Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 19

"Si Mbok bilang kau belum makan malam." Putra menutup pintu kamar di belakangnya. Ia membuka kancing teratas kemejanya sambil berjalan mendekatiku yang sedang berbaring di tempat tidur.

Kutarik selimut semakin ke atas hingga hanya tinggak kepalaku saja yang terlihat. "Aku tidak lapar," ujarku setengah hati. Kulejamkan mataku agar tidak melihatnya. Jika memandang wajahnya aku jadi teringat foto Vera yang masih dia simpan.

"Kau tidak enak badan?" Kurasakan telapak tangan Putra menyentuh keningku. Dia menggeser sedikit tubuhku agar bisa duduk. "Kepalamu sakit?"

Pikiranku yang sakit. "Mungkin aku kecapean."

Dari kening tangannya berpindah ke leherku. "Aku sudah bilang kau tidak usah bekerja dulu. Kau sedang hamil. Tapi kau mana pernah mau mendengarku."

"Hhmm," aku hanya menggumam, sedang tidak berselera berdebat dengannya. Biarkan saja dia dan pikirannya itu. Aku malas berbicara dengannya.

"Jangan tidur dulu, Ta. Kau belum makan malam."

"Makan saja bagianku."

"Ingat anak dalam perutmu," dipegangnya perutku dari balik selimut. "Dia butuh makan. Kau tidak kasihan padanya?"

"Sekarang aku tidak lapar. Mungkin beberapa jam lagi."

"Sudah hampir jam sembilan malam, Ita. Mau jam berapa lagi kau makan?"

"Jam sepuluh."

Putra menghela napas. "Kalau begitu kau minum susu dulu. Biar ada yang mengganjal perutmu menunggu kau mau makan."

"Aku malas bergerak." Bodoh amat aku jadi terlihat seperti anak kecil. Aku tidak peduli.

"Biar kusuruh si Mbok yang membuat." Tempat tidur bergerak ketika Putra berdiri.

"Aku mau kau yang membuatkan susu untukku. Jangan suruh si Mbok."

Kudengar Putra menggerutu. "Apa bedanya? Toh sama-sama susu."

"Ini pesanan anakmu."

"Baiklah. Baiklah. Biar aku yang buat."

Sebelah mataku kubuka, kulihat Putra melangkah keluar. "Ingat harus kau yang membuat. Kalau kau berbohong dan menyuruh orang lain melakukannya, anakmu akan ngences-ngences sampe usia dua tahun."

"Tenang saja," seru Putra tanpa menoleh ke belakang. "Anakku pasti tahu susu buatan Ayahnya."

Aku memelerkan lidah. Tahu dari hongkong?

Putra datang tak lama kemudian dengan segelas susu di tangannya. Ia memberikannya padaku. "Aku sudah mendinginkannya. Sudah tidak terlalu panas lagi. Aku tahu kau akan banyak alasan lagi jika susunya masih panas." Putra membantuku duduk, diarahkannya gelas tersebut ke bibirku. "Minumnya pelan-pelan." Putra mengusap susu yang merembes ke sudut bibirku.

"Bukan kau yang membuat susu itu, kan?" Pandanganku mendelik. Rasanya seperti ketika si Mbok yang membuat.

"Kau menuduhku berbohong?"

Kan memang kau tukang bohong. "Aku tahu rasanya saat meminumnya."

"Yah jelas kau tahu, rasanya rasa susu. Mana mungkin berubah."

"Pasti kau menyuruh si Mbok."

"Si Mbok sudah masuk kamar. Memang aku yang membuatnya. Ya sudah istirahat lah lagi, aku mau mandi." Gelas yang telah kosong diletakkannya di nakas. Dia membuka lemari, mengambil pakaian lalu masuk ke kamar mandi.

Entah karena kenyang minum susu mataku mengantuk. Aku menguap beberapa kali. Aku melirik pintu kamar mandi yang tertutup. Dia bahkan tidak membahas soal ruangan yang ada di belakang. Mungkin dia mengira aku sudah melupakannya. Dia bahkan belum menyadari sikapku yang tidak acuh.

Aku tidak tahu kapan aku tertidur. Aku terbangun karena Putra membangunkanku. "Sudah jam sepuluh," ia menunggu mataku benar-benar terbuka. "Kau sudah janji akan makan kalau sudah jam sepulu."

Aku menutup kuapku dengan tangan. Dia menganggu tidurku saja. "Aku masih belum selera."

Putra memutar mata. "Makan lah sedikit. Pikirkan kesehatanmu."

Tidak bisa! Aku pikiranku sudah terlalu banyak akhir-akhir ini. "Aku ingin makan gado-gado."

Putra mengerjap. "Gado-gado?"

"Huum." Kulipat kedua tanganku di bawah pipi. "Ini juga pesanan anakmu."

"Sekarang sudah jam berapa?" Tukasnya dengan tatapan tajam. Aku tidak terpengaruh. "Di mana aku mencari gado-gado?"

Aku mengendikkan bahu. "Hanya itu yang ingin kumakan sekarang. Yang lain aku tidak selera. Aku tidak memaksamu pergi mencarinya. Tapi kau pun tidak boleh memaksaku untuk makan."

"Gado-gado nya besok saja, ya. Malam ini kau makan masakan si Mbok saja. Si Mbok masak gurame bakar. Rasanya enak, kau tidak mau mencobanya?"

Kepalaku menggeleng. "Gado-gado atau aku tidur lagi."

Putra mengusap-usap wajahnya. Ia meninggalkanku tanpa mengatakan apa-apa. Aku tidak tahu apakah dia akan pergi membelikanku gado-gado atau pergi hanya karena tidak tahan lagi bicara denganku.

Sepertinya Putra sedang berusaha menjadi Ayah dan suami yang baik. Aku hampir tertidur lagi sewaktu kudengar dia membuka pintu. Ia memegang kantongan plastik.

Dia benar-benar membelinya.

"Awas kalau kau tidak menghabiskan gado-gado yang kubeli," diletakkannya kantongan plastik itu bersama piring dan sendok yang telah diambilnya juga. "Setengah jam lagi aku kembali, jika gado-gadomu belum habis kupastikan bokong akan memerah."

Dia mengancam akan memukul bokongku? "Aku akan menghabiskannya."

Putra mengangguk lantas meninggalkanku lagi.

******

Air liurku menetes begitu aroma bumbunya yang kental sampai ke hidungku. Aku beranjak dari tempat tidur dan membawanya ke sofa. Aku tidak ingin sepreiku kotor saat aku makan.

Kubuka plastiknya, kuletakkan kertas pembungkusnya di atas piring. Aku menuang air putih yang memang selalu ada jika malam, si Mbok yang menyediakannya.

Satu sendok masuk ke mulutku, dan aku mengerang. Rasanya enak sekali. Kupikir Putra membelinya asal saja. Rupanya dia memilih tempat yang enak juga.

Tak butuh lama aku menghabiskan makananku. Bukan karena aku takut pada ancaman Putra. Rasa gado-gadonya memang enak. Aku sampai menjilat jemariku yang terciprat bumbu. Aku mendesah tatkala perutku terasa kenyang. Aku sampai malas bergerak karena terlalu kenyang. Plastik dan kertas tempat gado-gado itu kubiarkan saja di atas meja. Jika Putra marah biar dia yang merapikannya.

Karena masih kenyang aku tidak mau langsung tidur. Kuambil remot dari bawah meja lalu menghidupkan Tv. Tengah malam begini tak banyak channel yang enak ditonton. Meski begitu aku tetap menonton.

Aku masih tidak tahu apa langkah selanjutnya yang akan kuambil setelah tahu Putra belum sepenuhnya melupakan Vera. Jika berpisa dengannya, Vera pasti bersorak gembira. Keinginannya terwujud. Tapi jika tetap bertahan bersama Putra aku tak yakin hatiku sanggup.

Ck, kalau sudah memikirkannya begini kepalaku jadi sakit.

Atau aku pergi saja?

Tapi kemana?

Aku tidak mungkin pergi ke rumah nenek. Yang ada nenek jadi khawatir padaku. Apalagi dengan keadaanku yang tengah mengandung seperti sekarang.

Astaga, apa yang harus kulakukan?

Aku menoleh mendengar kenop pintu ditekan. Putra tidak langsung masuk. Ia mengintip pelan.

Kenapa?

Saat Putra melihatku duduk di sofa, iaberdehem lantas melangkah masuk. Langkahnya pelan sekali. Seperti anak yang takut dimarahi karena terlambat pulang. Begitulah persisnya Putra sekarang. Menatapku pun dia terlihat takut.

"Aku sudah menghabiskan gado-gado yang kau beli," kataku memberitahu. "Sesuai permintaanmu." Putra berubah aneh, dia mendadak jadi pendiam. "Kau kenapa?"

"Kau mengambil kunci dari ruang kerjaku."

Jantungku mencelos. Sial. Aku lupa mengembalikannya. Kenapa aku sepikun ini? Aku belum tahu langkah apa yang harusnya kuambil, dan aku belum memiliki senjata untuk melawannya.

Kepalang basah. Aku tidak punya cara lain. Menghadapinya adalah jalan satu-satunya.

"Maaf aku lupa mengembalikannya. Aku memasukkannya ke laci nakas. Ambil saja."

"Kau membuka ruangan belakang tanpa ijin dariku, Ta."

"Kupikir ini rumahku juga," aku menaikkan kakiku ke sofa. "Maaf kalau aku salah."

"Yang kau lihat di sana tidak seperti yang kau bayangkan."

Dia ingin aku berpikiran apa? Bagaimana jika posisi kami balik. Apakah dia bisa terima jika aku melakukan seperti yang ia lakukan. "Aku sedang tidak ingin membahasnya sekarang."

"Aku tidak akan menceraikanmu."

"Itu bukan tergantung padamu. Yang menjalani pernikahan ini kita berdua, bukan kau seorang."

"Aku bisa menjelaskannya, Ta," wajah Putra memelas, ia menatapku dalam.

"Kurasa sedikit terlambat untuk itu. Jika aku tidak melihat isi ruangan itu aku yakin kau tidak akan menceritakannya padaku. Kau melarangku membukanya."

"Aku takut kau marag jika kuberikan kunci itu padamu."

"Tapi kau masih menyimpan barangnya, kan?"

"Aku sudah berencana membakar semua itu."

"Kapan?" Aku menggeleng. "Ada banyak waktu terlewat untuk kau melakukannya. Setelah seperti sekarang kau baru kau ingin membuangnya."

"Aku akan membuangnya besok. Selama ini aku disibukkan banyak pekerjaan. Aku lupa dengan ruangan itu."

"Kita bicarakan lain kali saja," aku bangkit berdiri. "Aku mulai ngntuk."

Putra menarik tanganku. "Kau tidak akan meninggalkanku kan, Ta."

Kutatap dia, pria yang kucintai. Hatiku sesak membayangkan jauh darinya. Namun perih di dadaku juga tak tertahan tahu dia masih berhubungan dengan Vera.

"Aku benar-benar mengantuk, Putra. Aku perlu tidur."

"Baiklah," ia membantuku naik ke tempat tidur. Putra ikut bersamamu.

"Kenapa kau di sini?" Tatapanku sinis.

"Aku juga ingin tidur. Aku ingin tidur bersama istriku."

Aku memutar mata, lantas membalik badan. Memberikan punggungku padanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro