Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 21

Masih pagi-pagi sekali teleponku sudah berbunyi membangunkanku.

"Siapa sih yang menelepon jam segini?" Tanganku meraba-raba kasur tempat yang kuingat aku meletakkan ponselku. Tadi malam hampir tengah malam aku baru bisa tidur karena Putra tidak mau menyudahi telepon. Dan sepagi ini dia sudah mencariku? Mataku yang belum sepenuhnya terbuka menatap kontak sipenelepon. Tidak salah lagi, memang Putra.

"Ya?" aku membiarkan mulutku terbuka lebar saat menguap. Kakiku kurentangkan terbuka lebar. Tidurku benar-benar nyenyak. Meski begitu aku masih ingin tidur

"Pagi, istriku." Suara Putra terdengar bersemangat, aku bisa membayangkan senyum di bibirnya. Ya ampun, baru sehari aku tidak melihatnya aku sudah merindukannya. "Sudah bangun?" Kini mereka sarapan hanya berdua. Aku sedikit merasah bersalah.

"Teleponmu membangunkanku," kataku, tidak sesemangat dirinya. Kutarik selimut ke dadaku, suhu pendingin ruangan kuatur terlalu rendah. Aku mencari-cari remot AC untuk menaikkan suhunya, mataku tidak menemukan benda putih itu.

"Bagaimana kabar anakku?"

"Tidurnya terganggu," jawabku. Saat remot Ac kutemukan, kunaikkan suhunya. "Kabar Tasya bagaimana?"

"Dia merindukanmu, Ta. Aku juga."

Putra pintar sekali. Dia menggunakan Tasya sebagai alasan. "Nanti aku bicara dengannya."

"Kau tidak merindukanku?"

"Sedikit," jawabku sekedar, tidak mau Putra jadi besar kepala. "Lagi pula baru sehari kau tidak melihatku."

"Kau tega sekali berkata begitu, padahal di sini aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Tadi malam tidurku gelisah karena tahu kau tidak bersamaku."

Sayangnya tidurku nyenyak. "Kalau begitu kau harus cepat menyelesaikan urusanmu dengan Vera, Putra."

Putra menghela napas. "Aku sedang mengusahakannya."

"Ruangan yang di belakang rumah?"

"Sudah dibersihkan. Sudah tak ada lagi satupun barang-barang Vera di sana."

Aku senang mendengarnya. "Kuharap yang lainnya pun segera selesai. Aku juga tidak senang berpisah dari kalian. Aku rindu pada Tasya."

"Tasya terus bertanya kapan kau pulang."

Hatiku sedih karenanya. Aku benci pada Vera tapi pada Tasya sedikitpun aku tidak merasakan kebencian itu. "Untuk sementara aku tidak bisa melakukan apa-apa."

Putra diam beberapa saat. Aku ingin tahu apa yang dipikirkannya sekarang. "Aku bingung harus berkata apa lagi," ujarnya pada akhirnya. "Jaga kesehatan selama di sana. Jangan membuatku khawatir."

Ponselku yang mati kutatap. Aku bisa merasakan kegundahan Putra. Andai dia ada di dekatku saat ini, aku pasti memeluknya dan mengatakan betapa aku sangat menyayanginya. Tapi dia tidak bersamaku.

Aku meletakkan ponselku di tempat tidur lalu bangkit dari sana. Kakiku yang telanjang memijak lantai. Lantai terasa dingin di kakiku yang telanjang. Aku berjalan menuju jendela kaca lantas membukanya. Udara pagi yang begitu segar menyambutku. Kuhirup sebanyak yang kubisa. Aku mengerang. Rasanya begitu lepas. Wajahku semakin maju kedepan hingga kurasakan kesejukan embun pagi di wajahku. Aku memandang ke depan, ke ciptaan Tuhan yang memesona. Matahari mengintip ingin bersinar, cahaya kemerahan menghiasi langit pagi di kejauhan. Aku takjub memandangnya.

Indahnya pantai terlihat begitu memanjakan mata. Tak bosan-bosan aku berdiri di sini. Sejauh aku menatap, hanya keindahan yang kudapat. Suatu saat nanti aku akan datang lagi ke sini. Tapi tidak sendiri. Putra, Tasya dan bayi yang kukandung akan ikut bersamaku. Bersama kami akan menikmati keindahan ini.

Puas memandangi pantai, aku membersihkan diri. Aku akan sarapan kemudian pergi melihat-lihat di sepanjang tepi pantai. Kemarin karena masih lelah setelah perjalanan pesawat, aku tidak melakukan apapun selain duduk-duduk di sebuah kafe mungil tak jauh dari hotel. Dari sana aku tetap bisa menikmati keindahan pantai, tapi tidak banyak. Kali ini aku ingin pergi agak jauh.

Aku membuka koperku. Mencari gaun sederhana warna violet yang kemarin kuselipkan. Gaun itu bermodel lengan spageti dan panjangnya semata kaki. Bahannya nyaman dan bermotif bunga-bunga kecil. Sangat cocok dipakai berjalan-jalan santai. Untuk melengkapi penampilanku; aku memadunya dengan sendal tali. Talinya melilit hingga betisku. Aku sangat menyukainya. Di wajahku tak banyak riasan yang kupakai. Hanya polesan bedak tipis dan lipstik.

Kuperhatikan diriku di cermin. Rambutku kubiarkan tergerai, bergoyang di punggungku. Aku puas dengan apa yang kulihat.

Hari ini lumayan cerah. Aku sudah tidak sabar menjelajah pantai. Tapi lebih dulu aku harus mengisi perutku.  Bayiku sudah kelaparan. Aku berjalan menuju restoran yang ada di hotel.

Suasana di restoran sudah mulai ramai. Mungkin mereka sama sepertiku, yang sudah tidak sabar memulai hari.

"Pagi, Nona." Aku dikejutkan seseorang yang datang dari sampingku. Dia si manajer tadi malam yang mengembalikan syalku. Sudah rapi lengkap dengan senyum ramahnya. Kalau tadi malam penampilannya resmi, hari ini dia terlihat santai. Celana pendek dan kaos polo. "Ingin sarapan?" tanyanya.

Setelah melihatnya untuk kedua kali aku baru bisa melihat ternyata dia tampan juga. Kubalas senyumnya dengan tak kalah ramah. Aku mengangguk. "Selamat pagi juga."

Aku tidak menduga-duga, tiba-tiba dia menarikkan kursi untukku. "Kebetulan saya juga hendak sarapan," katanya dengan sopan. "Keberatan saya duduk bersama anda?"

Aku bisa bilang apa selain mengangguk? Walau sebenarnya ada perasaan heran di hati. Dia begitu berani untuk ukuran orang yang masih dua kali bertemu. Kami tidak saling mengenal.

Setelah aku duduk di kursiku, dia ikut duduk. Dengan caranya ia memanggil pelayan---dengan jari telunjuk yang ditekuk. "Mau sarapan apa?"

Tak kusangka Edward cukup humoris. Sudah lima tahun dia jadi manajer hotel ini. Dan dengan senang hati Edward mengatakan dia belum menikah. Aku tidak tahu kenapa informasi itu penting.

"Kalau boleh tahu," Edward memeringkan kepalanya ke satu sisi. "Anda ke Bali dalam rangka apa? Pekerjaan?" Aku menggeleng. "Kalau begitu liburan." Aku mengangguk. "Kenapa sendirian?"

"Aku memang sedang ingin sendiri."

"Bukan karena patah hati, kan?"

"Bukan."

"Maaf aku terlalu banyak bicara," ucapnya dengan senyum bersalah terulas di bibir. "Biasanya aku tidak begini."

Memang biasanya dia seperti apa? "Tidak masalah. Aku senang punya teman baru."

Edward menggaruk kepalanya. "Anda pasti tidak nyaman denganku."

Keningku berkerut. "Kenapa harus tidak nyaman?" Kuakui dia memang banyak bercerita, tapi aku tidak keberatan. Dia menyampaikankannya dengan sopan. Kuanggap saja dia sedang curhat.

"Aku terlalu banyak cerita."

"Aku suka dengan orang yang ramah."

Edward memperhatikanku. Tatapannya berubah. Dari sopan ke...!! Entahlah, aku tidak tahu. Yang pasti tatapannya tidak seperti sebelumnya. Kali ini lebih...lekat. Aku menunggunya membuka suara, bukan hanya memandangiku saja.

"Apa rencana anda setelah sarapan."

Sarapanku telah habis beberapa saat lalu. Begitupun dengan Edward. Makanannya enak sampai-sampai aku memesan lagi. Edward tertawa melihat porsi makanku. Mungkin karena ukuran tubuhku yang langsing. Karena gaunku besar, jadi dia tidak dapat melihat perutku. Sekarang yang makan bukan aku seorang; sudah ada bayi dalam perutku.

"Aku ingin berjalan-jalan di tepi pantai. Sepertinya menyenangkan merasakan pasir dan air bersamaan di pagi hari."

"Memang," Edwar setuju. "Sangat menyenangkan. Itu salah satu yang membuat orang-orang datang."

"Mau menemaniku?" Aku tahu seharusnya aku tidak mengajak. Putra akan gila jika tahu aku meminta seorang pria asing menemaniku. Tapi Edward terlihat baik, dan sepertinya dia tidak keberatan jadi temanku.

"Sebuah kehormatan bisa menemani anda."

Edward menceritakan banyak hal sembari kami menyusuri tepi pantai. Suara hiruk pikuk menjadi latar suara yang kami dengar. Anak-anak berlarian mengejar ombak, ada pula yang bermain dengan pasir. Tak sedikit yang mencoba membangun istana dengan pasir pantai.

"Masa liburan seperti sekarang banyak orangtua yang membawa anak-anak kemari," ujar Edward ketika aku melirik beberapa anak yang sedang bermain. "Anak-anak menyukainya." Sebagian besar anak memang menyukai air.

Tasya pun pasti akan suka.

"Pasti senang bisa bekerja di tempat seperti ini," kataku pada Edward. "Bekerja sekaligus bisa berlibur."

Edward tersenyum kecil. "Kalau ditemani wanita cantik seperti anda rasanya memang menyenangkan."

"Banyak perempuan cantik di sini," gantian aku yang menggodanya. "Kuyakin tak sulit mendapatkan salah satunya." Apalagi Edward bukan pria jelek. Dia lumayan enak dipandang.

Sebuah bola pantai berguling ke arah kami. Edward mengambilnya kemudian memukulnya, mengembalikannya ke yang punya. "Aku hanya bercanda."

"Aku serius." Kukedipkan mataku sengaja. "Jangan terlalu lama sendiri.

Edward hanya tertawa, ia tidak membalas kata-kataku. Bersama kami menjejaki pasir pantai. Edward terus menamiku hingga tidak terasa matahari sudah berada di atas kepala. Kami memutuskan kembali ke hotel.

"Kau tidak bekerja?"

"Hari ini aku kerja setengah hari."

"Memangnya bisa?"

"Bisa, tapi jangan ketahuan bos." Kami berdua tertawa dengan lelucon tersebut.

"Terimakasih sudah mau menemaniku." Kataku tulus.

"Jangan sungkan." Ia menunduk dengan berlebihan. "Saya siap kapanpun anda membutuhkan."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro