Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 13

"Seharusnya kau tidak langsung mengiyakan permintaan nenek, Van." Aku dan Tasya pada akhirnya naik ke mobil Revan. Karena entah memang kebetulan atau ia sengaja berbohong, arah tujuannya sama dengan arah rumah Putra. Apalagi aku tidak punya alasan menolak untuk ikut. "Kami bisa naik taksi atau kusuruh supir Putra menjemput. Sekarang kau jadi repot." Tasya duduk tenang di sampingku setelah kuberi ponsel untuknya menonton video. Tak sulit membuat Tasya tenang. Aku dan Tasya duduk di belakang. Tadinya Revan agak keberatan tapi aku berkeras.

Revan membunyikan klakson mobil sembari tersenyum pada nenek kemudian melajukam mobilnya. "Tidak ada yang direpotkan," ucapnya sembari menyetir. "Kita searah, apa salahnya aku mengantarmu."

"Tidak ada niat lain?" Sebelah mataku kusipitkan, belum sepenuhnya percaya pada niatnya.

Revan menoleh sebentar ke belakang. "Menurutku sudah terlambat kalaupun aku memiliki niat tertentu padamu, Lia. Percayalah aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin mengantar kalian saja."

"Baiklah," punggungku kusandarkan ke kursi, aku menatap keluar mobil. Senja mulai berlalu digantikan malam. Di ibukota seperti ini mustahil dapat melihat bintang. Sayang sekali. "Terimakasih kalau begitu." Selanjutnya tak ada yang bicara di antara kami, yang terdengar hanya suara dari video yang ditonton Tasya. Sesekali Tasya mengajukan pertanyaan, setelahnya kembali menekuri video yang ia tonton.

Setelah beberapa waktu berlalu barulah Revan membuka suara lagi, namun pertanyaan yang diajukannya hampir membuatku tersedak air liurku sendiri. "Apakah kau bahagia menikah dengan suamimu?" Nada dan raut wajahnya ketika menanyakannya biasa saja. Aku tidak tahu harus menilai seperti apa.

"Tujuanmu menanyakan itu?"

"Tidak ada. Aku hanya ingin bertanya saja." Senyum kecil ia layangkan padaku. Ia juga melirik Tasya sekilas. "Kau benar-benar seperti ibu kandung baginya."

Aku menghela napas. Apakah di jidatku tertulis aku tidak bahagia? Nenek pun mengira demikian. "Setiap rumah tangga punya masalahnya masing-masing, Van. Tapi aku bahagia menikah dengan Putra. Dan untuk Tasya," kuusap pelan kepala putri kecilku ini. "Aku memang menyayanginya."

Revan mengangguk. "Hanya itu yang ingin kutahu, Lia. Aku senang kau bahagia. Suamimu beruntung memilikimu. Aku mendoakan yang terbaik untukmu. Aku tidak mungkin memaksa jika memang tidak berjodoh." Revan melambatkan mobilnya karena macet. Jalanan lumayan padat, menambah parah keadaan. Kami bisa lebih lama sampai di rumah.

Aku tidak terlalu suka dengan topik pembicaraan kami. Karena itu aku lebih memilih diam. Dan sepertinya Revan mengerti keinginanku. Dia pun tidak bicara lagi hingga kami sampai.

Tasya langsung turun setelah mengucapkan terimakasi pada Revan. Aku membawa tas dan sepatu Tasya, ketika berada di luar aku memberi senyum kecil ke Revan serta ucapan terimakasih. "Hati-hati." Revan mengangguk dan membalas senyumku. "Kau memang sudah menikah. Tapi kita masih berteman. Kalau ada yang bisa kubantu, telepon saja."

Aku mengangguk. "Terimakasih." Setelah mobil Revan tidak terlihat lagi barulah aku masuk mengikuti Tasya. Satpam membukakan gerbang untukku. "Bapak sudah pulang?" tanyaku.

"Sudah dari tadi, Bu."

Di teras rumah Putra sedang berdiri bertelanjang dada; hanya mengenakan celana pendek dengan ponsel di tangan. "Kalian dari mana?" Nada suara Putra tidak enak didengar, begitupula wajahnya. Ia kelihatan ingin menelan seseorang.

"Dari rumah nenek." Tasya yang menjawab. Anak itu melompat-lompat kecil menghampiri Papa nya. Tasya sama sekali tidak menyadari rahang Papa nya yang mengeras marah.

''Tapi supirku bilang kalian tidak ada di sana," tatapannya tajam padaku. "Aku menyuruhnya menjemput kalian karena kalian tidak ada di rumah. Kalian pulang diantar siapa?" Aku berniat berbohong namun Putra langsung memotong kalimatku. "Jangan coba menipuku, ada CCTV di luar."

Baiklah, aku takkan berbohong.

"Sama Om Revan." Lagi-lagi Tasya yang menjawab. Sekarang aku ingin menciumnya karena hal itu. Dia tak takut sedikitpun pada Putra.

"Revan?" Pandangan Putra tak sekalipun meninggalkanku. Malah wajahnya bertambah merah. "Kau dengannya?"

Aku berdehem, melanjutkan langkah yang tadinya sempat terhenti. "Revan kebetulan lewat depan rumah kita, nenek menyuruhnya mengantar kami." Aku mengajak Tasya masuk. "Ayo, sayang. Kamu mandi dulu."

"Kenapa kalian lama sekali sampai? Supirku sudah dari tadi di rumah nenek." Putra berjalan di belakang kami.

"Jalan agak padat, Putra."

"Bukannya si Revan itu yang sengaja berlama-lama supaya kalian bisa berduaan?" Sepertinya aku melihat ada asap keluar dari telinga Putra. Aku nyaris tak tahan menahan senyum.

"Kami bertiga."

"Kau tahu maksudku, Ta."

"Tadi memang lumayan macet, Putra. Kalau tidak percaya tanya saja Tasya." Aku dan Tasya terus berjalan ke kamar Tasya.

"Lain kali kalau ingin bertemu nenek, nenek saja yang suruh datang ke rumah kita. Ada supir yang bisa menjemput. Tidak perlu kalian yang ke sana."

"Papa kenapa, Ma?" Tasya mendengak menatapku. Mungkin ia pun mulai jengah mendengar nada keras Papanya.

"Papa cemburu," jawabku cepat, tak lupa kusematkan senyum di bibirku.

"Aku tidak cemburu," pungkas Putra tak terima. "Aku hanya tidak suka istriku dekat-dekat dengan pria lain."

Bedanya di mana? Aku mengabaikan Putra. Kubawa Tasya masuk ke kamar mandinya dan mulai membersihkan anak itu.

****

Setelah selesai mengurus Tasya, aku pergi ke kamar kami. Di sana Putra bersandar di kepala ranjang dengan laptop di pangkuannya. Kacamata bacanya bertengger di hidungnya yang mancung. Rambut Putra berantakan, membuat tanganku gatal ingin menyisirnya. Putra masih tak mengenakan bajunya. Dadanya yang telanjang menimbulkan bayangan-bayangan tak senonoh di benakku. Bukan hanya pria yang gerah melihat dada telanjang. Wanita juga bisa. Aku tak sadar terlalu larut pada fantasiku akan tubuh suamiku sendiri hingga tiba-tiba kudengar Putra mendengus.

"Jangan memperlihatkan wajah seperti itu." Rupanya ia memperhatikanku.

"Ada apa dengan wajahku?" Aku berkelit. "Aku hanya membayangkan sesuatu."

"Tidak usah katakan apa yang kau bayangkan! Aku tidak ingin dengar."

Gantian aku yang mendengus. "Aku juga tak ada niat memberitahumu." Putra mungkin masih kesal karena Revan. Ya ampun, dia sampai segitunya. Memangnya dia pikir apa yang bisa kulakukan dengan laki-laki lain saat hamil begini. Dia pikir aku gila? 

Aku masuk ke kamar mandi dengan membanting pintu. Putra kalau sudah cemburu sering tidak masuk akal. Aku sengaja berlama-lama di kamar mandi. Aku berendam air hangat yang lama. Agar otot-otot di tubuhku tidak terlalu tegang. Akhir-akhir ini sejak menikah dengan Putra, kepalaku sering dipaksa berpikir melebihi kapasitasnya. Apalagi ada Vera, wanita yang masih menimbulkan banyak pertanyaan untukku.

Baru saja aku keluar dari kamar mandi Putra tak membuang-buang waktu melontarkan rasa kesalnya. "Kupikir kau mau sampai pagi di dalam sana."

Serius, Putra masih marah. Aku berjalan ke lemari pakaian, hanya mengenakan handuk putih yang melilit di tubuhku. Aku mencari-cari pakaian yang ingin kupakai. Aku sudah akan memilih gaun tidur katun coklat susu ketika mataku melihat warna merah terang. Itu gaun satin berlengan spageti hadiah dari Putra. Sudah lama ia memberikannya padaku. Baru sekali aku memakainya. Kuambil gaun tersebut kemudian memilih celana dalam yang senada. Aku tak memakai bra.

Alam bawah sadarku tertawa membayangkan reaksi Putra.

Aku tak mau repot kembali ke kamar mandi untuk memakainya. Tubuhku dalam posisi memunggungi Putra, kukenakan pakaianku. Bulu tengkukku berdiri, aku dapat merasakan perhatian Putra padaku. Setelah selesai, kulebarkan handuk di kursi kayu yang ada di sana lalu membalik badan.

Benar! Putra tidak berkutat dengan laptopnya lagi. Kacamatanya pun sudah dilepas, iris gelapnya menelusuri setiap jengkal tubuhku.

"Apa yang kau lakukan?" Ujarnya dengan nada serak. Aku bisa melihat jakunnya naik turun. Entah kenapa kamar ini jadi terasa hangat padahal pendingin ruangan menyala seperti biasa.

Aku menaikkan bahuku yang telanjang. "Kau bisa melihat sendiri. Aku sedang berpakaian." Jujur saja aku merasa sangat terbuka berdiri di depannya. Panjang gaunku hanya setengah paha. Belum lagi bahannya yang tipis, membuatku seperti telanjang.

"Jangan coba-coba merayuku! Itu tidak akan berhasil. Aku masih marah padamu." Diletakkannya laptopnya yang sudah mati ke nakas, lantas berbaring."

Kulepas ikatan rambutku. Kubiarkan rambutku tergerai di punggung. Aku menyisirnya menggunakan jari dengan gerakan lambat. Mulut Putra bisa bilang dia takkan tergoda, tapi matanya tidak bisa berbohong.

Aku memang hamil, namun tubuhku belum kehilangan rasa manisnya. Putra sudah mencicipinya. Dia tahu bagaimana rasanya.

Setelah selesai dengan laptopnya, Putra ingin menunjukkan ketidak tertarikannya padaku dengan berganti menekuri ponsel. Aku tahu ia berusaha keras untuk tidak mengacuhkanku.

Baiklah kalau begitu. Kuambil jubahku dari lemari. Lebih baik aku melihat Tasya, apakah anak itu sudah tidur.

"Kau mau ke mana?"

Ngakunya tidak peduli. "Ke kamar Tasya."

"Dengan pakaian seperti itu?"

"Tidak ada orang di rumah."

"Kalau malam begini keamanan bebas masuk ke rumah untuk mengontrol. Kau ingin terlihat seperti itu di depan mereka?"

"Aku tidak pernah bertemu dengan mereka di rumah."

"Itu hanya kebetulan."

"Mungkin kali ini juga terjadi kebetulan."

"Ita jangan menambah kemarahanku."

"Aku tidak mengerti kenapa kau marah?"

"Kau tahu kenapa aku marah!"

"Tidak! Aku tidak tahu." Aku mendekat ke tempat tidur agar bisa lebih jelas menatap matanya. "Kau kesal karena Revan mengantarku pulang? Kau tidak sadar itu berlebihan?"

Putra menarik tanganku hingga tubuhku jatuh di atasnya, beberapa detik tatapanku menyatu dengan tatapannya. "Bagaimana kalau kubilang aku tidak suka?"

Gelenyar hangat merambat di kulitku tatkala jemarinya menyentuh pahaku. Bergerak lembut dari atas ke bawah. Sentuhannya seperti kapas, ringan.  Putra mengangkatku agar berada tepat di atasnya. "Dia hanya teman."

"Kau dan aku dulunya juga teman."

''Tapi aku mencintaimu."

Putra memejamkan mata. "Kau tidak tahu betapa senangnya aku mendengar kata-kata itu terucap dari bibirmu."

Kukecup hidungnya. "Aku berjanji hanya kau yang bisa memilikiku."

"Vera dulu juga berkata seperti itu."

Aku hampir memukul kepalanya karena kata-katanya itu. "Aku bukan Vera," ujarku dengan nada tertahan.

Putra menghela napas, kedua matanya terbuka. "Kau milikku, Ta. Hanya milikku. Hanya aku yang boleh menyentuhmu." Putra menjatuhkanku ke tempat tidur kemudian menindihku. "Jika dulu aku membiarkan Vera pergi dengan laki-laki lain," telapak tangannya menyusup ke gaunku, meremas payudaraku yang mulai sensitif. "Denganmu aku tidak akan melakukannya. Aku akan memotong tangan lain yang berani menyentuhmu."

Aku tidak tahu Putra bisa semarah ini hanya karena masalah ringan. Napasnya berat, rahangnya mengeras dan wajahnya merah sekali. Kukalungkan kedua tanganku di lehernya. "Tenangkan dirimu, Putra. Tidak ada yang akan mengambilku darimu."

"Katakan kau mencintaiku!"

"Aku mencintaimu."

"Lagi."

"Aku Sangat mencintaimu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro