pada Papa nya. "Ya sudah." Ia menarik tangan pengasuhnya, bersama-sama mereka membuka koper yang kubawa.
"Pilih saja yang mana Tasya suka." Aku membeli beberapa mainan untuk Tasya. Dia pasti menyukainya. Sementara satpam yang berdiri diam kusuruh keluar. "Si Mba juga boleh ambil. Saya ada beli kaos. Ambil saja yang sesuai ukuranmu."
"Terimakasih, Bu."
Aku mengangguk. "Mama ke kamar dulu ya, Tasya. Habis main nanti tidur siang."
"Siap, Ma."
Putra kutemukan berbaring telungkup di atas tempat tidur. Dia masih mengenakan pakaian yang tadi dipakainya. Dia tahu aku masuk ke kamar, aku sengaja mengunci pintu agak keras, namun ia tetap bergeming. Ck, ck. Seperti inilah Putra kalau sudah marah karena cemburu.
"Kau tidak ke kantor?" Daripada diam-diaman terus, biar aku yang mengalah. Kalau dia marah lagi, itu terserah padanya. "Atau kau butuh sesuatu?" Ketika kulirik wajahnya, ia membuang muka ke sisi lain.
"Aku lelah. Aku mau tidur."
"Kau benar-benar tidak mau oleh-oleh yang kubawa?"
"Aku bisa membelinya sendiri."
Baiklah, dia masih marah. Aku pergi ke kamar mandi, kubersihkan tubuhku kemudian mengenakan daster ternyaman yang kupunya. Ukurannya kebesaran tapi aku suka. Bahannya lembut. Sengaja aku menghempaskan bokongku ke dekatnya.
"Pelan-pelan kalau kau naik ke tempat tidur, Ta. Sempat terjadi sesuatu pada anakku, kupulangkan kau ke rumah nenek."
Bibirku cemberut. Putra tidak mungkin serius. "Kupikir kau sudah tidur."
"Bagaimana aku bisa tidur? Dari tadi kau bernyanyi dengan nada sumbang. Nadamu membuat kepalaku sakit."
Aku tertawa dalam hati. Aku memang melakukannya. Sengaja, tentu saja. Hanya dengan cara seperti itu aku bisa menarik perhatiannya sekarang.
Dengan daster kebesaran yang kupakai, perutku semakin tidak terlihat. Namun jika kusentuh, sudah ada gunungan kecil di sana. Di mana ada bayi mungil yang beberapa bulan lagi akan lahir. "Perutku sudah semakin besar," tanpa sadar aku mengucapkannya pelan.
Putra mendengarnya. "Walau begitu kau tetap saja tidak tahu posisimu."
Astaga! Dia benar-benar. Aku menggembungkan pipiku, kusuruh hatiku untuk bersabar. Putra yang cemburu melebihi perempuan yang sedang datang bulan. Duduk, salah. Tidur, salah. Berdiri pun, salah.
"Mau sampai kapan kau marah terus?" Kupukul bahunya karena sudah tidak tahan. Dia menjawabku dengan kata-kata ketus untuk melampiaskan amarahnya. Sekarang Edward sudah tidak di dekatku lagi. Harusnya dia menurunkan emosinya sedikit.
"Sampai aku tidak marah." Ucapannya teredam bantal, hanya samar-samar aku mendengar tapi masih jelas.
"Iya, kapan itu?"
"Aku tidak tahu."
"Aku sudah bilang aku dan Edward tidak ada apa-apa."
"Lalu kenapa dia memegang tanganmu?"
"Kalau itu," aku bingung harus berkata apa. "Aku tidak menduganya."
"Awalnya memang begitu."
"Aku serius, Putra." Aku mendekatkan badanku padanya. "Kau capek?bMau kupijit punggungmu?" Sebagai pihak yang bersalah, harus aku yang membujuk. "Atau kubuatkan kau jus."
"Tidak perlu," serunya, masih di bantal. Dia tidak mau melihatku. "Tidak usah repot."
Ck, inginnya kupukul kepalanya yang keras itu. "Kau benar-benar belum mau berhenti marah?"
"Hhhmm."
"Baiklah." Aku juga mulai mengantuk. Menghadapinya beberapa jam terakhir membuat energiku terkuras. "Kalau begitu aku juga akan tidur." Aku berbaring di sampingnya. Kupejamkan mataku. Beberapa saat kemudian aku tidur.
*****
Saat aku terbangun, Putra sudah tidak ada. Selimut menutupiku hingga ke dada, padahal sebelumnya aku tidak ingat memakainya. Bibirku tersenyum sembari mengusap selimut itu. Pasti Putra yang memakaikannya. Dia sedang marah namun masih memperhatikanku. Bagaimana mungkin aku mengkhianatinya? Aku sangat mencintainya.
Aku pergi keluar mencari Putra. "Bapak pergi, ya?" Tanyaku pada satpam. Di garasi aku melihat mobil Putra tapi orangnya tidak kelihatan.
"Tidak, Bu. Bapak tidak ada keluar."
Aku kembali masuk ke rumah. Kemana perginya suamiku itu? Di kamar mandi tidak ada, di dapur juga tidak. Di belakang kosong, begitupun ruang tamu. Di kamar Tasya hanya ada Tasya dan pengasuhnya. Mungkin Putra di ruang kerjanya.
Kutepuk jidatku, kenapa daritadi tidak terpikir olehku. Aku pergi ke sana. Setelah kuketuk dua kali pintunya, aku membuka pintu itu. Benar saja, Putra ada di dalam. Ia sedang membaca sesuatu di laptopnya. Kacamata bacanya menggantung di hidungnya yang mancung.
Kututup pintu di belakangku. Tatapan Putra melirikku sekilas kemudian kembali pada pekerjaanya. Kuharap ia sudah tidak marah lagi. Atau setidaknya sudah berkurang.
Aku menghampirinya. Aku naik ke pangkuannya. Putra tidak mendorongku. Kupeluk lehernya lantas meletakkan pipiku di dadanya. "Kau sedang mengerjakan apa?"
Satu tangan Putra memeluk pinggangku. "Aku sedang memeriksa hasil meeting yang dikirim sekretarisku," ujarnya dengan nada tidak terdengar marah.
"Aku mencarimu," aku memberitahunya. "Kupikir kau pergi."
"Hhhmm."
Putra masih sedikit cuek. Kukecup pipinya yang mulai ditumbuhi rambut-rambut halus. "Selama di Bali aku merindukanmu," bisikku di telinganya.
"Karena itu kau jalan dengan si Edo?"
Harus berapa kali kubilang kalau namanya Edward bukan Edo. Aku menahan diri untuk tidak memutar mata. "Aku serius."
Jemari Putra menyisiri rambutku sembari dia memperhatikan laptopnya. "Hhmm."
"Kau tidak merindukanku?" Kubuat nada suaraku selembut mungkin. Biasanya selalu berhasil membujuk Putra. Aku tidak tahu bagaimana sekarang.
Putra menaikkan tatapannya padaku. Ia mendengus. "Berhentilah bersikap manis. Aku marah bukan benci."
"Kalau kau terus-menerus marah, lama-lama kau akan membenciku. Aku tidak ingin itu terjadi."
Putra menepuk jidatku. "Pikiranmu jangan kemana-mana."
"Sekarang saja kau sudah mengabaikanku."
"Makanya jaga sikapmu, Ita! Kau marah karena aku bertemu dengan Vera, sementara kau sendiri melakukan hal yang sama. Kau mau aku seperti apa? Kau ingin aku membiarkanmu berdua-dua dengan laki-laki lain? Kau pikir aku gila."
"Kau menyuruh seseorang mengikutiku selama di Bali, kan?" Ya Tuhan. Aku tidak sadar ada orang yang memantau setiap langkahku di sana.
"Aku tidak akan meminta maaf untuk itu," gumamnya ketus. "Kalau itu tidak kulakukan mungkin sampai sekarang kalian masih bersama dan aku tidak tahu."
"Aku tidak mungkin berpaling darimu."
"Itu juga yang dikatakan Vera dulu."
"Aku bukan---"
"---nyatanya kau melakukannya juga, Ta."
Aku ingin membela diri, namun tidak menemukan kata-kata yang tepat. Putra benar, bagaimanapun yang kulakukan dengan Edward hampir menyerupai apa yang diperbuat Vera. Pelukan lenganku di leher Putra semakin erat. "Aku mencintaimu. Aku tidak selingkuh darimu." Nada suaraku bergetar, dadaku sesak membayangkan berpisah dari Putra.
Putra menutup laptopnya, ia memelukku dengan kedua tangan. Ia menunduk, dikecupnya keningku. "Jangan mengulanginya lagi." Aku mengangguk manut. "Kau tidak tahu bagaimana rasanya saat seseorang yang kusuruh menjagamu di Bali memberitahuku bahwa kau beberapa kali pergi dengan laki-laki lain. Duniaku seakan berhenti, Ta. Sesaat seperti gelap. Aku marah namun lebih besar rasa takut. Aku takut kau meninggalkanku dan berpaling pada laki-laki itu."
"Maafkan aku. Aku takkan melakukannya."
"Berjanjilah padaku."
"Aku berjanji demi bayi yang kukandung."
Putra menghela napas. "Aku sangat mencintaimu, Ta. Aku tidak mau kehilanganmu."
Tiba-tiba aku menangis. Perpaduan antara rasa bersalah dan perasaan sayang. Akupun merasakan hal yang sama. Rasanya aku akan gila jika tahu Putra menemui Vera. Mungkin itulah yang dirasakan Putra.
Putra mengusap perutku. "Bagaimana kabar anakku?"
"Baik," ujarku lemah.
"Kita ke dokter ya, Ta."
"Kapan?" Kuusap air mataku dengan tanganku.
"Sekarang."
"Tapi hari ini bukan jadwalnya, Putra."
"Biar saja. Memangnya ada larangan pergi ke dokter kalau bukan jadwalnya?"
"Memang tidak ada."
"Ya sudah, kita pergi sekarang. Aku ingin memastikan anakku baik-baik saja."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro