Bagian 2
Pekerjaanku hari ini membuatku sibuk. Pagi-pagi sekali Putra meneleponku, memberitahuku bahwa dia lupa hari ini ada pentas seni di sekolah Tasya. Tasya akan sedih kalau tidak ada yang melihatnya menari, karena itulah aku menahan rasa kesalku pada Putra dan pergi ke sekolah Tasya. Kadang aku berpikir aku ini bekerja padanya sebagai apa? Modelnya atau pembantunya.
Apa yang belum kukerjakan untuknya? Menggantikan tukang masak di rumahnya aku sudah pernah. Menjaga putrinya juga sering. Melondrikan pakaiannya juga sudah. Menjadi asisten mendadaknya juga kulakoni. Menyiapkan kopi dan sarapannya tak cuma sekali. Bahkan ketika dia menginginkan teman tidur dia mencariku. Apakah dia berpikir aku ini miliknya yang bisa diaperlakukan sesuka hatinya.
Setelah selesai dari sekolah Tasya aku harus ikut meeting untuk membicarakan tema yang akan digunakan untuk edisi akhir bulan ini. Mempersiapkan mental itu perlu. Karena di dalam ruangan sana ada wanita-wanita macan yang sering membuat darah tinggi naik.
Aku menyadari keterlambatanku, dan berusaha agar tak memutar mata pada lirikan mengejek Fina dan Yuri. "Maaf aku terlambat." Bukan salahku juga acara pentas seni Tasya selesainya lama. Toh tugas itu dari Putra. Aldi melambaikan tangan padaku, menepuk kursi kosong di sampingnya.
"Baiklah," seru ibu Susan selaku ketua tim. "Karena semua sudah datang kita bisa memulai rapat." Beliau membuka laptopnya lantas berkata. "Pak Putra sangat senang dengan oplah penjualan minggu lalu." Dari sudut mataku aku melihat Fani tersenyum puas, sedikit angkuh karena dirinya yang menjadi sampul majalah tersebut. "Aku ingin edisi akhir bulan ini lebih bagus dari minggu kemarin. Karena itu kita harus bekerja sama sebagai tim agar bisa mencapai penjualan yang maksimal."
Pemilihan tidak mudah karena banyaknya pendapat yang harus didengarkan dan disaring. Ada beberapa model yang ikut di dalam meeting. Fani dan Yuri berkemauan keras agar tema kali ini menunjukkan kesan fulgar. Mereka memang kerab mengambil sesi busana seksi. Tubuh keduanya menunjang hal tersebut. Ada beberapa perbedaan pendapat namun mereka seolah tak mau tahu. Aku menghela napas, tidak mau bertengkar hanya karena hal sepele. Setelah tiga jam yang terasa seperti selamanya akhirnya meeting disudahi dengan keputusan perencanaan tema harus mendapat persetujuan dari Putra lebih dulu. Putra seorang pria; mungkin saja dia menyukai tema buka-bukaan.
"Aku yakin pak Putra pasti setuju," seru Fani, rambutnya yang berombak dipelintir-pelintirnya entah untuk apa. "Kesan fulgar yang kumaksud tetap berkelas dan tidak mengarah ke pornografi. Model yang tepat bisa memberikan hasil yang sempurna."
Dia benar, dan model yang dia maksud itu adalah dirinya sendiri. Aku menyadari rasa tidak sukanya terhadapku, dia mengumbar kebencian lewat matanya. Beberapa kali dia membuatku harus mengalah dan merelakan sesi pemotretanku untuknya. Dia pasti senang kalau aku melawan. Kemudian dia bisa memulai pertengkaran. Bukan tidak mungkin aku dan dia beradu fisik. Itu tidak akan terjadi. Aku menyukai rambut dan kulitku.
"Tema fulgar yang elegan memang bagus." Ujar ibu Susan penuh pertimbangan, kertas catatannya dia bolak-balik mencari sesuatu. "Tapi konsepnya harus matang. Jika dilakukan dengan setengah-setengah hasilnya bisa buruk sekali."
"Aku akan memikirkan konsep yang tepat jika kesan fulgar yang kita gunakan," tambahku setelah beberapa saat mencermari tema yang kami bicarakan. "File-nya akan kukirim lewat email setelah aku menyusunnya."
"Aku menunggu hasilnya, Lia." Ibu Susan wanita berusia awal empat puluhan. Ia sudah lama bekerja pada Putra. Rambutnya yang dipotong model bop dan diwarnai coklat terang serta kacamata yang bertengger di hidungnya membuatnya tampak modis. Tubuhnya pendek, berbeda dengan model-model yang bekerja dengannya. Namun hal itu tak pernah membuat rasa percaya dirinya berkurang. Aku banyak belajar darinya. Aku menyukai wanita itu.
"Kalau pak Putra mau, dia bisa jadi model prianya," tambah Yuri dengan semangat. Staf lain hanya bisa meringis, bahkan bu Susan tersedak air putih. "Pak Putra sangat cocok dengan konsep yang kita usung. Sepasang kekasih yang tengah mabuk kepayang."
Aldi tertawa. "Kau gila kalau sampai bisa memikirkan hal seperti itu. Pak Putra punya pekerjaan lain yang lebih penting." Aku malah penasaran bagaimana Putra ketika berpose di depan kamera. Wajahnya yang tampan namun kaku pasti menarik.
"Kalau untuk hasil dan rating yang memuaskan kenapa tidak?" Timpal Fani lagi.
Buku catatanku kututup dan kusimpan ke tas, sudah cukup mendengar ocehan mereka berdua. Walau ide Putra menjadi model pria terdengar lucu, namun itu mustahil. "Kalau tak ada yang dibahas lagi aku harus pergi. Ada pekerjaan yang menungguku. Apapun nanti keputusan Pak Putra aku terima." Aku menyarankan tema warna-warni, yang dikhususkan untuk remaja dan sebagian besar gadis yang tidak menyukai dunia dewasa. Karena tema fulgar sudah terlalu sering, hanya ditambah bagian sana dan sini hingga membuatnya sedikit berbeda. Tapi semua keputusan ada pada Putra. Biar dia yang menentukan. Dan jika tema fulgar yang dipilih, aku akan membantu semaksimal mungkin agar hasilnya bagus.
Aldi menyusul di belakangku. "Dua gadis itu membuatku sakit kepala." Aldi tidak menyukai Fani dan Yuri karena kesombongan dua gadis itu. Padahal semua pria menyukai mereka.
"Jangan sekarang! Kau punya pekerjaan denganku."
Seperti biasa pemotretan berjalan lancar, meski kali ini membutuhkan waktu agak lama dari yang kuperkirakan. "Kau terlalu memikirkan rapat tadi," ujar Aldi, dilemparnya handuk bersih padaku. "Konsentrasimu pecah."
Tanktopku basah karena keringat. Kali ini asli bukan karena air yang dicipratkan. Aldi sengaja tidak menghidupkan pendingin ruangan karena ingin aku berkeringat dengan alami. "Aku tidak memikirkannya. Aku yakin Putra lebih tahu apa yang bagus untuk bisnisnya." Pantatku kuhempaskan ke sofa empuk yang tadi kupakai untuk berpose. "Aku lapar sekali."
Aldi melirik jam tangannya. "Hampir setengah tiga. Mau makan di luar?"
"Kau yang traktir?" Aku bermain mata padanya.
"Dasar perempuan."
"Perempuan dan gratisan sulit dipisahkan." Aku hanya menutupi tanktopku dengan blazer katun sepanjang lutut, perutku sudah berontak minta diisi. Tidak ada waktu berganti pakaian. "Bagaimana dengan pakaianku?" Penilaian Aldi terkadang perlu juga.
"Kau tampak luar biasa."
*****
Aku baru saja tiba di ruang ganti sehabis makan siang dengan Aldi ketika Riska---salah satu model juga---menemuiku. "Pak Putra ingin bertemu denganmu." Riska lebih tinggi beberapa senti dariku, kulitnya juga lebih putih. Dia sudah bertunangan dua bulan lalu, kudengar pernikahannya akan dilangsungkan tepat di hari ulang tahunnya.
Alisku naik sedikit. "Ada apa?" Terakhir kali aku bertemu dengan Putra adalah kemarin pagi, apa dia akan memerintahku lagi?
Riska mengangkat bahu. "Dia hanya menyuruhku mencarimu. Aku melihatmu datang bersama Aldi makanya aku langsung menemuimu. Kau sering pergi dengan Aldi, kalian pacaran?"
"Baiklah, aku akan ke sana. Terimakasih sudah memberitahuku dan tidak. Aku dan Aldi hanya berteman." Biasanya Putra meneleponku jika ingin berkata sesuatu. Tasku kuobrak-abrik mencari benda tipisku. Sial, ponselku kehabisan batre. Oke, kalau di marah aku akan menghadapinya.
Pintu ruang kerjanya masih dari kayu. Beberapa waktu lalu dia sempat merubahnya jadi kaca. Tapi mungkin dia tidak senang jika privacynya terganggu hingga kemudian ia mengembalikan ke model kayu mahoni berkualitas. Pintu itu ketuk dua kali kemudian membukanya.
"Kau mencariku?" Ketika hanya ada kami berdua aku lebih senang memanggilnya tanpa embel-embel pak.
Putra sedang menulis sesuatu di kertas sementara aku berdiri di depan meja kerjanya. Putra tidak mengenakan jas dan dua kancing teratas kemejanya terbuka. Ada plastik bertuliskan merk restoran di ujung mejanya. "Aku tidak bisa meneleponmu daritadi dan ketika terlihat kau malah bersama laki-laki lain."
"Aku makan siang dengan Aldi, tidak ada yang salah dengan itu. Aldi temanku, aku tidak tahu kalau aku dilarang pergi dengan seorang teman. Dan ponselku habis batre, karena sangat sibuk aku lupa mengisinya."
Putraa seperti ingin memarahiku, tampaknya ia menahan diri. "Bagaimana dengan Tasya?"
Mengingat bagaimana Tasya menari pagi tadi aku tidak bisa menyembunyikan senyum, anak itu manis sekali. "Dia menari. Aku memvidiokannya tadi. Nanti aku mengirimnya padamu."
"Aku merasa bersalah tidak bisa sering bersamanya," Putra menyugar rambutnya dengan jarinya yang panjang. "Untung ada kau yang bisa menemaninya. Tasya menyukaimu."
"Tapi dia tetap perlu ayahnya."
''Aku tahu, kemarilah." Putra memundurkan kursinya. Aku ragu sesaat, Putra memintaku duduk di pahanya. "Ita kemari!" Putra menyelipkan rambutku ke balik telinga saat aku berada di pangkuannya. Sentuhannya lembut dan menghanyutkan. Biasanya jika sudah demikian aku tahu akan mengarah ke mana, tapi rupanya tidak. Putra memelukku. "Aku merindukanmu." Tuturnya seraya semakin mengeratkan pelukannya. "Kenapa bisa begitu?" Ia begitu manis saat suasana hatinya baik. Nada suaranya lembut dan membujuk. "Hanya kau yang selalu ada di pikiranku."
Dengan menelengkan kepala ke satu sisi aku memberinya tatapan merayu. "Kau sedang menggombaliku?" Kedua lenganku kukalungkan di lehernya, pelan kukecup hidungnya.
Putra tertawa kecil. "Apakah berhasil?" Selalu berhasil. Putra tak perlu bekerja keras untuk membuatku tersipu, ia ahli melakukannya.
''Sedikit."
Plastik putih diujung mejanya tadi diambilnya, dia mengambil sebuah roti isi dari dalamnya. "Aku sengaja memesan lebih karena memikirkanmu. Aku meneleponmu untuk makan siang sama tapi ponselmu tidaj bisa dihubungi. Buka mulutmu."
Aku menggeleng. "Aku sudah kenyang. Lagipula aku sedang mengurangi porsi makanku. Berat badanku naik dua kilo."
"Buka mulutmu, Ita."
"Aku udah kenyang, Putra."
"Aku akan bicara pada Aldi untuk tidak membicarakan berat badanmu. Tidak ada yang salah dengan apa yang kulihat. Aku menyukainya. Sekarang buka mulut cantikmu sebelum kupukul bokongmu." Rasa rotiny enak. Yah, pada akhirnya aku membuka mulut. Putra tidak bercanda dengan ancamannya. Sekali pernah dia memukul bokong sampai merah karena berkata tidak padanya. Putra mengulurkan tangannya mengambil air putih, diberikannya padaku. "Bagaimana pekerjaanmu?"
Aku mencari-cari tisu di meja Putra. Ketika sadar apa yang kucari Putra memberikan saputangannya. "Baik. Semua berjalan seperti seharusnya."
"Kau menginap malam ini?" Jemari Putra bermain-main di kancing kemejaku.
''Aku tidak bisa. Nenek akan curiga kalau kubilang aku nginap di kantor terus. Lagipula aku agak kurang enak badan."
Tangannya langsung memegang keningku. "Kau sakit?"
"Tidak. Mungkin hanya kurang istirahat." Aku tidak sedang berbohong. Akhir-akhir ini aku mudah sekali lelah. Berdiri lama untuk pengambilan gambar bisa membuatku tiba-tiba pusing, padahal sebelumnya tidak pernah.
"Baiklah," Putra mengusap pipiku. "Jangan terlalu memaksakan diri. Kalau lelah kau seharusnya istirahat." Aku mengangguk. "Pulang kantor nanti kita ke rumah sakit."
Mataku membesar. "Untuk apa?"
"Untuk memeriksa keadaanmu."
"Aku tidak apa-apa, Putra. Hanya kelelahan."
"Kelelahan juga harus diperiksa supaya kau diberi vitamin."
"Aku bisa sendiri. Jangan berlebihan."
Vote dan komennya jangan lupa 🥳🥳
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro