Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 64 - Hari yang dinanti.

Tidak. Jangan resah, jika tidak di kehidupan pertama ini maka kita akan bersatu di kehidupan berikutnya.
....
Selamat membaca
Bab 64.

Jika menemukan typo, bisa langsung komentar:)

...

Kini suara terdengar di berbagai penjuru sekolah. Semua siswa bersiap menuju lapangan utama untuk melakukan rutinitas hari senin di pagi hari.

Sambil berjalan, Johan memperhatikan setiap siswa yang tak sengaja tertangkap pandangannya. Mereka semua tampak bercengkrama satu sama lain. Sedangkan dirinya hanya diam meski kedua sahabatnya sedang cek-cok saat ini.

Ia seperti kehilangan napsu untuk berbicara. Semua pikirannya terkuras untuk Aleta. Masih jelas di benaknya, Aleta yang berdiri di ambang pintu dengan wajahnya yang pucat. Tersenyum sambil menahan tangis. Berusaha tak apa padahal kenyataannya pasti begitu pedih.

“Lo kenapa deh Han? Tumben diam kek batu.” Andi menoleh ke arah sahabatnya itu. Tak biasa Johan demikian.

Johan hanya menggeleng dan mempercepat langkahnya menuju lapangan.

Andi serta Donny saling tatap dan menaikkan bahu.

Johan menghela napas saat sudah mengambil posisi di barisan. Ada keinginan untuk memberi tahu sahabatnya mengenai keadaan Aleta saat ini, tapi tak mungkin Aleta pasti melarang.

“Tes-tes.” Suara guru mulai bersiap untuk memulai upacara.

Lima menit kemudian upacara berlangsung. Menaikkan bendera, menyanyikan lagu indonesia raya, mengheningkan cipta serta rangkaian kegiatan upacara lainnya. Jiwa serta raga Johan di sekolah ini sementara pikirannya terus memikirkan kondisi gadis itu. Gadis yang sudah mengambil alih seluruh hatinya.

Sampai upacara selesai pun Johan lebih banyak diam. Ini baru beberapa hari Aleta tak ada di sekolah rasanya sungguh berbeda. Bagaimana jika selamanya? Johan tersenyum miris membayangkan semuanya. Bisakah dia memperlambat waktu?

***

Tiga hari berlalu. Tak ada satu pun yang Johan lewatkan tanpa mengirimi pesan untuk gadis itu.

Matanya kembali menatap ruang percakapan antara dirinya dan Aleta. Tidak, tidak ada percakapan melainkan hanya Johan yang terus menerus mengirimi pesan tanpa mendapat satu pun jawaban.

Aleta Mrtpr

Semangat kemo gue doain dari jauh, nih
Jangan lupa banyak istirahat juga makan
Gue pengin nemuin lo rasanya

Gue masih sabar nunggu kok
Udah membaik?

Hari ini gue juga terus nunggu
Tadi HP gue bunyi
Gue kira lo yang balas
Gak taunya sms indosat
Gue kangen lo

Johan menghela napas kasar ketika mendapati semua pesannya hanya bertanda centang satu. Artinya Aleta belum aktif sejak tiga hari lalu.

“Aleta mana sih? Gue kangen dia.” Renata mengaduk-aduk minumannya di atas meja kantin.

“Emang gak ada hubungin lo?” tanya Andi

“Enggak. Gue chat dia gak aktif. Keterangan di absen juga alpa. Apa gue ke rumahnya aja, ya, nanti pulang?” Renata menatap satu per satu manusia yang duduk di bangku kantin.

Tatapannya berhenti di Johan. “Han,” panggilnya  tapi tak mendapat sahutan.

Donny menyenggol Johan barulah Johan mengalihkan tatapannya ke arah Donny. “Apaan?”

“Lo kenapa sih? Udah tiga hari banyak diam. Tumben.” Donny menatap Johan dengan menyelidik.

Johan menggeleng. “Enggak apa. Lagi puasa ngomong.”

“Berarti udah batal. Tuh ngomong,” sahut Andi.

“Lo mau ikut ke rumah Aleta gak?” Renata menyela.

“Mau ngapain?” tanya Johan tanpa memperdulikan ucapan Andi sebelumnya.

“Ya ke sana aja. Tanya kenapa Aleta enggak masuk udah tiga hari.” Renata mengalihkan pandangannya lurus ke depan.

“Enggak. Gue nggak ikut.”

Semua saling tatap mendengar jawaban Johan. Pasalnya sangat jarang laki-laki itu tak mau bertemu Aleta.

Saat Donny ingin bertanya Johan sudah bangkit dari kursi kemudian meninggalkan mereka yang masih terpaku dengan jawaban cowok itu.

***

Aleta duduk di atas kasur sembari merapikan rambutnya. Efek samping dari kemoterapi yang ia jalani tiga hari lalu masih ia rasakan. Masih terlalu sering mual serta kepalanya merasakan nyeri.

Aleta meneguk salivanya sambil memejamkan matanya sesaat sambil menyetabilkan kondisi tubuh. Matanya sudah cekung dan menghitam serta wajah pun terlihat begitu pucat.

Saat tangan turun dari rambutnya, ada banyak helaian rambut yang tersisa di telapak tangan itu.

Aleta menatapnya dengan sendu. Rambutnya sudah sangat banyak berguguran akibat penyakit ini. Ia berdiri lalu duduk menghadap kaca rias. Dipandangnya wajah dengan teliti. Betapa sudah sangat tirus sekarang, tulang mata, wajah hampir terlihat.

Tangan perempuan itu bergerak mengikat rambutnya dan mulai memoles wajahnya dengan bedak tipis dan pewarna bibir agar tak terlalu terlihat pucat.

Dia tersenyum memandangi dirinya sendiri. Tangannya kemudian meraih ponsel di atas nakas. Mengetikkan pesan untuk orang yang selalu mengiriminya pesan beberapa hari ini.

***

Tiyas mengambil tas di atas tempat tidurnya lalu menemui putranya. Riki.

“Udah siap, Bun?” tanya Riki.

Tiyas mengangguk. “Kita ke rumah Aleta dulu, ya, habis itu baru ke rumah sakit.”

Riki tersenyum sambil mengangguk. Bundanya benar-benar sudah membaik saat ini.

Perjalanan ditempuh sekitar tiga puluh menit dan motor Riki sudah terparkir di depan rumah saudara angkatnya itu.

Ketukan pintu pertama kali Tiyas lakukan sebelum akhirnya Arna keluar membukakan pintu. “Tiyas,” sapa Arna tersenyum.

“Bu, saya boleh ketemu Aleta?”

Arna mengangguk. Lalu mempersilahkan Tiyas juga Riki masuk.

“Saya panggilkan dulu, ya.”

Arna berjalan menaiki anak tangga menuju kamar cucunya. Saat pintu terbuka menampilkan sosok gadis dengan balutan sweeter lengkap dengan wajahnya yang tak lagi pucat seperti hari-hari lalu.

“Ada bundamu di bawah,” kata Arna.

“Beneran Oma? Aleta udah cantik belum?” tanya Aleta sambil memutar-mutar badan dan merapikan rambutnya.

“Cucu Oma selalu cantik,” balas Arna.

“Aleta enggak kelihatan sakit, kan?” tanya Aleta lagi.

Arna menggeleng seraya matanya mulai memanas.

Aleta tersenyum lalu turun ke bawah menemui bunda yang sudah lama terpisah darinya.

“Bunda,” panggil Aleta lalu Tiyas menghampiri dan langsung memeluk putrinya.

Dielusnya rambut milik putrinya itu. “Bunda kangen, Nak.”

Aleta melepaskan pelukan sambil tersenyum. Dilihatnya kondisi bunda sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Bunda terlihat lebih segar. “Aleta juga. Aleta senang lihat kondisi Bunda membaik. Maaf, ya, Aleta belum sempat jenguk Bunda.”

“Bunda membaik karena kamu, Sayang.” Lagi-lagi Tiyas mengelus rambut Aleta.

“Eh, Riki enggak sekolah?” tanya Aleta.

“Udah pulang kali.” Riki merespons.

“Lho, memangnya Aleta enggak sekolah?” tanya Tiyas sambil duduk di sofa.

Aleta terdiam menyadari apa yang barusan ia katakan akan banyak menimbulkan pertanyaan dibenak bundanya.

“Iya, tadi Aleta izin karena Ibu minta tolong urus butik. Maklum Ibu udah tua sering sakit-sakitan.” Arna menimpali membuat Aleta bernapas lega.

Dia tersenyum singkat dengan sang Oma karena sudah menyelamatkannya. Sementara Tiyas hanya mengangguk mempercayai perkataan Arna.

“Bunda mau ke rumah sakit jenguk Alrifta, kamu mau ikut?” tanya Tiyas.

Aleta tampak berpikir. Namun detik berikutnya segera berujar, “Nanti Aleta ke sana sama Johan, ya, Bun? Boleh? Soalnya Aleta ada janji dulu sama Johan.”

Tiyas mengangguk mengerti. “Iya enggak apa.”

“Al, nanti sekalian aja dari rumah sakit kalau mau nginap ke rumah Bundamu. Pasti Nak Tiyas masih banyak kerinduan sama putrinya, iya, kan?” Arna menyahut.

Aleta menatap Arna sekilas dan seolah mengerti apa maksud cucunya itu Arna segera merespons. “Oma enggak apa. Anggap aja ini sedikit penebus rasa bersalah Oma.”

Aleta mengerti bagaimana perasaan omanya. Perasaan bersalah telah memisahkan Aleta dari Ibu kandungnya belasan tahun pasti terus menggerogoti diri wanita tua itu.

“Iya. Nanti habis jenguk Arlifta, Aleta nginap di rumah Bunda.” Putus Aleta kemudian.

***

Johan buru-buru memakai sepatu. Baru sampai selepas pulang sekolah ia mendapatkan pesan dari seseorang yang selalu ia tunggu.

Hari ini hari di mana mereka akan menghabiskan waktu sesuai kata mereka pagi itu akhirnya tiba. Johan bisa bernapas lega itu artinya perempuan itu kondisinya sudah membaik pasca kemoterapi yang dijalaninya.

Usai mandi dan memilih baju pun Johan langsung bersiap tak sabar melihat wajah gadis itu lagi. Kerinduannya ternyata begitu besar.

“Wih wangi banget, mau kemana Han?” tanya Davide melihat putra semata wayangnya sudah rapi serta semerbak dengan minyak wangi.

“Johan mau jalan-jalan dong.” Johan berkata dengan nada bangga sekaligus angkuh.

“Sama siapa? Aleta?” tanya Davide lagi.

“Iya, Pa,” jawab Johan.

Davide mengangguk-angguk sambil tersenyum. Setelah tiga hari aurah putranya terlihat seperti manusia yang tak berdaya kini kembali berseri. Apa dulu dia begini waktu tengah berbunga-bunga dengan istrinya?

“Johan pamit, ya, Pa. Bilangin mama,” pamit Johan karena mamanya belum pulang kerja.

“Assalamualaikum.” Johan berjalan mengarah pintu.

“Waalaikumusalam.”

***

“Hai.” Adalah kata pertama yang keluar dari mulut Johan saat Aleta keluar dari balik pintu.

Perempuan yang disapanya tak langsung menjawab melainkan tersenyum dengan pandangan penuh menyelidik. “Apaan deh Han. Enggak usah sok hai-hai gitu. Aneh tau,” kata Aleta

“Ish. Udah syukur gue lembutin.”

Aleta tertawa sebentar lalu menutup pintu. “Ayok. Sesuai janji, ya, harus semuanya spesial.” Aleta mengajak Johan.

“Lo usaha banget, ya?” Aleta mengerutkan keningnya mendapat pertanyaan seperti itu dari cowok di hadapannya ini.

“Usaha banget mau cantik di hadapan gue,” kekeh Johan, “pakek dandan segala. Biasanya enggak pernah,” lanjut Johan.

“Pede abis. Sesekali aja sih biar kecantikan gue nambah seratus kali lipat.” Aleta menjawab dengan senyum percaya diri.

“Preettt. Gue suka lo gimana pun.” tiba-tiba tangan Johan sudah mengelus puncak rambut Aleta.

“Jangan besar banget kadar sukanya nanti gak bisa lupa, tiati lho.” Aleta duluan berjalan mengarah mobil Johan yang sudah di depan pagar.

....

Salam Sayang
Nunik❤️




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro