Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 12

Jam sebelas malam Putra pulang. Aku masih setengah tertidur saat ia membuka pintu kamar kami. "Kenapa belum tidur?" Putra melepas jam tangan dan kemejanya, ia memegang keduanya di tangan.

"Aku belum bisa tidur." Aku masih memikirkan ruangan tertutup yang ada di belakang rumah. Ibu hamil sepertiku sepertinya memiliki tingkat emosional yang tak menentu. Mudah sekali menangis dan membawa segalanya ke dalam pikiran. Putra tidak membuatnya lebih baik, seharian ini dia tak ada meneleponku.

"Sudah sangat larut," Putra memperhatikanku dengan iris gelapnya. "Kau tak perlu menungguku sampai jam segini."

"Aku tidak menunggumu," dustaku. "Aku memang belum mengantuk."

"Cobalah untuk tidur," ucapnya. Ia mendekat lantas mengecup keningku. Putra masuk ke kamar mandi. Setelah beberapa saat ia keluar dengan rambut basah dan handuk di tangan.

"Aku tadi meneleponmu."

"Iya, sekretarisku memberitahuku. Tapi pekerjaanku banyak sekali hari ini. Maafkan aku."

Aku tidak memintanya bercerita panjang lebar di telepon. Yang kuingin hanya perhatiannya sedikit. Bahkan hanya memberitahuku bahwa akan pulang terlambatpun ia tak ada waktu.

"Kupikir kau pulang cepat. Aku menunggumu untuk makan malam bersama."

Putra mengeringkan rambutnya dengan handuk. Di pinggulnya hanya tergantung celana katun panjang. Walau begitu dia tetap terlihat luar biasa. Dadanya yang bidang dan berotot enak dilihat. Tidak salah banyak perempuan yang menyukainya. Kenyataan dia memilihku sebagai istri merupakan takdir yang tak kumengerti. Satu-satunya harapan yang kupunya adalah kami dapat saling terbuka. Memendam rasa curiga adalah situasi yang rumit. Berjuta kemungkinan terpikirkan di kepala meski tidak tahu tentang kebenarannya.

"Tadi pagi sudah kubilang tidak usah menungguku, Ta."

"Iya, harusnya kau memberitahuku kalau akan pulang terlambat. Apa susahnya mengirim pesan, Putra? Kalau kau tidak sempat, kau bisa menyuruh orang lain melakukannya. Yang penting aku mendapat kabar dari suamiku."

Putra berhenti melap rambutnya. Handuk yang dipegangnya tadi dilemparnya ke kursi. "Aku capek, Ta. Bisakah kita tidak bertengkar dulu."

"Aku tidak bertengkar. Aku hanya----"

"---baiklah. Baiklah." Putra mengangkat tangannya, memotong kalimat yang ingin kuucapkan. "Lain kali aku akan meneleponmu, istriku." Putra mengerang, kemudian naik ke tempat tidur. Aku bisa mencium aroma samponya. Aku ingin memeluknya namun rasa kesalku menghalanginya. Aku melototkan mata padanya, geram dengan sifatnya yang tidak mau tahu. "Kau kenapa?"

"Kau yang kenapa?" Ingin sekali aku teriak di depan wajahnya yang tampan itu. Sekaligus merong-rongnya soal ruangan rahasia yang ada di belakang rumah. "Aku ini istrimu, Putra. Apakah salah kalau aku ingin tahu keadaan suamiku?"

"Tidak ada yang salah, sayang. Yang bilang salah siapa?"

"Wajahmu tidak senang aku memintamu meneleponku."

"Bukannya tadi aku sudah berjanji akan memberitahumu kalau pulang terlambat? Kenapa kau masih marah-marah padaku?"

"Tapi kau melakukannya karena terpaksa."

"Jangan menafsirkan sesuatu sembarangan."

"Dengan melihat wajahmu aku tahu."

"Jika terpaksa aku takkan melakukannya. Jadi berhentilah mengomel! Ibu hamil tidak baik tidur larut malam." Putra menarik selimut hingga ke dada, ia memejamkan kedua matanya. Terang-terangan ia mengabaikanku.

Walau ia tidak melihatku lagi, namun aku masih memperhatikannya. Kenapa Putra mudah sekali melukai perasaanku. Dan akhir-akhir ini aku berubah jadi perempuan bodoh yang gampang sekali menangis. Hanya dengan menatap wajahnya yang acuh itu sudah bisa membuatku terisak. Airmata membasahi pipiku tanpa dapat kutahan. Kugigit bibir agar tidak menangis lebih keras.

"Ya, Tuhan, Ita." Putra menarikku ku dadanya. "Kenapa kau menangis?" Aku semakin sesenggukan. Kuingin menjauh darinya dengan mendorong tangannya yang kuat, tapi Putra tidak membiarkanku pergi. "Jangan menangis, Ta." Aku benci mengakui pelukannya terasa hangat, pelukannya membuatku nyaman. Karena itulah aku semakin menangis. Aku membayangkan perempuan lain sudah lebih dulu merasakan apa yang kurasakan. "Sudah lah." Tangannya mengusap air mataku, ia membujukku dan berkali-kali mengecup keningku. "Aku berjanji akan meneleponmu jika sedang tidak di rumah. Sudah, jangan menangis lagi."

"Kau marah."

"Aku tidak marah, Ta. Siapa yang marah?"

"Kau kesal."

Putra menghela napas. "Iya, aku sedikit kesal. Aku capek dan kau tiba-tiba mempermasalahkan hal yang tidak perlu. Aku hanya tidak suka bertengkar, Ta."

"Aku juga tidak senang kita bertengkar tapi---"

"---kalau begitu ayo kita tidur. Jangan bicarakan itu lagi."

*****

"Aku ingin bekerja lagi." Aku sudah memikirkannya. Aku tidak mungkin menghabiskan waktu seharian setiap hari hanya di rumah, tanpa melakukan apa-apa. Aku tidak mungkin tahan. Putra harus menerima keinginanku yang satu ini.

"Kita sedang sarapan, Ta. Kita bicarakan lain waktu saja."

Aku melirik Tasya yang fokus dengan sarapannya, dia tidak mendengarkan pembicaraan kami. Tatapanku kuarahkan kembali ke Putra. "Sejak menikah kita jarang punya waktu bersama. Kupikir sekaranglah waktu yang tepat. Mungkin saja nanti malam kau pulang terlambat lagi. Sementara aku tidak sanggup jika harus berdiam diri di rumah lebih lama lagi."

"Kau sedang hamil, Ta."

Dia tidak perlu mengingatkanku soal itu, aku juga tahu. Perutku semakin membesar dan sesekali rasa mual masih ada. ''Kau bisa memberiku pekerjaan ringan di kantor. Pasti ada yang bisa kukerjakan."

Putra meletakkan sendoknya di piring, matanya menyipit. "Akhir-akhit ini kau senang sekali mendebatku. Padahal sebelumnya tidak."

"Aku ingin ada perbedaan antara status pacar dengan status istri. Kupikir aku punya hak untuk bicara setelah menjadi istrimu."

"Sebelum menjadi istriku kau juga berhak bicara," Putra bergumam.

"Sekarang posisiku lebih kuat."

"Ya, ampun." Putra berdecak heran. "Baiklah, kau akan bekerja."

"Mulai kapan?"

"Minggu depan."

"Aku mau hari ini."

Putra menyugar rambutnya, aku tahu dia menahan makian. "Aku belum menyiapkan pekerjaan untukmu."

"Aku bisa merapikan ruanganmu, membuatkan kopimu, memesanka  makanan untukmu."

"Kau membuat OB makan gaji buta?"

"Kalau begitu aku akan pergi ke rumah nenek."

Putra, aku dan Tasya ada di mobil yang sama. Tasya lebih dulu diantar ke sekolah baru kemudian aku. "Titip salam buat nenek," ucapnya.

Aku mengangguk kemudian menutup pintu mobil. Nenek sedang bersantai di ruang tamu saat aku masuk ke rumah. Seperti biasa, Tusi bergelung manja di sampingnya. "Nenek, aku datang."

"Siapa temanmu?" Nenek melirik ke arah pintu.

"Sendiri."

"Tasya?"

"Sekolah." Kuangkat Tusi ke pangkuanku, bulunya yang lembut kuusap pelan. "Nenek udah makan?"

"Sudah."

"Santi mana?"

"Belanja ke pasar." Nenek memperhatikanku serius. "Kenapa kamu datang?"

Bola mataku membesar. "Belum ada sebulan aku menikah aku harus punya alasan kalau ingin mengunjungi nenek?"

"Kau bertengkar dengan suamimu?"

"Enggk. Yang mengantarku kemari Putra. Jika bertengkar dia mana mungkin mau. Aku hanya bosan di rumah. Nggak ada yang bisa kulakukan."

"Di sini memangnya apa yang bisa kamu lakukan?"

Kupikir mataku tidak bisa lebih besar lagi. ''Astaga, Nek. Nenek melarangku datang ke rumah nenek?"

"Bukannya melarang. Nenek cuma nggak suka kau bertengkar dengan Putra."

Kunaikkan kedua kaki ke atas sofa, aku mengambil remot TV, mencari-cari siaran yang bagus. "Aku udah bilang aku nggak bertengkar dengan Putra. Terserah nenek mau percaya atau tidak."

Di rumah nenek ternyata sama saja. Yang kulakukan hanya menonton TV dan tidur. Untung hari ini Tasya cepat pulang. Aku menyuruh supir Putra mengantarnya ke rumah nenek. Pengasuhnya kusuruh pulang, biar aku saja yang menjaga Tasya.

Tasya selalu senang dimanapun. Dia bisa bermain di tempat siapapun. Nenek bahkan sampai sakit pinggang karena diajaknya main kuda-kudaan. Aku hanya bisa tertawa dan menggeleng kepala melihat keduanya bermain.

"Udah ya, sayang. Nenek capek." Aku menarik Tasya ke pangkuanku. Dia tertawa senang. "Udah sore, istirahat dulu."

"Iya, nenek udah capek." Sambung nenek sembari memegang pinggangnya, ia berjalan pelan menuju kursi goyangnya. "Pinggang nenek sakit."

Tasya tersenyum. "Makasih ya, Nek. Udah mau main bareng Tasya."

"Iya, tapi kalau sering-sering main kuda-kudaan, pinggang nenek bisa encok."

"Besok-besok kita main yang lain, Nek."

"Ya sudah, Tasya pergi cuci tangan dan kaki biar kita pulang." Aku menyuruhnya ke kamar mandi. Tasya menurut. Dia langsung pergi melakukan apa yang kusuruh.

"Ok, Ma."

Aku merapikan barang-barang Tasya. "Dia senang sekali bermain, dan mudah akrab dengan banyak orang."

"Dia anak yang baik," tutur nenek. "Dan dia tampak biasa memanggilmu Mama."

"Iya, aku senang dia begitu."

Seseorang mengetuk pintu. Aku pergi membukanya. "Revan?"

Revan mengulurkan rantang padaku. "Di rumah ada acara. Mama menyuruhku mengantarnya untuk nenek."

"Siapa, Lia?" Nenek datang mendekat. "Oh, ya ampun. Makasih ya, Revan." Nenek mengambil rantang itu. "Masuk dulu ayo."

"Saya langsung pulang aja, Nek."

"Sekalian antar Lia, boleh?"

Ya ampun. "Nenek!!!"

"Bisa, kan Van? Lia juga mau pulang soalnya."

"Kami bisa pulang sendiri, Nek," gumamku. "Lagian supir---"

"Revan nggak keberatan kok."

"Kalau mau ya sudah biar kuantar, Lia."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro