Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 59

Semuanya kini sudah memiliki titik terang. Aleta menyimpan rapat setiap kejadian yang ia lalui beberapa hari ini ke dalam ingatannya. Terakhir, kemarin tentang ayahnya. Dia merasa begitu bahagia bisa kembali melihat ayahnya. Memeluknya sambil menangis dalam dekapan yang begitu dia rindukan.

Meski ini semua tak akan ada yang berubah. Revan mungkin akan semakin membencinya karena nyatanya kini Aleta sudah kembali berkomunikasi dengan ayahnya. Keluarganya yang tidak akan utuh seperti dahulu karena pedihnya kini Ayah ataupun ibunya telah memiliki kehidupan sendiri bersama cinta sendiri pula.

Sang Ibu, hanya itu satu-satunya orang yang belum Aleta temui lagi sejak pertemuan pertama mereka. Dia akan menemui ibunya dan akan melakukan hal yang sama seperti yang kemarin dia lakukan kepada ayahnya. Meminta maaf, memeluk lalu saling mendekap disela isakan rindu dan pilu. Setelah itu Aleta hanya perlu menikmati waktu yang ia miliki. Hanya perlu menghargai dari setiap detik waktu yang Tuhan berikan kepadanya. Menjadikan waktu berharganya menjadi kebahagiaan yang tak akan ia lupa untuk kehidupan berikutnya.

Semuanya akan kembali terasa lengkap di waktu yang tepat. Sebelum waktunya berakhir bahagia perlahan mulai kembali mengisi ruang sudut hatinya. Percikan tawa mulai akan menghiasi wajahnya.

"Udah siap?" Suara Johan menyadarkan Aleta dari lamunannya.

Aleta tersenyum antusias lalu mengangguk. "Udah. Ayuk pergi," ajaknya.

"Ini udah malam. Lo nggak pakai jaket?" tanya Johan melihat tubuh Aleta yang hanya berbalut baju kaos panjang.

Malam ini rencananya Aleta ingin ditemani ke rumah sakit untuk menemui Pricille. Dia ingin melihat keadaan gadis itu. Meskipun gadis itu belum sadar tapi Aleta yakin dia akan merasakan kehadiran setiap orang yang menjenguknya.

"Mager kalau ke dalam lagi. Keburu habis jam besuk. Pergi sekarang yuk," ajak Aleta lagi.

"Sengaja banget nggak pakek jaket, biar gue pakein jaket gue?" goda Johan.

Aleta menyipitkan mata lalu tersenyum miring. "Enggak sih, kecuali lo mau sok romantis." Aleta menatap Johan dengan tatapan menjengkelkan.

"Dih," balas Johan.

"Udah gue tebak lo nggak bakal seromantis itu. Halah mana mau seorang Johan dingin-dingin buat-" Aleta menghentikan kalimatnya ketika Johan sudah berada begitu dekat dengannya. Wajah laki-laki itu hanya berjarak beberapa centi dan embusan napasnya dapat Aleta rasakan.

Johan melepaskan jaketnya lalu semakin mendekatkan tubuhnya seperti memeluk Aleta hanya saja masih berjarak. Sedikit.

Aleta bersusah payah menahan desiran dalam dirinya. Rasanya masih begitu mendebarkan berada sedekat itu. Perlahan tangan Johan melampirkan jaketnya ke tubuh Aleta.

"Pakek yang bener. Tangan lo masukin," kata Johan sambil menjauhkan sedikit tubuhnya dan menatap Aleta.

Aleta masih bergeming. "Ck, segitu deg-degannya kalau deket gue." Johan tersenyum miring melihat Aleta tak bergerak sedikitpun dengan wajah yang ... entah sulit dijelaskan.

Aleta tersadar dan mengalihkan pandangannya kemudian memasang jaket dengan benar. Dikeluarkannya rambutnya yang semula berada di dalam jaket lalu menatap Johan. Ternyata Johan masih menatapnya, lengkap dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya. "Ish. Biasa aja kali liatin guenya," kata Aleta.

"Kenapa? Tambah deg-degan kalau gue natap lo, ya?" tanya Johan masih dengan nada menggoda.

Aleta menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Rasa gugup serta malu mendadak menyerang seluruh tubuhnya. Aneh, dia masih selalu merasa begini setiap kali Johan mencoba menggodanya. Padahal dia sudah begitu lama mengenal pria itu.

"Ish, gue malu tau!!!" kesal Aleta sambil terus menangkup wajahnya dengan kedua tangannya.

Terdengar kekehan Johan dan itu membuat Aleta semakin kesal.

"Lo masih mau berdiri terus di sana? Katanya mau cepet takut habis jam besuk," ucap Johan dan Aleta segera membuka tangannya lalu melihat Johan sudah duduk manis di motor yang tinggal menghidupkan mesin lalu kemudian pergi.

Aleta berdecak kesal lalu menghampiri Johan, memakai helm lalu naik ke atas motor. Secara otomatis tangan Aleta melingkar di perut Johan saat mesin motor terdengar sudah hidup.

"Pengin banget peluk gue kayaknya." Lagi-lagi Johan menggodanya. "Jangan berisik! Buruan jalan," kata Aleta sambil menyandarkan kepalanya ke punggung laki-laki itu dan mempererat pelukannya.

Jauh dari penglihatan Aleta, Johan tersenyum melihat tingkah gadis itu.

***

Langkah Johan dan Aleta beriringan menyusuri setiap ubin di koridor rumah sakit dan melalui ruangan demi ruangan untuk sampai ke ruangan Pricille.

Terus berjalan dan akhirnya ruangan Pricille sudah semakin dekat. Di depan ruangan terdapat seorang perempuan paruh baya yang duduk menyamping di kursi.

Aleta menyipitkan matanya melihat wanita itu. Mungkin itu adalah Ibu Pricille. Langkah demi langkah membuat jarak antara dirinya dan wanita paruh baya itu semakin dekat.

Kemudian langkah Aleta menjadi perlahan saat jarak mereka hanya tersisa beberapa langkah lagi. Entah ini semacam kebetulan lagi atau apa, hanya saja Aleta merasa semakin dekat dirinya semakin tak asing dengan sosok perempuan yang duduk itu.

Perasan tak asing itu akhirnya terbukti ketika wanita paruh baya itu menoleh ke arah mereka lalu berdiri. Aleta membeku seketika. Langkahnya terhenti menyisakan jarak dua langkah lagi dari wanita itu.

Matanya mulai terasa panas. Dadanya mulai bergetar dan sesak kembali menyerangnya. Wanita itu mendekat, dengan wajah yang ... sama seperti ketika mereka bertemu sebelumnya.

"Mama," ujar Aleta ketika perempuan itu tepat berada di hadapannya.

Air mata Aleta meluncur detik itu juga saat dilihatnya wanita yang ia panggil 'Mama' menitikkan air mata.

Aleta mendekat dan memeluk ibunya dengan erat. Ibunya membalas pelukannya. Mereka berdua sama-sama menangis.

Aleta tidak membayangkan bahwa dunia begitu sempit seperti ini. Revan adalah anak tiri ayahnya dan Pricille adalah anak tiri dari ibunya. Alasan Pricille terlibat dengan orang rahasia itu ternyata sama dengan Revan. Pricille tidak menginginkan jika ibu Aleta kembali.

"Maafin Mama, Al," ujar Sarah melepaskan pelukan dan menatap putrinya dengan sorot mata penuh luka.

Aleta masih dalam isakannya. Dia menggeleng lalu menghapus air mata di wajah sang Ibu. "Aleta yang harusnya minta maaf."

Dilihatnya Sarah tersenyum sambil air mata yang terus mengaliri wajah. Dia merapikan rambut Aleta dan mengusap pipi Aleta dengan lembut. "Anak Mama udah besar, ya, Mama kelewatan belasan tahun," katanya sambil terus menangis.

Aleta merasa ribuan batu menindasnya. Pilu kembali terasa di ulu hatinya saat mendengar ucapan Sarah. Belasan tahun yang begitu sulit baginya selama ini. Sekarang belasan tahun itu telah terbalaskan. Dia bisa menatap ibunya sedekat mungkin. Bisa memeluk dan merasakan belaian dari malaikat tak bersayapnya lagi.

"Aleta rindu Mama," kata Aleta lalu kembali berhambur di pelukan Sarah.

Sementara Johan masih diam di tempatnya. Dia bahagia saat melihat sorot mata Aleta yang begitu bahagia saat ini. Meski sebenarnya jauh di dalam lubuk hatinya ada kekhawatiran besar mengenai gadis itu.

Ada sesuatu di dalam jiwanya yang membuat dirinya tak tenang akan Aleta.

...

Salam Sayang
NunikFitaloka

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro