Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 14

Putra merapikan selimut di tubuhku. Walau napasnya sendiri masih naik-turun seusai kegiatan bercinta kami, ia menarikku kian dekat padanya. Dikecupnya perutku yang mulai membuncit dari balik selimut. "Sehat-sehat ya, sayang." Kuusap kepalanya pelan. Ia berperan sebagai ayah yang baik. Begitupun dengan Tasya, tak sekalipun aku melihat Putra mengabaikannya. Tapi entah kenapa, di sudut hatiku yang terdalam seolah ada sesuatu yang mengganjal. Aku tidak tahu apa itu, namun dia ada. Dia seperti perasaan cemas, mungkin juga rasa tidak percaya.

"Kau sudah mencarikan pekerjaan yang cocok untukku?" Putra takkan membahasnya jika bukan aku yang mulai lebih dulu. Kalau mengikuti keinginannya, aku bakal membusuk kebosanan. Mungkin saja jika memiliki kesibukan pikiranku tidak berfokus pada hal-hal yang belum terjadi. Tentang ruangan di belakang rumah aku masih belum menemukan cara untuk membahasnya dengan Putra. Hal itu pun turut mengisi pikiranku.

Putra menatapku dengan sebelah alis terangkat. "Kau takkan berhenti merong-rongku, eh?" Ia meletakkan siku di keningnya, tampak berpikir sesaat. "Datanglah ke kantor, lakukan apa yang kau suka. Selama tidak menimbulkan kekacauan kau diperbolehkan mengawasi."

Keningku berkerut. "Pekerjaan apa itu?"

Putra tertawa. "Aku juga tidak tahu. Yang penting kau tidak di rumah seharian. Jika ada pemotretan kau bisa memantau. Kerjakan bagian yang ringan. Jika terlalu berat biarkan yang orang lain yang melakukannya."

"Bagaimana kalau ada yang keberatan? Status jabatanku tidak jelas. Tiba-tiba aku datang mengganggu pekerjaan mereka."

Putra memiringkan tubuhnya, kepalanya berpangku pada tangan. "Jabatan siapa yang tidak jelas? Kau istriku, sama saja dengan aku. Memangnya ada yang berani melarangku berkomentar di kantor?"

Bibirku berdecak, tatapanku kuarahkan ke langit-langit kamar. "Itukan berbeda, Putra. Kau bos di sana sementara aku?"

"Lakukan saja apa yang kubilang, Ita. Jika ada yang melarangmu, hubungi aku."

Keesokan harinya aku melakukan seperti yang dikatakan Putra. Kami berangkat bersama. Setelah mengantar Tasya ke sekolah, aku di antar ke kantor. Putra tidak ikut turun karena ada pertemuan klien.

"Ingat jangan terlalu capek." Dari kaca Putra memberiku tatapan peringatan.

"Siap, bos."

Aku rindu suasana bekerja. Kalau untuk pengambilan gambar mungkin aku sudah tidak bisa lagi. Perutku yang mulai kelihatan tidak bisa disembunyikan. Lapipula Putra takkan membiarkan perut telanjangku dilihat sembarang orang.

"Kupikir aku salah melihat orang tadi," Aldi berlari menghampiriku. "Kau bekerja lagi? Memangnya pak Putra mengijinkan tubuhmu di foto?"

"Dari mana?" Aku melanjutkan langkahku, tak sabar menghirup aroma ruangan tempatku bekerja dulu.

"Dari kafe seberang, seminggu ini ada promo murah." Ia mengangkat cup tempat copinya. Aroma dari kopi itu sendiri lumayan menggoda.

"Aromanya sedap," ujarku, melirik cup di tangan Aldi.

"Memang," dengan sebelah tangan di masukkan ke saku celana Aldi berjalan di sampingku. "Kafe nya baru buka. Walau harga promo rasanya tidak mengecewakan. Banyak pegawai yang yang nongkrong di sana kalau jam istirahat."

"Kapan-kapan ajak aku ke sana."

"Boleh. Boleh. Kau akan ketagihan dengan rasa kopinya. Ada banyak pilihan, tergantung seleramu saja. Pak Putra juga sering ke sana," Putra terkekeh pelan. "Mungkin karena owner nya cantik."

"Hah?"

Aldi tersenyum tidak jelas. "Aku bercanda, Lia. Pak Putra kan sudah punya istri, mana mungkin kepincut sama wanita yang baru dikenal." Tetap saja pikiranku sudah terlanjur kemana-mana. "Tapi owner nya memang cantik sih." Sambungnya lagi seakan sengaja membuatku kesal.

Aku melengos pergi, meninggalkannya tertawa di belakangku. Tak lama kudengar langkahnya mengejarku. "Eh tapi kau belum menjawab pertanyaanku tadi, Lia. Kau akan kembali pemotretan lagi?"

"Tidak," aku membalas senyum model lain yang kebetulan berpapasan denganku. Hari masih pagi, cuaca lumayan bagus tapi si tengik di sampingku ini sudah merusak moodku yang tadinya bagus. "Aku di sini untuk mengawasimu bekerja."

"Sejak kapan kau jadi pengawas?"

"Sejak hari ini. Jadi seriuslah bekerja, karena kalau tidak kau akan digeser." Aldi tahu aku tidak serius karena dia mendorong bahuku dengan bahunya. "Sejak jadi istri bos kau jadi sok ya."

"Mumpung ada yang bisa di sok-kan."

"Kau marah, ya?"

"Menurutmu?"

"Yaudah sebagai permintaan maafku kutraktir kau minum kopi di kafe sebrang. Nanti jam makan siang."

"Aku tidak berjanji setelah itu rasa kesalku bisa hilang."

*****

Walau tak banyak yang bisa kulakukan di kantor---karena masing-masing pekerjaan sudah ada yang meng handle, tapi aku masih lebih suka di sini daripada sendirian di rumah.

Tak terasa makan siang telah tiba, aku mencari Aldi untuk menagih janjinya. Aku sedikit penasaran dengan kafe yang dibilangnya itu. Aku menemuinya di ruang pengambilan gambar. Dia pun sedang mengemas barang.

"Sudah selesai?" Aku mengangguk ke model yang sedang siap-siap keluar juga. "Model baru, Al?" tanyaku setelah gadis itu pergi. Aku belum pernah melihatnya sebelumnya.

"Iya, kudengar-dengar pak Putra yang membawanya ke sini. Dia salah satu pemeran dalam film baru pak Putra." Aku mengangguk-angguk saja. "Kau tidak takut?"

"Takut kenapa?"

"Pak Putra sering bersama gadis-gadis cantik."

"Kau mulai lagi, Al."

"Ibu hamil sensitif sekali, ya."

"Jangan cerita ke orang-orang kalau aku hamil."

"Ya ampun, Lia. Tidak diberitahu pun orang-orang sudah tahu. Ada orang yang melihatmu dan pak Putra ke dokter kandungan tempo hari. Kau tidak tahu media membicarakan kalian?"

"Akhir-akhir ini aku tidak suka menonton TV." Kuharap media tidak memberitakan secara berlebihan. Perusahan Putra bergerak dibidang perfilman, karena itu cerita tentangnya menarik untuk diobrak-abrik. Itu istilahku untuk paparazi yang tak kenal ampun dalam mencari berita. "Sebaiknya kau jangan terlalu sering menonton gosip."

"Ya elah, itu juga cuma sekilas, Lia. Yang pasti semua orang yang bekerja di dalam bangunan ini tahu kalau istri bos-nya sedang hamil."

"Baiklah. Baiklah. Aku tidak akan membahas itu lagi. Aku ke sini untuk menagih traktiran kopi yang kau janjikan."

"Sebentar, kurapikan barang-barangku dulu."

*****

VR Coffee! Itu merk yang tertulis di atas bangunan bagian depan. Ditulis dengan tulisan latin yang rapi dan cantik.

Aldi membukakan pintu kaca untukku. "Silahkan masuk, Tuan Putri." Dia berlagak sebagai pelayan. Aku memutar mata.

Dekorasi ruangan didesain bernuansa klasik. Dari segi warna dan perabot yang dipakai dipilih agar membentuk kombinasi yang memikat. Berada di dalamnya terasa nyaman. Terdengar alunan musik yang begitu lembut. Sangat cocok untuk seseorang menghabiskan waktu untuk dirinya sendiri.

Seseorang berseragam langsung tersenyum ramah ke arah kami, ia menanyakan minuman yang ingin kami pesan. Aldi tampaknya sudah biasa dengan gadis itu, mereka membicaran sesuatu sebentar baru kemudian memberitahu pesanannya. ''Kau pesan apa? Semua kopi di sini enak. Di sini juga tersedia menu makan siang sederhana."

"Menu makan siang kami hari ini nasi goreng seafood." Gadis itu memberitahu kami. Senyum lebar tak pernah meninggalkan wajahnya yang bulat.

"Aku pesan itu saja satu." Aldi melirikku. "Kau?"

"Samakan dengan punyamu saja."

Kami mengambil meja agak di belakang. Aldi mengerlingkan matanya. "Tempatnya enak, kan?"

Aku mengangguk. "Lumayan."

"Makanannya juga enak."

"Karena ownernya cantik?"

Aldi menggaruk tengkuknya. "Memang enak lho, Lia. Kau bisa rasakan nanti. Walau hanya nasi goreng, tapi rasanya beda."

Beberapa saat kemudian pesanan kami datang. Kalau dilihat dari tampilannya, rasanya sepertinya enak. Sebagai permulaan aku mencoba kopinya. Aku meniupnya beberapa kali sebelumnya menyesapnya. Aldi tidak berbohong, rasa kopinya enak. Antara manis dan pahit menyatu sempurna. Aku tidak tahu yang mana yang lebih dominan. Pekat kopi atau manis susu.

"Bagaimana?" Aldi melihatku, menunggu jawabanku.

"Aku suka."

"Sekarang kita coba nasi gorengnya."

"Kita coba sama-sama." Nasi gorengnya juga enak. Jika di tempat lain penyedap rasanya langsung kentara, di sini berbeda. Gurih dari seafood yang mereka gunakan di mix dengan tepat. Nasi gorengku hampir habis ketika seorang wanita mendorong pintu kaca dan berjalan masuk.

Rambutnya pendek seleher. Dia lebih tinggi dariku, bisa jadi karena sepatu yang ia pakai memang tinggi sekali. Pakaiannya bergaya dan modis. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena ditutupi kacamata hitamnya yang besar.

"Itu owner-nya," seru Aldi di sebelahku. "Setiap siang dia memang sering datang. Mungkin untuk memeriksa."

Aku nyaris tersedak saat ia membuka kaca matanya. Aku pernah melihat wanita itu. Aku melihatnya di...

Vera?

VR Coffee?? Vera Coffee???

"Aku sudah pernah bicara dengannya. Dia ramah."

"Kau tahu namanya?" Aku berusaha untuk tidak terlalu memperhatikan wanita itu. Sekilas tadi pandangan kami bertemu. Aku dapat melihat keterkejutannya, walau sedikit.

"Kalau tidak salah Vera. Kenapa? Kau kenal dengannya?"

"Putra sering ke sini?"

"Hhhmm, tidak sering-sering juga. Tapi pernah."

Apa-apaan ini? Apa yang dilakukannya dengan membuka kafe tepat di sebrang kantor Putra? Mungkinkah ia sengaja melakukannya agar bisa sering berjumpa dengan Putra?

Dan Putra sendiri tahu kafe ini milik Vere. Bahkan sudah pernah ke sini. Astaga, aku tidak bisa memercayainya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro