WO - Part 1 - Boba
Question of the day: dapet notif apdet ini nggak? Di aku masih nggak ada euy
vote, komen dan follow akun WP ini + IG & X & Tiktok @akudadodado.Thank you :)
🌟
Aku ditakdirkan untuk gagal. Lagi. Entah sudah usaha yang ke berapa untuk membuat ramuan yang mungkin—garis bawahi dan ditebalkan—berhasil, tapi nihil. Entah itu meledak di mukaku atau mengubahku menjadi kodok yang bermuara pada masalah baru: dikejar oleh Boba, kucing sialan milikku. Seperti keadaanku lima menit yang lalu.
Jantungku masih tersangkut di ujung tenggorokan karena memikirkan ajalku yang berada tepat di depan mata. Aku memegangnya, supaya dia tidak meronta keluar sambil memberikan tatapan paling sinis kepada kucing hitam yang tengah membersihkan dirinya seolah dia tidak baru saja mencoba menjadikanku mainan. Sesudahnya, dia lenggang kangkung, meninggalkanku di tempat tergelap di bangunan tempatku melakukan dua pekerjaan sekaligus; pemilik cafe dan penjual ramuan hasil racikanku.
Aku menyerah. Untuk malam ini. Euh, subuh ini maksudku. Mataku melirik jam yang berada di atas meja panjang tempat segala bahan magisku, lalu ke perapian yang di atasnya ada ketel ajaib yang menjadi saksi bisu kekalahanku atas kutukan lintas generasi, yang sialnya diturunkan kepadaku.
Wajahku kali ini tidak berwarna hitam, tapi tubuhku lengket karena berkutat dengan api sepanjang malam lalu di akhiri dengan menyelamatkan leherku dari gigi Boba. Aku perlu mandi dan melemaskan ototku yang kaku.
Rencanaku berjalan dengan sempurna hingga aku kini tidak tahu mau melakukan apa karena mataku tidak juga mau terpejam. Jadi, seperti yang sudah-sudah, aku memerlukan comfort movie atau series atau anime.
"Dengan kekuatan bulan, akan menghukummu!"
Ini anime yang aku tonton sejak kecil. Usagi hidup rent free di dalam kepalaku hingga sekarang bersama Mamoru. Betapa mudahnya Usagi menyembunyikan rahasia padahal dia tidak memakai topeng, hanya pakaiannya saja yang berbeda.
Menjadi penyihir di era modern tidak mudah. Yes, I know. Usagi bukan penyihir, tapi poinku adalah soal identitasnya. Semakin banyak larangan dan keharusan untuk berbaur dengan masyarakat sekitar agar perkumpulan rahasia kami tidak terdeteksi. Untungnya, di jaman ini pula banyak orang yang mengaku dirinya sebagai penyihir di media sosial. Kedok sempurna bagi kami.
Untuk penyihir lain, ini adalah perkara mudah karena mereka tahu siapa diri mereka dengan pasti; penyihir. Mereka bukan manusia, meski berpenampilan seperti manusia pada umumnya. Dengan jentikan jari, mereka dapat melakukan hal magis yang tidak mungkin dapat dilakukan manusia. Dengan ramuan yang mereka buat, para penyihir dapat membuat banyak hal seperti; healing potion, calming potion, dan lain sebagainya.
Namun, untukku yang kehilangan arah, mengatakan bahwa aku penyihir akan berujung dengan tertawaan. Kekuatanku tidak seperti penyihir, tapi aku juga tidak dapat dikatakan sebagai manusia. Karena... well, orang tuaku adalah penyihir.
Kakiku berpijak pada dua dunia; manusia dan penyihir. Tapi aku tidak tahu aku apa. Unidentified. Aku hanya terapung di antara keduanya, tanpa tahu harus bertumpu di mana, hingga akhirnya semua pijakanku hilang.
Aku merasa manusia bukan duniaku, begitu pun dengan penyihir. Rasanya tidak ada tempat dan label yang tepat untukku. Di antara saudara-saudaraku yang tahu mereka itu apa dan tahu hendak melakukan apa, ada aku sebagai anak tengah yang menjadi anomali. God, it's depressing.
"Kamu menonton itu lagi." Gumpalan bulu berwarna hitam pekat mendaratkan bokongnya di sofa krem sebelahku dan langsung mengambil posisi tiduran setelah berputar dua kali. Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan.
Aku membuang nafas panjang. Satu-satunya yang sama dengan Usagi hanyalah kami berdua memiliki kucing hitam yang bisa kami ajak bicara. Bedanya, jika Usagi memiliki Luna, kucing betina yang cantik, aku memiliki kucing jantan yang gembrot dan aku curigai obesitas.
"Boo, kamu nggak mau olah raga dikit gitu misalnya?" Boo adalah panggilanku untuk Boba karena dia suka tiba-tiba saja muncul, seperti hantu. Kalau nama Boba sudah jelas kan karena apa? Tubuhnya yang bulat dan kenyal seperti boba.
Boba menatapku dengan matanya yang setengah tertutup dan penuh dengan penghakiman. "Kitkat, kamu nggak mau punya kekuatan sihir seutuhnya gitu, misalnya?" Dan mulutnya sepedas cabai Caroline Reaper. Aku lupa menambahkan hal yang paling krusial: Boba loved to humble me, reminding me where I'm belonged, beneath his little pink paws. Aku penasaran, apa semua kucing seperti Boba atau aku sedang sial saja?
"Ouch."
Boba menutup matanya dan menempatkan wajah di atas kedua kaki depannya yang menyilang. Ekor panjang yang lebat tapi lembut itu melingkari tubuhnya. Dia siap tidur lagi setelah sarapan. "Aku benci mengingatkanmu, tapi kamu hanya punya waktu enam bulan sebelum kamu dipanggil lagi ke coven untuk sidang masa depanmu yang suram itu mau lebih hitam lagi. Kali ini mungkin akan menandingi blackhole."
Aku siap mencekik kucing sialan ini, kalau bukan karena mengingat seberapa berat hukuman jika aku melukai kucing; dikeluarkan dari coven dan kehilangan kemampuan menyihirmu. Yang terakhir aku tidak masalah, yang pertama jika terjadi akan membuatku dikutuk oleh ibu. Aku tidak siap. Klan ibuku terkenal akan kutukannya yang manjur dan sebagai anak yang dipertanyakan eksistensinya, aku memilih menjadi anak baik dan menelan hinaan kucing obesitas ini.
Aku mengerang pasrah dan tubuhku melumer seperti es krim di tengah siang bolmg. Badanku terbaring di lantai kayu yang dingin. "Nggak ada kabar baik sama sekali. Aku juga masih nggak punya ide baru untuk memecahkan kutukan sialan ini."
"Kamu bisa coba yang ada di Buku Ilmu Hitam Kutukan."
Aku langsung paham ke mana arah obrolan ini. We've been dancing in this tune for too long. "You are out of your mind. Aku tidak mau melakukannya. Kita hidup berdampingan dengan mereka." Boba sudah bersiap untuk adu argumen denganku, tapi aku buru-buru berdiri dan memasuki kamar mandi. "Aku mandi dulu. Harus siap-siap ke café."
"Kamu tidak bisa menghindar selamanya, Kitkat. Waktumu hanya enam bulan lagi sebelum kamu benar-benar didepak coven." Aku dapat mendengar dengan jelas suara Boba meski pintu sudah ditutup.
Aku menaruh kedua tangan di atas kabinet kamar mandi. Memandang pantulan wajahku di cermin yang memiliki kantung mata seperti panda karena kurang tidur. Aku menghabiskan banyak malam di café setelah tutup. Percobaan demi percobaan aku lakukan untuk memecahkan kutukan yang membelit keluargaku. Dari begitu banyaknya hal yang dapat diwariskan nenek moyangku kepada generasi penerusnya, aku heran kenapa mereka memilih kutukan dan kenapa harus jatuh kepadaku.
Ujung jari telunjukku meraba tanda lahir berbentuk bulan sabit yang tepat berada di bawah telinga kanan yang konon menjadi gembok yang memenjarakan kekuatanku. Puhlease, memangnya sebesar apa kekuatanku sampai harus dikunci? Kalau setelah ini aku masih tidak bisa menguasai dunia, aku akan mengutuk nenek moyangku. Tidak peduli mereka sudah mati sekali pun. Aku akan membuat mereka berguling-guling di dalam kuburan. Selamanya.
Jariku kembali meraba bulan sabit berwarna putih itu. Bahkan aku dapat merasakan gambarnya di ujung jari saking aku melakukannya terus menerus.
Aku menghela nafas panjang, tapi beban seberat ribuan ton di pundakku menghalangi perasaan lega yang biasa muncul setelahnya, meski untuk beberapa detik.
"Kalau kamu belum mandi, berikan aku susu." Teriakan dari Boba mengacaukan momen mellow yang susah payah aku bangun demi mengasihani diri sendiri.
"Kamu sudah terlalu bulat untuk susu, Boo!"
16/4/24
Namanya Boba, lucunya wkwk. Nasib disiksa majikan nggak bisa ngapa-ngapain. Ada yang nasibnya sama dengan Kitkat?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro