Bagian 20
Aku sudah memasukkan ke koper pakaian yang akan kubawa. Aku memilih yang nyaman daripada modis. Karena di awak kehamilanku ini, walau belum terlalu kelihatan tapi tidak boleh asal memilih pakaian. Dua pasang bikini kumasukkan juga. Jaga-jaga jika aku ingin memakainya.
Tiket pesawatku pun sudah kubeli. Keputusanku sudah bulat. Daripada setiap hari darah tinggiku kumat melihat Putra, lebih baik aku pergi berlibur. Lagipula akhir-akhir ini aku tidak pernah menyisihkan waktu untuk bersantai. Mungkin beginilah jalannya agar aku bisa memiliki waktu untuk diriku sendiri. Dan bayi dalam kandungan.
Kuberikan Putra waktu untuk menyelesaikan masalahnya dengan Vera. Aku tidak ingin tahu bagaimana cara ia melakukannya, yang kuinginkan adalah Vera tidak mengganggu rumah tangga kami lagi. Semakin lama ia membereskan kelicikan Vera maka semakin lama pula aku jauh darinya. Sedikit banyak aku pasti merindukan Putra. Bagaimanapun aku mencintainya. Namun yang kulakukan sekarang demi kebaikan keluarga kecil kami.
"Kau yakin ingin pergi?" Aku memberitahu Putra bahwa aku akan berlibur ke Bali. Aku tidak mau pergi diam-diam. Menurutku itu hanya akan semakin mengacaukan suasana. Putra bukannya tidak melarangku pergi. Bermacam alasan diagunakan untukku membatalkan niatku, tapi aku tetap pada keinginanku.
Semua barangku sudah ada di lantai, hanya tinggal memasukkannya ke mobil. Bahkan di detik-detik terakhirku berangkat Putra masih mencoba menahanku.
"Aku malas bertengkar terus." Tasya pun sudah kuberitahu. Anak itu merengek minta ikut. Agak sulit membujuknya kalau sudah merengek. Tapi untunglah pada akhirnya dia menuruti apa yang kukatakan. Aku menjanjikannya oleh-oleh yang banyak agar mau tetap tinggal di rumah. Untungnya dia mau.
"Aku juga tidak ingin bertengkar." Tubuh Putra sangat besar, berdiri di depanku yang tengah duduk di sofa di dalam kamar. Aku terlihat kecil bila dibanding tegapnya dia. Tak jarang Putra mencoba mengintimidasiku dengan kelebihannya itu. Dulu--sebelum menikah--dia berhasil melakukannya. Tapi sekarang tidak lagi. Walau terkesan keras dan tidak romantis padaku, aku tahu Putra takkan menyakitiku secara fisik.
"Masalahnya adalah, aku tidak bisa tidak kesal ketika melihatmu lalu mengingat kau dan Vera." Putra memasukkan kedua tangannya ke saku celana, tampak bingung harus melakukan apa. "Aku akan segera pulang kalau kau dan Vera sudah selesai. Semakin cepat kau melakukannya semakin cepat aku kembali."
"Tapi kau sedang hamil, sayang." Putra tampaknya masih belum menyerah merubah niatku pergi. Dia bahkan duduk di lantai di dekat kakiku, dia memberiku tatapan anak anjing meminta belas kasihan. "Aku mencemaskan anak kita."
Putra mengira taktiknya ampuh. "Aku akan menjaganya."
"Kau bilang kau tidak bisa tidur kalau tidak di sampingku." Lagi-lagi memojokkanku hingga ke hal yang paling tidak masuk akal.
Itu dulu. "Mulai sekarang aku ingin membiasakan diri tanpamu. Siapa tahu kau dan Vera merajut cinta kembali. Aku hanya mempersiapkan hatiku." Itu bukannya tidak memikirkannya. Bagaimanapun setiap kemungkinan harus kupikirkan. Vera pernah menjadi bagian hidupnya. Dan Vera belum ingin berpisah dari Putra. Beragam cara bisa dilakukannya untuk mendapatkan Putra kembali.
Putra menggelengkan kepalanya, semakin frustasi dengan keadaan yang tidak bisa diakendalikan. "Kelihatannya keputusanmu tidak bisa berubah lagi," ujarnya dengan nada pelan. "Pergilah. Tapi jangan mematikan ponselmu. Aku harus bisa meneleponmu setiap saat."
"Aku akan mengingatnya."
Karena Tasya harus sekolah, hanya Putra yang mengantarku ke bandara. Dia mendorong koperku, berjalan di sampingku. "Kalau sudah sampai langsung hubungi aku."
"Iya."
"Jangan lupa makan dan minum vitaminmu. Kalau terjadi sesuatu, misalnya perutmu sakit, kau harus segera memberitahuku."
"Iya."
"Aku akan mengurus masalah Vera secepatnya," gumamnya berjanji.
"Kuharap juga begitu. Ruangan di belakang jangan sampai kau lupa." Hatiku masih sakit bila mengingat barang-barang Vera yang masih disimpannya. "Yang kau lakukan itu menyakiti hatiku lebih dari yang kau tahu."
Putra mengangguk, menatapku sendu penuh penyesalan. Di kursi tunggu kami duduk. Dia memegang tanganku. "Maafkan aku kita harus begini. Aku tahu perbuatanku tidak bisa dibenarkan. Karena itulah aku tidak punya kekuatan melarangmu pergi."
Hatiku juga sebenarnya sedih. Aku sedang mengandung anaknya, dan kami harus saling menjauh. Kutatap tangan besarnya yang menyelimuti tanganku. "Jangan membuatku kecewa lagi, Putra. Aku memberimu kesempatan karena aku menghargai sumpah pernikahan kita dan juga demi bayi yang kandung." Jika bukan karena mengingat itu, semuanya terasa tak ada artinya. Cinta yang kumiliki ternoda dengan ketidakjujurannya.
"Aku tidak menghianatimu, Ta. Aku hanya sepele dengan Vera. Aku tidak menduga dia berbuat sejauh ini. Setelah aku menikah denganmu dia mempermasalahkan hak asuh Tasya, padahal sebelumnya dia tidak peduli. Aku memberinya banyak uang sebagai ganti dia menyerahkan Tasya padaku. Berkas-berkas Tasya lah yang kuurus akhir-akhir ini. Agar kedepannya dia tidak bisa menggugatku lagi."
"Aku ingin percaya, Putra." Kataku dengan nada lemah. "Tapi terlalu banyak rahasia yang kau simpan selama ini. Aku jadi takut meletakkan kepercayaanku kembali." Sejak awal tidak ada rahasia yang kusimpan dari Putra, segalanya dia tahu. Oleh karena itu, saat ia tidak memercayaiku untuk berbagi cerita, aku kecewa.
"Aku mengerti," Putra menarik tangannya, ia memberikan kartu debit padaku. "Pakailah selama kau di Bali."
Beberapa saat kupandang tangannya yang terulur. "Tidak perlu," kutolak pemberiannya. "Aku masih punya uang. Uang yang selama ini kau berikan saja belum kupakai." Kuakui sejak menikah dengannya, Putra memberiku uang lebih dari cukup. Putra bukan suami yang pelit. Namun uang bukan segalanya. Aku tidak bisa bahagia hanya dengan uang.
"Kumohon ambillah! Aku tidak akan tenang sebelum kau mengambilnya. Anggap saja sebagai permintaan maafku."
"Baiklah," kuambil kartu tipis tersebut. "Kalau kau memaksa." Kulirik dia bergantian dengan kartu yang ada di tanganku. "Aku boleh menghabiskannya?" Kata-kataku hanya sebagai candaan, aku tidak serius. Tapi Putra mengira aku benar-benar ingin menghabiskannya.
"Pakailah sesukamu. Aku sudah memberikannya padamu." Wajah Putra masih kusut. Dia sama-sekali tidak senang aku pergi.
Putra menunggu sampai pesawatku berangkat. Setelahnya dia baru pulang. Mungkin dia akan pergi ke kantor, atau mungkin ke tempat lain. Untuk sekarang aku tak ingin memikirkannya. Aku mau fokus pada liburanku. Pantai-pantai indah sudah menantiku di Bali. Hotelnya yang bagus---Putra telah memesan kamar VIP untukku. Aku tidak keberatan dia tahu dimana aku menginap. Putra sudah berjanji tidak akan menemuiku sebelum dia dan Vera benar-benar selesai.
Aku sudah tak sabar berjemur di pantai. Menikmati terik matahari yang menghangatkan kulitku. Setelahnya aku akan berendam air panas, mandi susu, pijat relaxsasi. Aku ingin mencoba semuanya.
Bali. Aku datang.
*****
Seperti yang diminta Putra, setelah aku sampai di hotel aku meneleponnya.
"Aku sudah tiba di hotel." Kamarku besar sekali begitupula dengan tempat tidurnya. Aku bisa berguling-guling di sana tanpa takut jatuh. Dan sangat lembut. Kamar ini benar-benar kemewahan.
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Aku mengerang karena nyamannya berbaring. Mataku terpejam, merasakan nikmat dari semuanya. Aku hampir melupakan masalah rumah tanggaku.
Itulah gunanya liburan. Melupakan sejenak masalah-masalah yang sedang merundung.
"Bagaimana perjalananmu?'' Aku kembali ke bumi setelah mendengar suara Putra. Tubuhku kubalik hingga telungkup, selimutnya terasa lembut di telapak tanganku.
"Lancar," ujarku padanya. "Dan terimakasih untuk hotelnya. Nyaman sekali. Aku takkan menanyakan berapa harganya karena aku tidak mau membayarnya."
Di sebrang sana Putra tertawa. "Aku senang kau merasa nyaman. Aku pun tidak akan tenang jika kau tidak menikmati liburanmu."
Bibirku mengulas senyum. Aku sangat mencintainya. "Aku sudah tidak sabar ingin berjemur." Membayangkannya saja sudah membuatku gembira.
"Andai aku ada di sana, Ta. Kita akan berjemur bersama."
"Tidak. Tidak." Enak saja. "Aku pergi karena ingin sendiri. Kalau kau ikut sama saja aku tidak bisa menenangkan diri."
Kudengar Putra tertawa lagi. "Jangan terlalu lama berjemur. Tidak bagus."
"Huum," kali ini aku berbalik telentang. "Aku sudah menyiapkan bikini favoritku. Perutku masih belum terlalu buncit. Masih seksi mengenakannya."
"Bikini?" Nada suara Putra meninggi beberapa oktif. Aku bisa menebak bagaimana wajahnya sekarang. Pasti ada sesuatu yang ditatapnya tajam, dia menganggap itu aku. "Kau jangan cari masalah, Ita. Kah bukan gadis lagi."
"Memangnya kalau aku sudah menikah. Banyak orang melakukannya. Bahkan nenek-nenekpun masih ada yang pakai bikini. Apa masalahnya?"
"Masalahnya adalah?" Putra menerangkan dengan lamat-lamat. "Laki-laki sialan di sana akan memandangimu, dan aku tidak ada di sana untuk mematahkan hidung mereka."
Aku menggigiti jari telunjukku. Entah kenapa senang mendengarnya berkata begitu. "Mereka pasti melihat perutku."
"Bisa saja bajingan-bajingan itu tidak perduli."
"Maksudmu mereka menyukai wanita hamil?" Aku memutar mata. "Yang sudah jelas-jelas milik pria lain?"
"Kau tetap seksi walau sedang hamil, sayang. Aku saja tidak bisa berhenti memikirkanmu."
Bagaimana mungkin dia masih bisa membuat wajahku memerah. "Baiklah, aku tidak akan memakainya."
"Aku lega mendengarnya."
"Hhhmm."
"Jangan lupa mengisi perutmu," tambahnya setelah membuatku berjanji tidak memakai bikiniku.
"Iya. Iya."
"Ya sudah nanti kutelepon lagi ya, sayang. Ingat, jangan pakai bikini!!"
"Siap, bos."
Pintu kamarku diketuk tepat setelah Putra mengakhiri telepon. Aku pergi membukanya dan mendapati seorang pria tampan bersetelan rapi sedang tersenyum ramah padaku.
"Saya Edward, Manajer hotel ini." Ia memberikan sebuah syal padaku. Ya ampun, kenapa syalku ada padanya? Aku memberinya tatapan bertanya sembari menerima syal itu. "Supir taksi anda tadi yang mengembalikannya. Mungkin anda meninggalnya di taksi."
"Oh," dia begitu baik mau mengangarnya langsung. "Terimakasih. Maaf sudah merepotkan anda."
"Sama-sama. Tidak masalah." Ia tetap tersenyum dan menunduk kecil. "Semoga hari anda menyenangkan."
Hai...hai...aku udah updet ya. Btw, terimakasi buat vote dan comment yang sudah kalian berikan.😘😘😘
Dan di part ini aku mau bilang 'Surrender' akan ganti judul jadi 'with love'..
Aku memberitahunya di sini biar kalian nggak pada bingung kalau-kalau Surrender hilang dan jadi ada cerita dengan judul lain.
Untuk Meghan, maaf ya belum sempat-sempat updet. Tapi nanti malam aku usahain. Harap maklum soalnya aku juga punya pekerjaan di dunia nyata. 🥰🥰🥰
Dan Meghan sepertinya akan ganti cover. Kayaknya cover yang sekarang kurang pas untuk Meghan.
😊😊😊😊
Salam sayang dariku😘😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro