Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Pernyataan Perasaan

Aruna memesan hotel terdekat dengan kantor cabang di mana Cara bertugas. Dia akan memberikan kejutan kepada Cara, dan tak akan lagi menepis perasaannya. Dia merebahkan tubuhnya beserta perasaannya. Mencoba menghadapi apa yang sudah dilemparnya. Kebencian Rilla, mungkin. Bahkan penolakan Cara juga.

Pagi itu, Aruna dengan susah payah bangun dan mandi, dia merutuki kenekatannya, kini dia bahkan kesulitan karena tangan kirinya yang patah tak bisa diajak bekerja sama. Setelah bergelut dengan mandi dan baju, satu jam kemudian dia sudah siap untuk menyambut panas udara Surabaya dan juga perasaannya yang ikut memanas. Keinginannya untuk segera memberi tahu Cara dan meluruskan kesalahpahaman itu membuatnya bersemangat.

“Pagi, boleh saya bertemu dengan Dani?” kata Aruna begitu berada di kantor.

“Maaf dengan siapa? Apakah sudah membuat janji?” Resepsionis itu melakukan tugasnya dengan baik.

“Runa. Katakan saja begitu.” Aruna mengedarkan pandangnya, memastikan Cara tak melihatnya sekarang.

“Silakan menunggu, saya akan memberitahu Pak Dani terlebih dahulu.” Resepsionis itu menunjuk sofa di sudut ruangan.

Aruna duduk di sana, sambil terus mengawasi setiap orang yang berlalu lalang keluar masuk pintu kantor.

Dani yang menerima laporan bahwa seorang bernama Runa menemuinya segera turun, untuk memastikan orang itu adalah Aruna, anak CEOnya, yang juga kepala divisi marketing.

“Mas Aruna?” tanya Dani kepada Aruna yang sedang mengamati pintu.

“Oh, iya. Kamu pasti Dani ya?” Aruna bangkit.

Dani yang melihat tangan Aruna berada di arm sling merasa heran.

“Mas Aruna kecelakaan? Lalu ada keperluan apa ke sini?” Dani kemudian mengikuti Aruna yang langsung berjalan menuju ruangan Dani di lantai atas.

“Maaf aku lancang langsung ke sini, aku hanya ingin memastikan Cara tak melihatku. Setidaknya sekarang. Aku ingin kamu membantuku.” Aruna duduk di kursi tamu yang ada di ruangan Dani.

“Maksud Mas Aruna?” Dani kebingungan dengan sikap Aruna terlebih dia menyebut Cara. Hatinya berharap, tidak ada hubungan apa pun antara Aruna dan Cara.

“Biarkan aku di sini. Nanti saat kalian ada jadwal meeting, beritahu aku. Apakah ada agenda meeting hari ini?” Dani semakin kebingungan.

“Hari ini kita ada meeting dengan bagian pengadaan Mas.” Dani menggaruk kepalanya yang tak gatal.

“Ikutkan aku, tapi pastikan Cara tak melihatku saat aku masuk.” Sungguh, permintaan absurd Aruna ingin sekali ditolak oleh Dani, tapi mengingat dia anak CEOnya, Dani hanya bisa mengangguk.

“Mas Aruna sudah sarapan? Atau ingin dibelikan sarapan?” tanya Dani membuat Aruna sadar dia melewatkan sarapan dan obatnya.

“Belikan saja aku makanan yang terdekat dan cepat,” kata Aruna membuat Dani menelepon sekretarisnya yang baru datang untuk membelikan makanan.

Cara memasuki kantor tanpa tahu bahwa hari ini akan menjadi hari yang mengejutkannya. Dia menuju ruangannya selama di sini. Menaruh laptopnya dan membuka file untuk presentasi dengan bagian pengadaan hari ini. Beruntung Dani tak mengganggunya hari ini. Cara jengah kalau harus menghadapi Dani yang terkesan agresif mendekatinya.

Dani mengetuk ruangan Cara dan melonggokkan kepalanya dari pintu.

“Siap untuk meeting? Dua puluh menit lagi kita mulai,” kata Dani membuat Cara mengacungkan jempolnya.

Ritme kerja yang selalu berkejaran dengan waktu membuat Cara selalu siap dengan semua presentasi detail setiap saat. Dia kemudian gegas mengikuti Dani ke ruang meeting. Semua tim siap. Cara luput melihat Aruna yang dudu di pojok, dia sibuk dengan persiapan presentasinya.

Sementara Aruna menahan dirinya untuk tak berlari memeluk perempuan itu. Menahan degup jantungnya menyadari bahwa ternyata selama ini mereka sama-sama tak mengatakan perasaan yang meliputi keduanya.

Tim di dalam ruangan berbisik-bisik melihat Aruna di sana. Orang-orang yang belum pernah melihat Aruna bertanya siapa dia, tetapi melihat Dani hormat kepadanya, mereka mengira mungkin Aruna salah satu penyokong dana proyek ini.

Cara kemudian bersiap untuk melakukan presentasi saat kemudian dia melihat Aruna sedang memandanginya dari sudut ruangan, dengan senyum yang meluruhkan semua perasaannya.

“Runa,” desisnya lirih dan tak sadar menjatuhkan pointer yang dipegangnya.

Melihat reaksi Cara yang seperti itu membuat hati Dani berdesir.

“Lanjutkan presentasimu.” Aruna seolah tidak melihat semua perasaan Cara yang bercampur aduk.

Cara menahan dirinya agar tak berlari dan memeluk lelaki yang membuatnya sekarat itu. Sedang apa dia di sini? Cara menahan juga perasaannya untuk tak berteriak.

Cara mengatur napasnya dan mulai mempresentasikan semua program kerja dan berapa RAB yang sudah dikerjakan oleh tim beberapa hari ini. Sesekali melirik Aruna yang masih di sana, memastikan bahwa matanya tak salah.

Saat bagian pengadaan mulai berdiskusi, Aruna memberikan kode pada Cara untuk mengikutinya keluar.

“Maafkan semuanya, saya ingin meminjam Nona Cara untuk hari ini. Hasil presentasi bisa langsung di arahkan kepada Pak Dani.” Semua memandang Aruna dengan tatapan yang bisa diartikan, siapa Anda memerintah?

“Oh maafkan saya, perkenalkan saya Aruna Winata,” kata Aruna membuat semua anggota tim terkejut, jadi dia Aruna, anak dari CEO mereka yang bekerja sebagai kepala divisi marketing, tapi apa yang sedang dilakukannya di sini sekarang?

Aruna kemudian menggandeng tangan Cara yang masih terpaku di tempatnya. Dani melihat adegan itu dengan perasaan tak menentu. Jadi benar, ada sesuatu di antara mereka.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Cara setelah mengumpulkan semua serakan hatinya.

“Menemuimu.” Aruna menggelandang Cara keluar kantor.

Mobil yang tadi dimintanya dari Dani untuk disiapkan beserta sopirnya sudah menunggu di depan kantor.

“Masuk.” Aruna membukakan pintu tengah untuk Cara.

“Pak, kita ke Pandaan, Cimory,” kata Aruna.

“Baik, Mas.” Sopir itu melajukan mobil membelah macet Surabaya menuju jalan tol.

“Aku tak membawa apa pun, Na,” protes Cara.

“Yang terpenting kamu bawa perasaanmu. Itu yang kuperlukan,” kata Aruna membuat Cara terenyak.

“Apa yang kamu lakukan di sini? Bagaimana Rilla? Bagaimana persiapan pernikahan kalian?” berondong Cara membuat Aruna teringat Rilla dan merasakan  nyeri pada hatinya.

“Makanya, aku ingin meluruskan kesalahpahaman ini,” jawab Aruna.

“Salah paham?”

“Iya, kamu salah paham dengan apa yang terjadi malam itu, dan itu yang membuatmu kabur ke sini kan?” Pertanyaan Aruna membuat Cara menghembuskan napasnya kasar.

“Tidak ada yang salah paham dan aku tidak kabur,” elak Cara membuat Aruna menarik dagu Cara agar melihat ke arahnya. Cara jengah harus menatap mata yang menawannya itu.

“Aku sudah mengetahui semuanya.” Aruna memandang lekat perempuan itu. Membuat Cara mengutuk Biru.

“Kalau Biru tak mengatakannya, mungkin kita tak akan saling jujur tentang perasaan kita.” Aruna kemudian menggenggam tangan Cara yang kemudian syok.

“Apa maksudmu.” Cara mengelak dan menarik tangannya. Ada  Rilla yang harus dijaga perasaannya.

“Aku dan Rilla berpisah. Bila kamu ingin menanyakan itu. Malam itu, Rilla menolak lamaranku.” Aruna menyandarkan punggungnya dan memejamkan matanya. Dia sadar caranya salah, menyakiti Rilla untuk melepaskannya dan berlari ke arah Cara.

“Maksudmu? Dengan berkata seperti itu, malah membuatku terlihat buruk, kalau alasanmu melamar Rilla adalah agar Rilla menolaknya, lalu kamu berlari kepadaku setelah mengetahui perasaanku. Itu tak adil,Na. Dan aku tak mau seperti itu. Aku menjadi orang jahat di mata Rilla,” kata Cara berusaha mengendapkan hatinya.

“Lalu, apakah kamu ingin melihatku bersamanya?” tantang Aruna.

“Iya. Aku tak apa-apa, asal kamu bahagia.” Cara berusaha menahan nyeri hatinya.

“Seperti iya saja. Kalau kamu bahagia dengan kebersamaanku dengan Rilla di altar pernikahan, kamu tak akan kabur.” Kata-kata Aruna menghunjam hati Cara.

“Tapi ini tak benar Na.”

“Terlepas dari benar atau salah. Terlepas Rilla membenciku setelah ini. Aku tak ingin lagi mengelak dan melepasmu.” Aruna memang egois.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro