Bagian 1
"Nek, Lia pulang." Begitu mobilku kuparkir di halaman aku masuk ke rumah. Aroma masakan langsung menyambutku begitu aku berada di dalam. Televisi di ruang tamu menyala tapi tak ada yang menonton. Kucing tua kesayangan Nenek berbaring di sofa dengan tatapan sayu ke arahku. Namanya Tusi. Aku tidak tahu kenapa nenek memberinya nama itu. Kuusap bulunya yang lembut sambil meletakkan tasku ke atas meja. "Nek?" Panggilku, telingaku belum mendengar sahutannya.
"Di dapur." Itu suara nenek, serak dan khas nenek-nenek. Nenek berusia hampir tuhuh puluh tahun tapi masih keras kepala. Dia tipe orang tua yang tidak bisa tenang. Aku menyuruhnya untuk tidak terlalu banyak bergerak tapi dia tidak pernah mendengarku. Aku mempekerjakan seseorang untuk membantunya di rumah seharian, namun ia menolak.
"Dia cukup datang memasak dan membersihkan rumah. Setelah selesai dia bisa pulang." Seru nenek tak mau menurut.
"Lia ingin ada yang menemani nenek. Bagaimana kalau sesuatu terjadi pada nenek?"
"Nenek masih sehat. Lagian ada Tusi."
Coba pikirkan apa yang bisa dilakukan seekor kucing? Untung saja tetangga kanan dan kiri nenek orang-orang baik. Aku memberi nenek ponsel agar aku bisa menghubunginya selalu. Jika nenek sulit dihubungi aku terpaksa meminta tolong pada tetangga untuk melihat keadaannya. Tak jarang hal tersebut membuatku dan dia berdebat karena ternyata dia sedang tidur.
Aku pergi menemui si wanita tua di tempat yang dikatakannya. Nenek tengah mengupas pete, di depannya sudah ada piring berisi nasi, sayur dan ikan. Ia menaikkan pandangan. "Kamu sudah makan? Santi baru saja selesai masak."
"Belum." Kursi sedikit berisik ketika kutarik. "Lampunya bagaimana?" Kuambil piringku kemudian mengisinya dengan nasi, sayur dan ikan. Nenek menawariku pete yang telah dibukanya, aku menggeleng.
"Sudah bagus. Tukangnya datang cepat sekali, kerjanya juga bagus. Waktu nenek mau bayar, dia bilang udah dibayar."
Aku mengangguk, enggan membahas lebih. Sudah jelas Putra yang melakukannya. Nenek tidak mengenalnya. Menceritakan tentang Putra hanya akan menimbulkan banyak pertanyaan.
"Tadinya nenek sudah mau menelepon Revan." Revan itu pemuda yang disukai nenek untuk jadi pacarku. Lebih dari sekali dia mengatur agar aku dan Revan bisa bertemu. Percuma aku memberinya penjelasan bahwa aku tidak tertarik pada Revan, nenek mana pernah mau dengar. Revan laki-laki baik. Dia seorang guru, sudah PNS pula. Nenek tergila-gila padanya. Katanya Revan itu calon suami idaman. "Tapi tukangnya langsung datang. Oh ya, Lia. Tadi Santi kusuruh masak ikan dan sayur agak banyak. Tolong kamu bawakan nanti untuk Revan sekalian kalau kamu pergi kerja."
Suapan nasiku berhenti di udara. "Kenapa bukan Santi saja yang mengantar, Nek. Lia nggak bisa. Lia nggak lewat rumah Revan nanti."
"Lewatkan bentar, kenapa?" Nenek menatapku, memaksa. "Kamu mau nenek yang ke sana jalan kaki?" Ya, Tuhan. Si Revan itu udah dewasa, udah bisa cari makannya sendiri. Kenapa mesti repot memasakkan untuknya? Lagipula dia bukan siapa-siapa. "Revan itu laki-laki baik, Lia."
Kata-kata seperti itu sudah berulang kali kudengar. "Masakan Santi semakin hari semakin enak ya, Nek." Seruku mencoba mengganti topik pembicaraan.
"Nenek masih ingin dia itu jadi suami kamu."
Perasaan tidak bisa dipaksa, Nek. Inginnya aku berkata demikian. "Revan nggak mau sama Lia, Nek. Revan udah punya pacar."
"Mana mungkin," jawabnya sambil mengunyah makanannya. "Baru kemarin siang dia bilang dia itu singel."
Tahu apa nenek-nenek tentang single. "Nenek pergi ke rumahnya?"
Nenek menggeleng. "Revan yang datang ke sini."
"Mau apa dia datang?" Aku menambah ikan ke piringku, persetan dengan diet. Kalau Putra memecatku karena bertambah gemuk biar saja.
"Cuma ingin tahu keadaan nenek."
"Baik sekali dia."
"Kan nenek juga bilang begitu."
"Tapi Lia tetap nggak suka dia, Nek."
"Tapi nenek suka, Lia."
Ya ampun. Disini yang mau dijodohkan sebenarnya siapa? Seharusnya pendapatku yang penting bukan pendapat nenek. Akhirnya, karena terus dipaksa aku mau mengantar rantangan untuk Revan. Dan syukur dia tidak ada di rumah. Aku menitipkan pada adiknya.
******
Pukul sebelas kurang aku tiba di sekolah Tasya. Satpam penjaga pagar sudah mengenalku karena sering menggantikan Putra untuk urusan sekolah Tasya.
"Pagi, ibu cantik."
"Pagi pak satpam baik hati." Dia tertawa dan membiarkanku masuk.
Sekolah Tasya merupakan sekolah favaorit di ibu kota. Bangiunannya besar dan memilkki pekarangan yang luas. Ada banyak taman-taman kecil dipenuhi bunga dan tumbuhan-tumbuhan hija. Perawatannya bagus dan semua pengajarnya rama serta sopan.
"Hai."
Jantungku nyaris melompat karena terkejut. Revan tiba-tiba arah sampingku. Aku berjalan terlalu serius tanpa menyadari kedatangannya.
"Hai," balasku. Revan salah satu pengajar di sini.
"Aku belum berterimakasih untuk makanan pagi tadi." Ia berjalan mendekat. "Adikku bilang kau langsung pergi."
"Aku ada pekerjaan. Nenek menyuruhku mengantar sekalian."
''Makasih, ya."
"Nanti kusampaikan pada nenek."
Revan mengangguk mengerti. "Menggantikan orang tua Tasya lagi?"
"Pak Putra ada pekerjaan, dia menyuruhku menggantikannya.''
"Tapi kau mengaku sebagai ibunya Tasya."
"Aku melakukannya supaya tidak banyak pertanyaan lain yang harus kujawab."
"Kalau boleh tahu hhmm apakah kau punya hubungan dengan ayahnya Tasya?"
Aku tidak melihat wajahnya saat berkata. "Pak Putra adalah bosku. Selagi aku bisa melakukan yang dia perintahkan akan kulakukan. Menggantikannya di pertemuan orangtua kuanggap sebagai pekerjaan. Aku tidak berkewajiban memberitahumu tentang hubunganku dengan siapapun."
"Maaf," Revan mengusap rambutnya. "Aku terlalu ingin tahu. Tidak seharusnya aku begitu."
"Tidak apa-apa. Sekarang aku harus pergi. Di surat undangan pertemuan itu dilakukan pukul sebelas. Aku sudah terlambat tiga menit." Aku tahu tidak seharusnya aku sekasar itu padanya. Aku sudah mengenal Revan dari kecil. Dia adalah teman sekolahku. Tapi kalau aku tidak berbuat seperti itu, Revan akan terus mendekati nenek untuk tujuan yang sudah jelas kutahu. Dia membuat nenek jatuh hati padanya hingga membujukku mau bersama dengannya.
Pertemuan dengan orang tua murid selesai satu jam sebelum pemotretanku. Aku keluar dari ruang pertemuan. Beberapa orang tua murid menyapaku dan berbasa-basi sebentar. ''Mamanya Tasya, ya?" tanya wanita bekulit putih dan bertubuh montok, tadi dia duduk paling depan. Dari gaya berpakaiannya aku tahu dia wanita berduit. Sebagai jawaban dari pertanyaannya aku hanya tersenyum. "Putraku berteman dengan Tasya. Tasya anak yang manis dan baik. Dia secantik ibunya."
"Terimakasih," ujarku sambil menunduk sedikit. "Tasya memang anak yang baik." Wanita itu kemudian pergi setelah memuji Tasya beberapa kalimat lagi. Tampaknya dia senang Tasya berteman dengan putranya. Sebelum benar-benar meninggalkan ruang pertemuan aku menyempatkan bertanya pada wali kelas Tasya soal perkembangan belajar putri kecil bosku itu. Dan sesuai dugaan dan harapanku, Tasya anak yang pintar. Dia selalu mengerjakan tugas dan tidak pernah ribut di kelas.
Tasya sudah menungguku di depan dengan kaki digoyang-goyang. "Tante Lia!" Ia berteriak begitu melihatku. Ia berlari ke arahku dengan ransel merah muda di punggungnya. Rambutnya dikepang dua dengan pita merah muda juga. Bahkan sepatunya juga merah muda. Tasya sangat menyukai warna tersebut. "Tante mau jemput Tasya, kan?"
Aku memberinya senyuman. "Papa nggak bisa datang jadi Tante yang ke mari. Nggak apa-apa, kan?"
Tasya meraih tanganku, kami berjalan bersama. "Nggak apa-apa, Tasya senang kok ada tante Lia. Tante Lia suka kasih es krim Papa enggak."
Aku tertawa, kuambil tas Tasya dari punggungnya. Lumayan berat juga. "Tasya lapar?" Dia mengangguk cepat. "Tasya mau ayam goreng, Tante."
Kami pergi ke restoran ayam goreng, setelah kenyang makan siang Tasya mengingatkanku untuk membeli es krim pesanannya. Dia membeli tiga bungkus. Rasa coklat, vanila dan stroberi. Semua es itu sudah habis sebelum kami tiba di kantor. Ketika kutanya kenapa langsung dihabiskan, Tasya menjawab. "Biar nggak ketahuan Papa."
Supir Putra menurunkan kami di lobi kemudian pergi. Tasya melepas pegangan tanganku karena ingin berlari melewati pintu kaca. Seorang wanita tampak berjalan cepat tanpa memperhatikan jalannya. Tasya hampir saja tertabrak, untung aku menariknya tepat waktu. Yang membuatku kesal wanita itu memandang Tasya tapi tidak meminta maaf. Dia benar-benar tidak tahu sopan santun. "Tasya nggak papa?" Aku mengusap pipinya, sambil sesekali masih memandang ke arah wanita itu pergi.
Tasya mengangguk. "Tasya nggak suka Tante itu," telunjuknya menunjuk pintu kaca.
"Tasya kenal?"
"Kemarin siang dia datang ke rumah. Suaranya berisik sekali. Dia teriak-teriak memangil Papa."
Aku termenung beberapa detik. "Tante tadi sering datang ke rumah?" Tasya menggeleng. "Cuma sekali datang?" Tasya menggeleng lagi. "Terus?"
"Tante itu dulu pernah datang. Terus udah lama datang lagi. Baru datang lagi. Pokoknya Tante itu pernah datang tapi nggak sering."
Aku memijit keningku, aku tidak tahu seperti apa sering yang dimaksud Tasya. Perempuan tadi pernah datang ke rumah Putra lebih dari sekali, tapi ini kali pertama aku melihatnya. Ada hubungan apa antara dia dan Putra? Kugelengkan kepalaku. Menepis pikiran-pikiran aneh di benakku. Frekuensi pertemuanku dan Putra masih sering. Sejauh ini Putra tidak ada menunjukkan gelagat aneh.
Ataukah Putra pandai menutupinya?
Aku mengantar Tasya ke ruangan Putra. "Tasya di sini dulu, ya." Mainan yang biasa dimainkan Tasya saat di kantor Putra kukeluarkan dari laci. "Papa lagi pergi dan Tante mau kerja dulu."
"Tante lama?"
"Enggak. Cuma sebentar kok." Aku menyalakan pendingin ruangan, mengganti pakaian Tasya lalu menyedian air putih untuknya kalau haus. "Kalau Tasya ingin sesuatu, Tante ada di ruangan sebelah." Dia mengangguk lantas mulai asyik dengan mainannya.
*****
"Sip. Oke. Bagus." Aldi memberi dua jempolnya untukku. Aku menghela napas, senang proses pengambilan gambarnya cepat selesai. Kuusap leherku yang basah, kulit leherku sengaja di beri cipratan air untuk memberi kesan basah di gambar. Itu saran dari Aldi. Aku menurut saja yang penting gambarnya bagus.
"Bagaimana hasilnya," kutemui dia untuk tahu foto yang telah dia ambil.
"Sempurna seperti biasa. Tapi..." Aldi melirik tubuhku. "Kau tidak merasa berat badanmu bertambah?''
Akhir-akhir ini nafsu makanmu memang naik, bahkan sulit untuk kutolak. Bisa jadi yang Aldi katakan benar. "Aku belum menimbang. Nanti sore mungkin aku harus singgah ke apotik."
"Siapa yang sakit?"
Aku dan Aldi sama-sama menoleh ke sumber suara. Putra berdiri di ambang pintu masuk.
"Tidak ada yang sakit," jawabku. Kuikat rambutku membentuk simpulan berantakan. Handuk yang tadi kupakai kubiarkan di sofa. Aku merapikan barang-barangku.
"Tadi aku mendengar kata apotik disebut." Putra telah mengganti setelan kerjanya dengan pakaian santai. Hanya dengan kaos dan celana pendek dirinya masih terlihat menggoda.
"Oh, Aldi bilang aku agak gemukan. Aku hanya akan menimbang berat badan."
"Fotonya bagus," kata Putra sambil memperhatikan kamera Aldi. "Tidak ada yang salah pada tubuhmu." Aku dan Aldi saling memandang, Aldi mengangkat bahu. "Tasya mana?"
"Di ruang kerjamu."
"Rapikan barang-barangmu lalu temui aku.'' Putra menepuk bahu Aldi sekali kemudian pergi.
Aldi mengusap bahunya seraya meringis. "Dia memukulku kuat sekali. Mungkin tidak seharusnya aku berkomentar tentang tubuhmu."
"Jangan melebih-lebihkan sesuatu. Bisa saja tadi dia tidak sengaja."
"Aku juga seorang pria, aku tahu perbedaannya. Lagipula semua tahu kau dan pak Putra ada sesuatu."
"Itu tidak benar."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro