Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 61 - Kembaran dan Ibu sesungguhnya?

“Al, Al,” panggil Renata dengan nada heboh saat Aleta baru saja melepas helm dan memberikannya kepada Johan.

“Lo harus tau,” kata Renata lagi sambil mengatur napasnya.

“Kalau ngomong mbok, ya, santai dulu, Ta. Kenapa?” tanya Aleta.

Renata menelan paksa saliva lalu mengatur napasnya sekali dan berujar, “Ini tentang Riki.”

Aleta terdiam sesaat. “Riki kenapa?” tanyanya.

“Dia tadi di depan gerbang. Muka dia kusut banget, babak belur dan dia kacau banget kayaknya, Al.” Renata menjelaskan dengan terburu-buru.

“Sekarang dia di mana?”

***

Tidak ada pilihan Aleta membolos sekolah hari ini. Sesuatu di dalam dirinya memaksa untuk menemui Riki. Mengapa dia sampai terluka? Renata mengatakan bahwa Riki menitip pesan tentang di mana dia menunggu Aleta.

Aleta tak sendiri. Johan bersamanya. Selalu. Saat ini mereka sudah berada di sebuah rumah kecil. Rumah ini tak pernah Aleta datangi. Rumah kecil yang lusuh serta sangat sepi.

Saat Aleta ingin masuk ke dalam Johan memegang tangannya lalu menggenggamnya sambil menuntun Aleta untuk masuk.

Perlahan derap kakinya menimbulkan pantulan suara di setiap sudut ruangan. Rumah itu dipenuhi debu, banyak alat-alat yang terpakai lagi. Di setiap dinding terdapat sarang laba-laba.

“Riki, ini gue. Aleta,” ujar Aleta berharap mendapat sahutan dari empu nama yang ia ujarkan.

Langkah kaki Aleta serta Johan kini telah berhenti. Mereka berdua melirik ke segala penjuru rumah. Berharap menemukan sosok yang ia cari.

Saat mereka tengah sibuk mengamati setiap penjuru, derap seseorang dari pintu yang sepertinya kamar terdengar. Di balik pintu usang itu menampilkan sosok laki-laki.

Aleta sontak melihat ke arah laki-laki itu. Dilihatnya dari atas sampai bawah penampilannya. Perlahan genggaman tangannya dan Johan terlepas dan mulai melangkah mendekati sosok di depan pintu kamar itu.

Laki-laki itu Riki. Dia ikut mendekat ke arah Aleta. Semakin dekat semakin jelas wajah Riki. Semua yang dikatakan Renata benar. Pria ini begitu kacau. Di sudut bibirnya memar seperti bekas tonjokan juga di sudut matanya. Rambutnya berantakan, matanya sembab. Ada apa dengannya? Mengapa dia di sini?

Kini mereka sudah berhadapan. Tubuh Riki yang lebih tinggi dari Aleta membuat dirinya sedikit mendongak. Tangannya perlahan menyentuh wajah Riki. Entah apa ini, yang jelas di sudut hatinya Aleta merasa ikut perih melihat keadaan pria di hadapannya ini.

Saat Aleta ingin membuka suaranya Riki langsung memeluk Aleta dengan erat. Aleta hanya diam mendapat perlakuan itu. Dia tak membalas pelukan itu.

Riki melepas pelukan lalu menatap Aleta sambil memegang leher serta sesekali mengelus rambutnya. Ada cairan di sudut mata pria itu. Dia menangis?

“Lo nggak apa, kan?” tanya Riki masih menatap Aleta dengan tatapan yang begitu pilu dan sulit untuk Aleta terjemahkan. Apa pria ini seperti ini karenanya?

“Gue nggak papa. Harusnya gue yang nanya gitu. Lo kemana aja? Maaf gue nggak ikutin kata-kata lo malam itu dan makasih udah buat Revan mengakui semuanya.” Aleta membalas tatapan Riki.

“Gue minta maaf nggak nemuin lo beberapa waktu ini. Gue seneng lo nggak papa.” Riki kembali memeluknya tapi kali ini Aleta membalas pelukannya.

“Harusnya gue ada di sana malam itu. Harusnya gue bisa nangkap keparat itu bukan hanya Revan. Gue minta maaf gue nggak bisa sepenuhnya jagain lo sepenuhnya,” kata Riki.

Aleta tersenyum dalam pelukan itu. “Beberapa waktu ini gue berusaha untuk ngebongkar dalang semua ini. Gue belum berhasil sayangnya. Gue tau tapi nggak punya bukti supaya lo bisa percaya,” lanjut Riki.

Aleta melepaskan pelukan itu dan menatap Riki. “Apa yang lo tau? Gue akan percaya, lo bisa ngomong sama gue,” kata Aleta.

“Lo harus siap buat semuanya, ya?”

Mendengar penuturan Riki membuat hati Aleta terhenyak. Beberapa hari ini dia selalu mendapat kejutan tak terduga. Kejutan macam apa lagi yang akan ia dapatkan?

Bertemu Ayah, Ibu dan semua bersangkutan dengan orang-orang yang ingin menyingkirkannya. Lalu sekarang, dia akan diberi kejutan apa lagi?

“Lo keluar dulu sama Johan. Tunggu gue di depan. Gue akan bawa lo ke suatu tempat.” Riki memandang Johan yang masih berdiri di tempatnya semula. Sedangkan Aleta hanya langsung menurut saja.

***

Sepanjang perjalanan Aleta masih dibuat bingung. Dia tak tahu dirinya akan dibawa kemana. Dia hanya menurut sampai tibalah di sebuah rumah sakit.

Rumah sakit ini tak asing bagi Aleta. Dia selalu terapi di sini. Untuk apa Riki membawanya kemari?

Beberapa menit dibutuhkan untuk mereka sampai di sebuah pintu kamar pasien. Aleta memandang Riki sesaat tapi Riki tak menggubris tatapan Aleta. Dia bergerak membuka knop pintu. “Lo siap, kan?” tanya Riki sebelum pintu kamar pasien tersebut terbuka sempurna.

Aleta mengangguk ragu. Entah dalam dirinya ada keraguan. Riki membuka pintu lalu mempersilakan Aleta masuk terlebih dahulu.

Aroma obat-obatan menyeruak di indra penciuman. Perlahan Aleta melangkah menghampiri brankar. Aleta menelan liurnya diantara pacuan jantungnya yang hebat. Tubuhnya gemetar serta dadanya terasa sesak.

Perempuan yang terbaring lemah dengan beberapa alat medis yang menempeli tubuhnya membuat suhu badan Aleta seperti naik drastis.

Mata Aleta mulai memanas saat langkah kakinya sudah berhenti tepat di samping brankar. Dilihatnya dari atas kepala sampai ujung kaki perempuan yang ditutupi selimut itu.

Di bagian hidungnya terdapat masker oksigen rumah sakit. Di jarinya ada kabel infus yang terhubung ke botol infus yang menggantung di tiang infus.

Tubuh Aleta melemas seketika. Perempuan di atas brankar itu ... wajahnya seperti jiplakan dari wajah Aleta. Dia begitu mirip dengan Aleta tanpa cela.

Bagaimana ini semua bisa mungkin?

“Dia Arlifta Marnia Putri. Saudara kembar lo,” ujar Riki yang entah sejak kapan sudah berada di samping Aleta.

Dunia Aleta seolah berhenti saat itu juga. Kakinya benar-benar lemas sampai tak bisa menyeimbangkan tubuhnya. Riki dengan sigap menopang tubuh Aleta. Kepala Aleta terasa begitu pening dan penglihatannya seolah semua benda berbayang bahkan ada yang menjadi dua atau tiga.

Riki membawa Aleta ke sofa yang di sediakan di kamar pasien itu diikuti oleh Johan yang duduk di samping Aleta.

Aleta masih mengatur napasnya. Sambil memegangi kepalanya yang masih terasa pening. Kejutan kali ini rupanya begitu menyita tenaganya. Ini benar-benar sebuah kejutan yang tak terduga dan terpikirkan di benaknya.

Johan mengambilkan minum yang ada di nakas lalu mengoleskan minyak kayu putih di kening Aleta.

Kepala Aleta masih menyandar di bahu Riki. Sampai setelah sepuluh menit berlalu, Aleta yang merasa kondisi badannya sedikit membaik duduk dengan tegap di sofa sambil memandang ke arah perempuan yang disebut saudara kembarannya oleh Riki.

Entah Aleta harus percaya atau bagaimana. Ini sulit diterima akalnya. Dia ingat betul saat usia lima tahun hanya Aleta yang bermain bersama kedua orang tuanya. Hanya Aleta yang berkunjung ke rumah Oma tidak ada Cucu atau anak orang tuanya yang lain. Maksudnya saudaranya. Dia hanya anak tunggal. Itu yang selama ia ketahui dari Oma dan seingatnya. Apa memang selama ini dirinya mengalami amnesia seperti di film-film?

Yang justru jauh lebih menjadi pertanyaan besar di otaknya adalah mengapa Riki mengetahui ini semua jika ini benar? Apa kaitan pria itu dengan perempuan yang disebutnya sebagai saudara kembar Aleta itu? Lalu Oma, apa Oma tak tahu sama sekali atau sengaja menutupi semuanya dari Aleta?

“Maksud lo? Siapa? Kembaran gue?” tanya Aleta.

Riki mengangguk. “Gue tau ini semua membuat lo syok, tapi ini sebuah kenyataan yang harus lo tau, Al. Arlifta kembaran lo yang sengaja dipisahkan dari lo sejak umur enam bulan,” jelas Riki.

Aleta hanya diam. Rasanya  lidahnya terlalu kelu untuk sekedar melontarkan pertanyaan yang memenuhi otaknya.

Johan mengelus bahu Aleta dengan kedua tangannya. “Semuanya akan lebih jelas nanti, tapi tenangin diri lo dulu,” kata Johan.

Aleta menatap Johan dengan sedikit mengubah posisi badannya. “Lo tau semua ini?” tanya Aleta.

Johan mengangguk.

Aleta kembali mengubah posisi badannya seperti sebelumnya. “Siapa lagi yang tahu semua ini? Apa cuma gue satu-satunya orang yang nggak tahu ini?” tanya Aleta yang sedikit terhenyak mendengar bahwa Johan saja tahu soal ini. Kembarannya. Sedangkan dirinya? Tidak tahu sama sekali.

“Gue tahu waktu ketemu Riki pas lo belum sadar.” Johan kembali bicara.

“Semuanya akan jelas setelah kita dari tempat ini nanti,” kata Riki.

“Maksudnya? Kita akan ke tempat lain lagi?”

“Iya. Yang kali ini gue beneran mau lo siap. Jangan sampai ini nanti akan mempengaruhi kesehatan lo,” tambah Riki.

Aleta mengembuskan napasnya kasar. Apa yang kali ini akan jauh lebih menghentak jantungnya?

Perlahan Aleta mengangguk. Sepedih dan sesakit apapun dirinya harus tahu, bukan?

***

Kali ini Riki kembali mengajak Aleta ke rumah sakit hanya saja bukan rumah sakit seperti tadi melainkan rumah sakit jiwa.

Aleta ingat dia pernah dibawa kemari. Riki juga yang membawanya.

Ada seorang suster yang menyapa Riki saat mereka sudah tiba di dekat ruangan. Seperti waktu Aleta kemari, suster itu mempersilakan Riki masuk ke ruangan. Susternya juga suster yang sama seperti waktu itu. Ruangannya pun sama.

Ini ruangan ibunya Riki. Aleta ingat persis.

Ternyata benar. Pintu terbuka menampilkan sosok wanita paruh baya yang duduk di kursi roda. Wajahnya masih sama seperti terakhir Aleta kemari. Pucat dan lesu.

Langkah Aleta semakin pelan. Bersiap mendengar apa lagi kejutan yang akan menyerbunya. Apa Ibu Riki akan termasuk juga dalam kasus kehidupannya ini?

Riki jongkok di hadapan ibunya lalu menggenggam tangan wanita paruh baya itu. “Bunda, Riki udah bawain Aleta sesuai janji Riki. Aleta udah tau tentang Arlifta. Sekarang Bunda ngomong, ya. Bunda ngomong langsung dengan Aleta. Anak Bunda yang belasan tahun Bunda Rindukan.”

Air mata lolos begitu saja dari kelopak mata Aleta. Kali ini apa lagi? Ibu Riki adalah ibunya? Lalu bagaimana dengan Ibu yang selama ini ia ketahui, yang baru saja ia jumpai kemarin. Sarah.

Tidak bisa mengekspresikan apa yang dirasakannya, Aleta hanya bergeming. Sampai akhirnya wanita paruh baya di atas kursi itu menatapnya dengan pilu sambil menitikkan air mata dan memanggil halus namanya.

...

Salam,
Nunik🌹

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro