Jadi Begini?
Rilla tak bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya. Tenggat waktu desain yang harus dia kerjakan untuk fashion show kantornya itu bahkan belum dia sentuh. Dia masih memikirkan Aruna.
[Bi, ayo bicara tentang Aruna.] Rilla menekan tombol send, berharap Biru membantunya berpikir tentang Aruna.
Biru termangu menatap layar ponsel yang menampilkan pesan dari Rilla. Menenangkan hatinya sendiri sebelum memikirkan untuk membalasnya.
[Kita bertemu di tempat biasa. Atau kamu mau aku jemput?]
[Kita bertemu di tempat biasa.]
Rilla berkemas. Dia harus segera menemukan jawaban atas sikap Aruna.
Biru menarik udara sebanyak mungkin ke dalam dadanya, mencoba melapangkan hatinya dan bersikap netral.
Aruna sedang mencoba menghubungi Cara. Sudah lebih dari dua puluh lima panggilan yang tak terjawab. Membuatnya mengemas bajunya dan memesan tiket. Dia tak peduli lagi dengan Biru, yang terpenting saat ini adalah dia harus menemui Cara dan mengatakan bahwa Cara salah paham saat melihatnya melamar Rilla.
“Bi, apakah ada wanita lain yang sedang Aruna kejar?” todong Rilla membuat Biru terenyak.
“Jika ada? Apakah kamu akan membencinya?” pancing Biru.
“Jadi benar ada?” desak Rilla.
“Jawab dulu pertanyaanku La. Jika benar ada, siapa yang akan kamu benci? Aruna atau wanita lain itu?”
“Aku akan membenci keduanya.” Rilla menyesap tehnya dengan gusar.
“Kenapa?”
“Kamu bertanya kenapa Bi? Aruna melamarku dan dengan mudahnya dia memutuskan hubungan ini hanya karena aku tak menerima lamarannya. Setelah aku pikir, itu hanya alasannya untuk bisa melepaskanku,” kata Rilla membuat Biru menghembuskan napasnya kasar.
“Tapi, apakahmu kamu yakin dengan dirimu sendiri? Maksudku yakin bahwa dirimu begitu sempurna hingga yakin Aruna tak meninggalkanmu karena lelah menghadapimu?” Kalimat Biru membuat Rilla terenyak.
“Kamu sedang membela temanmu?”
“Bukan. Aku hanya sedang bertanya tentang kepercayaan dirimu.” Biru menatap mata Rilla teduh, membuat Rilla memalingkan wajahnya dari sorot mata itu.
“La, aku tidak tahu perasaan Aruna kepadamu. Tidak tahu juga tentang pikirannya. Aku hanya ingin kamu berjalan keluar. Tidak ada lagi kesempatan saat ultimatum itu terlontar dari mulutnya, bukan?”
Rilla menggigit bibirnya, Biru benar. Dia hanya terbawa perasaan karena Aruna telah melemparnya ke kenyataan. Sehingga mencari pembenaran yang membuatnya terlihat jahat.
[Mas Biru, Mas Aruna pergi ke bandara.] Lapor Pak Min di ponsel Biru.
Sontak Biru berdiri.
“Ada apa?” tanya Rilla.
“Aruna ke bandara.” Biru beranjak meninggalkan Rilla tanpa sadar.
“Memangnya dia akan ke mana?” kejar Rilla seraya berjalan di samping Biru yang terlihat gusar.
“Tak tahu,” dusta Biru belum siap dengan reaksi Rilla tentang kenyataan bahwa Aruna memilih mengejar Cara.
Dengan tergesa Biru melajukan mobilnya ke bandara. Tepat di saat Aruna turun dari taksi.
“Na!” teriak Biru membuat Aruna menoleh. Kaget saat ada Rilla di belakang Biru.
“Kamu mau ke mana?” tanya Rilla penasaran.
“Karena kamu di sini, sebaiknya aku jujur untuk sekarang.” Biru memberinya kode memohon untuk diam, tapi Aruna tak ingin lagi menahan perasaannya.
“Menyusul Cara.” Aruna menantang mata Rilla yang membelalak heran dan kebingungan.
“Maksudmu?” Rilla menuntut penjelasan.
Biru meluruh di kedua kakinya. Berjongkok dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Menyembunyikan semua perasaannya di sana.
“Maaf La. Aku harus mengatakan ini sekarang, aku tak bisa lagi mengekang semua perasaanku. Aku, mencintai Cara. Untuk saat ini, aku akan mencarinya.” Kata-kata Aruna membuat Rilla terhuyung mundur ke belakang beberapa langkah.
Biru menangkapnya dengan sigap agar tak terjatuh.
“Jadi selama ini?” selidik Rilla dengan getar yang menyeruak. Air mata itu hampir terjatuh.
Hal yang paling ingin dia tepis ternyata benar adanya. Aruna, dan Cara.
“Kamu mempermainkanku Na?” Rilla melepaskan diri dari dekapan Biru.
“Kamu boleh membenciku karena kejujuranku. Tapi aku tak pernah mempermainkanmu saat melamarmu. Bila saat itu kamu menerimaku, ceritanya tak akan seperti ini. Aku juga tak menyalahkanmu, karena itu keputusanmu dan keinginanmu,” papar Aruna membuat Rilla semakin terluka.
Entah apa yang sekarang dirasakannya, akan tetapi kenyataan bahwa sekalipun dia menerima lamaran Aruna, mengetahui kenyataan bahwa dia tak ada di hati Aruna malah membuatnya merasa sangat entah.
Rilla tergugu, Aruna memandangnya iba, tapi semua sudah terlanjur, dia tak bisa mundur lagi.
“Bi, aku pergi, kali ini jangan cegah aku,” kata Aruna seraya menuju tempat check in.
Biru tak bisa lagi berkata apa, keputusan di tangan Aruna. Kini tugasnya hanya menemani Rilla. Dia meraih pundak Rilla dan mengangkatnya agar Rilla berdiri. Rilla seketika memberontak dan menampar Biru.
“Kamu jahat Bi. Kamu menyembunyikan semua ini karena Cara adalah adikmu? Kamu jahat Bi!” teriak Rilla.
Biru menerima tamparan Rilla dengan sesak. Bukan ini yang diharapkannya. Bukan ini yang ingin dilihatnya.
“Aku tak pernah menyembunyikannya La, aku tak pernah memberikan jalan kepada mereka.” Biru mencoba merengkuh Rilla yang semakin tergugu.
“Jangan menyentuhku!” Rilla ingin berlari, tapi Biru menahannya, memeluknya erat. Membiarkan Rilla memukuli badannya. Lakukan saja, asal hatimu lega.
“Kamu jahat Bi.” Rilla terus mengucapkan kalimat yang sama. Hatinya teriris. Biru bahkan tak memberinya petunjuk tentang semua ini. Insting yang dia enyahkan tentang tak adanya jeda antara Aruna dan Cara, ternyata malah balik menikamnya kini.
“Kita pergi dari sini.” Biru membimbing Rilla menuju mobil.
“Luapkan semuanya. Aku akan menerima semua makian atau apa pun itu. Kamu boleh membenciku, membenci Aruna, tapi bukan Cara. Dia tak tahu tentang pilihan Aruna.” Biru menoleh, Rilla membuang mukanya. Tak ingin menatap Biru dengan matanya yang sembab.
Aruna menatap jendela pesawat dengan deraan perasaan yang tak menentu. Awan yang berarak menambah pedih mengingat Rilla yang luruh karena pengakuannya tadi. Sebenarnya dia tak ingin menyakiti Rilla seperti itu. Tapi keadaan sudah tak bisa dikendalikannya. Memikirkan Cara yang salah paham dengannya saja sudah membuatnya kalut. Tangannya terasa nyeri. Kenekatannya ini harus berbuah manis.
Cara sedang menuju apartemen Frasa setelah berkali-kali menolak tawaran Dani untuk mengantarnya pulang. Cara hanya ingin sendirian. Belum siap untuk membuka diri dengan orang lain, terlebih dia satu kantor.
Dua puluh lima lebih panggilan tak terjawab dari Aruna seharian ini malah semakin membuatnya resah. Kenapa? Di saat dia ingin menjauh, mengingat lamaran Aruna kepada Rilla, Aruna malah seolah mengejarnya. Seharusnya dia memikirkan pernikahannya dengan Rilla, bukan mengganggunya begini. Biru bahkan sama sekali tak menanggapi semua pesannya. Membuat Cara semakin gundah.
Sebuah foto dikirim oleh Aruna, foto langit berwarna gelap dengan taburan bintang, diambil dari jendela pesawat, apa maksud Aruna mengiriminya gambar itu? Cara malah semakin pening. Frasa belum pulang, kemungkinan event yang dia kerjakan belum selesai. Cara mengempaskan tubuhnya ke kasur, mencoba terlelap, tanpa berganti pakaian dan membersihkan diri. Harinya terasa sangat melelahkan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro